Theodore bukanlah tipikal anak lelaki yang mempunyai banyak teman. Bukan berarti bahwa dia dikucilkan oleh siswa lain, malahan dia yang memilih hal tersebut. Sejak dulu, dia memang tak terlalu suka untuk berteman, apalagi kalau harus menjilat orang lain agar terkesan ramah padahal mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Hal semacam itu cukup wajar di sekolah ini, mengingat hampir seluruh murid yang ada di sini berasal dari kalangan atas. Istilah populernya, orang yang terlahir dengan sendok emas. Keluarga konglomerat, pembisnis terkenal, artis papan atas dan pejabat pemerintah.
Pertemanan bukanlah sekedar perilaku sosial antara manusia untuk saling bergantung satu sama lain. Melainkan sebagai wadah mencari koneksi, secara sehat maupun culas.
Itu termasuk alasan kenapa hanya Jean yang bisa sedekat ini dengannya.
Fakta bahwa pemuda ikal atlet loncat tinggi itu juga sama-sama tak memiliki teman lain menambah kelebihan dimata Theodore. Persamaanlah yang menyatukan mereka, walaupun terdengar miris.
Jean juga satu-satunya orang yang mengetahui perihal hubungan Theo dengan Rachelle. Itu pun berkat ketidaksengajaan, di awal musim dingin, ketika mereka telah selesai melakukan tes masuk ke SMA.
Saat itu salju turun cukup banyak. Membuat seluruh permukaan berwarna putih dan udara terasa sangat dingin hingga membuat gigi bergemeletuk. Gedung sekolah yang semula terlihat sepi, kini tampak mulai ramai. Para murid keluar setelah nilai mereka dibagikan, mengenakan baju berlapis tebal adalah pemandangan umum ketika memasuki pertengahan musim dingin. Menandakan Natal akan segera tiba.
Pemuda berambut ikal tampak keluar sembari menggosok-gosok kedua telapak tangan, kadang juga meniupkan udara hangat dari mulutnya. Suhu diluar saat ini mencapai 5 derajat celcius, tak heran kenapa satu jaket saja tak cukup untuk menghalau udara dingin.
Jean merogoh kantung mantel, mengeluarkan smartphone untuk menghubungi siapapun agar bisa menjemputnya. Menunggu bus di halte terkesan mustahil dilakukan sekarang ini. Kursi besi di halte pasti sudah beku saat ini.
Selagi mengetikkan pesan, tak sengaja sudut matanya menangkap sesosok pemuda tinggi yang tengah melepaskan mantelnya. Hell, orang gila macam apa yang melepaskan mantel di cuaca se-ekstrem ini? Awalnya Jean tak begitu peduli sampai dia memperhatikan bahwa pemuda gila itu adalah temannya sendiri.
Theodore J. Anderson.
Melupakan pesan yang sudah terketik, membiarkannya tidak terkirim dan lebih memilih menghampiri Theodore yang saat itu berada di depan gerbang sekolah. Dari kejauhan, Jean dapat melihat serbuk-serbuk putih berjatuhan dan menimpa kepala serta pundak pemuda itu. Benar-benar tidak beres, Jean harus menyadarkan teman bodohnya itu. Dia menduga bahwa mungkin saja Theodore tengah mengalami depresi karena nilainya mendapat B-.
Langkah kaki panjangnya membawa Jean cepat sampai di belakang tubuh tinggi teman lelakinya, tanpa menunggu lagi memberikan pukulan cukup kencang pada punggung Theo.
'BUGH!'
"Ouchh!"
"HOY! SUDAH GILA KA—" makian Jean terhenti ketika mendapati ada orang lain di antara mereka. Seorang gadis berambut hitam panjang dengan tubuh lebih kecil darinya. Setelah di perhatikan lagi, mantel yang Theo lepas ternyata dipakai oleh gadis tersebut. Jean tak cukup bodoh untuk menyadari situasi saat ini. Siapa si gadis dan kenapa Theo melepaskan mantel di cuaca ekstrem seperti sekarang.
"Apa-apaan sih kau ini—"
"Kau yang apa-apaan?" Jean memotong protes dari Theodore. Mencengkram kuat kerah seragam pemuda itu. Tak terlalu sulit karena tinggi mereka bisa dibilang setara, hanya berbeda satu-dua senti saja. "Kenapa kau tak memberitahuku kalau kau punya pacar huh?! Bukannya kita sudah berjanji untuk menjomblo sampai kuliah nanti? Dasar tak setia kawan!" Jean mencerca tanpa henti. Membuat Theodore memejamkan mata karena merasa semburan air ludah menghujani wajah tampannya.
