Penyesalan memang selalu datang di akhir.
Itulah yang sedang Theo rasakan. Ini semua karena salahnya yang terlalu gegabah kemarin. Padahal jelas-jelas pikiran rasionalnya menolak dengan tegas ide tersebut, namun apa yang telah keluar dari mulutnya berbanding terbalik. Dan, perkataan yang sudah terlanjur keluar tak bisa ditarik kembali. Penarikan kata-kata adalah omong kosong mutlak.
Hari ini, tepatnya dua hari setelah dia menyatakan perasaannya pada Rachelle, gadis itu tak datang lagi. Biasanya dia akan datang setelah jam makan siang dan mereka akan belajar di Pavilliun belakang. Sampai sekarang, ketika langit sudah berubah warna menjadi agak jingga, gadis itu masih belum menampakan batang hidungnya. Bahkan aroma wewangian yang biasanya dapat tercium dari jarak sepuluh meter jauhnya, kini tak lagi ada.
Theo mondar-mandir tidak jelas di dalam kamar, berputar-putar sembari menjambak rambutnya sendiri lumayan kencang. Dia sudah mirip orang gila, atau memang sebentar lagi akan menjadi demikian jika kehadiran Rachelle sungguh tak muncul untuk selamanya.
"Arrggghh!"
Teriakannya teredam oleh bantal ketika Theo menjatuhkan dirinya ke atas ranjang. Tertelungkup, membiarkan tubuh bagian depannya menimpa permukaan empuk hingga membuat tubuh besarnya memantul ke udara lalu jatuh kembali.
Isi kepalanya kosong, sama seperti perasaannya, hampa, seperti seluruh hidupnya sekarang menjadi tak berguna. Andaikan waktu bisa diputar kembali, Theo tak akan pernah membiarkan pernyataan cinta itu keluar dari mulutnya.
Penyesalan paling besar sepanjang hidup bukanlah tentang ketahuan mencuri uang dari dompet ayahnya dan berakhir pantatnya memerah akibat ditampar cukup keras. Itu tak sebanding dengan kesalahan yang telah dia lakukan sekarang. Theo lebih rela PSP beserta seluruh kaset game berharganya disita atau diberikan pada orang lain, asalkan Rachelle tak menghilang lagi. Bahkan dia tak akan mengeluh dengan seluruh tugas-tugas yang harus dikerjakan, Theo akan menyelesaikannya sepenuh hati.
Sungguh, dia tak pernah merasa seputus-asa seperti sekarang. Seakan jiwanya telah ditarik perlahan keluar dari raga. Dengan pikiran kosong, perasaan hampa, terlihat jelas dari bola matanya meredup.
"Theo.."
Ya Tuhan, sekarang dia mulai berhalusinasi mendengar suara merdu Bidadarinya. Theo rasa dia mulai gila. Rasa rindu membuncah berakibat pada kinerja otak menjadi bermasalah.
"Theo.."
Suara itu terdengar lagi. Theo mengangkat wajahnya yang sedari tadi terbenam di balik bantal, memasang telinganya matang-matang demi mengangkap kembali suara yang begitu dia rindukan. Tapi hanya ada keheningan. Theo kembali kecewa. Dia tahu semua sudah terlambat, kini dia menuai apa yang telah dia tanam. Kesalahan berujung pada dirinya dicampakkan dalam sekejap.
Dia bahkan belum mendengar langsung penolakan keluar dari bibir Rachelle. Sekarang malah harus menerima fakta bahwa gadis itu pasti merasa jijik setelah mendengar pernyataan cinta dari lelaki yang jauh lebih muda darinya. Theo harap, dia bisa terlahir lebih dulu atau mungkin di tahun yang sama dengan gadis pujaan hatinya.
"Aku rasa, itu tidak mungkin terjadi.." gumamnya penuh keputus-asaan. Namun detik berikutnya sesuatu tak terduga terjadi.
"Theo, kau di dalam?"
Suara manis nan lembut kembali memanggil disertai sebuah ketukan halus pada daun pintu kamar.