"Aku minta maaf, okay.. Aku lupa memberitahumu kalau aku sudah punya kekasih," Theodore perlahan menjauhkan jarak ketika sadar cengkraman tangan Jean perlahan mengendur. Dia menatap ke arah gadis di sampingnya, seolah meminta persetujuan. Dan, Rachelle menjawab dengan anggukan kecil. "Perkenalkan, ini Rachelle dan ini Jean, sahabatku.."
"Halo~" sapa Rachelle dengan ramah sembari menyodorkan tangannya. Seperti biasa, senyuman indah tersungging di wajahnya.
"H—hai.." sahut Jean gugup. Siapa yang tak akan gugup ketika berhadapan dengan makhluk Tuhan paling cantik. Terlepas dari statusnya yang tak pernah merasakan berpacaran, semua orang pasti setuju jika wanita di depannya ini memiliki wajah luar biasa cantik dan dapat membuat siapapun yang melihatnya akan jatuh hati.
Sebelum telapak tangan keduanya saling menyentuh, Theodore lebih dulu memutuskannya. Lalu, menggenggam tangan Rachelle yang seharusnya berjabat dengan Jean, menyembunyikan di belakang tubuhnya.
"Jangan lama-lama.. Aku tak mau dia malah menyukaimu~"
"Hey hey! Aku memang jomblo, tapi bukan berarti aku akan merebut kekasihmu itu!" tukas Jean tak terima sembari menyilangkan tangan di depan dada. "Kecuali kalau kau mencampakan dia, mungkin saja hal itu akan terjadi~"
Kalimat terakhir sukses membuat bola mata Theodore terbelalak sempurna. Tapi, sebelum pertikaian terjadi, suara tawa lembut nan manis mengintrupsi.
"Hahahaha... temanmu lucu juga yah~"
Rachelle tertawa, kelopak matanya bahkan sudah membentuk bulan sabit, terlihat manis seperti peri-peri di negeri dongeng.
"Demi Tuhan, bagaimana orang secantik dirimu bisa bersama orang bodoh ini?" Jean berseru sambil mengacak surai coklat Theo, membuatnya berantakan, yang tentu saja langsung mendapat hardikkan dari pemuda itu.
"Kalian akrab sekali yah." Rachelle memberi penilaian. "Kalau begitu, Jean, tolong jaga Theo di sekolah yah~"
"Tentu saja, kau bisa serahkan padaku," Jean membusungkan dadanya bangga. "Karena aku juga tak akan membiarkan siapapun mengganggu dia, yang boleh hanya aku saja~"
"Hey!" Theo menyalak tak terima.
Tapi percuma saja karena orang berbeda jenis kelamin itu sudah tertawa-tawa sendiri. Diam-diam, Theodore menatap ke arah Rachelle, tentu saja untuk mengagumi betapa indahnya Bidadari berwujud manusia itu ketika sedang tersenyum seperti ini. Dan, betapa beruntungnya dia mendapatkan hati wanita itu. Lalu, pandangannya beralih pada Jean. Meskipun si pemuda ikal itu memiliki sifat seperti berandal, bukan berarti Jean tak bisa di andalkan. Termasuk dalam hal menjaga rahasia.
Maka, sebelum kejadian buruk menimpa, barangkali Jean kelepasan bicara mengenai hubungan antara Theodore dan Rachelle di depan sang ayah. Theo memilih untuk memberi tahu saat ini juga.
"Enak sekali kau bisa kencan~" ucap Jean.
"Kau mau ikut?" Tawaran Theodore cukup membuat kedua orang di sana terkejut, terutama Jean.
"Hey, aku pasti akan sangat menyedihkan jika berada di antara kalian. Memangnya aku apa? Pengusir nyamuk?"
"Tak bisa dibilang kencan juga sih, lebih tepatnya berangkat les."
"Whoaa~ Jadi kalian bertemu di satu tempat les? Kau dari sekolah mana Rachelle?" tanya Jean bersemangat. Dia cukup penasaran asal sekolah kekasih sahabatnya itu karena Rachelle tak mengenakan seragam. Mungkin saja sekolah negeri kan.
"Em... Sebenarnya Rachelle yang menjadi guru les ku, dia juga sudah lulus sekolah beberapa tahun lalu-"
"ASTAGA! KAU BERPACARAN DENGAN WANITA YANG LEBIH TUA?!"
Saat itu Theodore menyesali keputusannya.