Theo terlonjak —hampir meloncat dari ranjang— dengan kecepat seperti The Flash, dia sudah berdiri di depan pintu. Benar-benar hanya berdiri mematung, tanpa berbuat apa-apa. Isi kepala yang tadi kosong, kembali terisi dengan ribuan rencana. Theo merancang bagaimana nanti dia akan mengelak pernyataan cintanya waktu itu, memutar kata agar Rachelle tak lagi merasa risih. Biarlah dia dianggap sebagai pengecut yang tak memperjuangkan perasaannya, kalau itu bisa membuat Rachelle tetap berada di sisinya, Theo akan lakukan.
Tangan Theo tampak gemetaran sebelum berhasil menyentuh permukaan kenop besi. Dia juga kesusahan meneguk ludah sendiri, kerongkongannya telah berubah menjadi padang gurun yang gersang.
"Theo, kalau kau di dalam ku harap kau mendengar perkataanku."
Pemuda tinggi itu menghentikan aksinya memutar kenop pintu, dia tertegun setelah mendengar suara di balik sana.
"Tentang yang waktu itu, aku minta maaf. Sebenarnya aku sangat senang, benar-benar bahagia karena pernyataanmu yang cukup mengejutkan. Tapi, maaf.. Aku tak bisa menerimanya.."
Theo langsung lemas seketika, membiarkan tangannya terkulai tak berdaya di samping tubuh tanpa jiwa. Jiwanya sudah keluar seiring dengan kalimat terakhir yang dia dengar.
"Aku menghindarimu bukan karena aku tidak menyukainya, aku suka, sangat suka denganmu Theo. Tapi, kita tidak bisa bersama—"
"Kenapa tidak bisa?!" sergah Theo sesaat setelah pintu kamar dibuka dengan cepat.
Rachelle terkesiap, namun dengan cepat dia menurunkan wajah menatap lantai marmer dingin di bawahnya. "Ya.. tidak bisa.." sahutnya dengan suara lirih.
"Iya, kenapa tidak bisa?" tanya Theo tidak sabaran, suaranya meninggi bersamaan wajahnya ikut menegang.
"Aku tak boleh mengatakan hal ini—"
'Seeet—'
Rachelle terbelalak ketika mendapati dagunya di tarik oleh si pemuda tinggi, membuatnya mau tak mau mendongak menatap bola mata berwarna cokelat terang. Di sana terpantul wajahnya sendiri yang diselimuti rona merah muda.
"Katakan, apa yang membuatmu tak bisa menerimaku?" suara Theo menjadi lebih rendah, menggelitik lubang telinga gadis itu. "Aku suka padamu, kau pun juga sama. Lantas, apa yang membuatmu tak bisa menerimaku?"
Dari jarak sedekat ini, Rachelle dapat merasakan hembusan nafas hangat menerpa sebagian wajahnya. Aroma papermint menguar setiap kali Theo bicara. Sensasi maskulin yang mampu membuat perut Rachelle tergelitik, secara reflek mengalihkan wajah agar tak menatap wajah Theo. Ah, lebih tepatnya agar dia bisa menutupi semburat merah yang telah menjalari seluruh wajah hingga ke telinga.
Theo menggigit bibirnya gusar saat merasa tak mendapatkan jawaban yang jelas. Dia sungguh tak masalah kalaupun Rachelle memberi alasan paling menyakitkan, jijik lah, risih lah, sudah punya tunangan lah, atau apapun itu asal tak menggantungnya seperti ini. Theo butuh jawaban yang jelas, tapi melihat respon si gadis saat ini, tampaknya tetap tak membuahkan hasil. Theo juga tak bisa memaksa dengan kekerasan.
'Kluk—'
Theo menyandarkan kepalanya di bahu gadis itu, tak ada aroma Citrus kesayangannya, tapi wangi alami tubuh gadis itu lebih memabukkan dari apapun. Theo berani bersumpah, ini adalah aroma paling tak bisa dia dapatkan dimanapun juga selain pada Rachelle. Ini membuatnya semakin tak bisa melepaskan.
"Tolong.. kalau kau memang tak bisa menerimaku, beri aku alasan yang jelas. Demi Tuhan, Rachelle, aku akan benar-benar melepaskanmu kalau alasan itu masuk akal," ujar Theo. Suaranya terdengar begitu putus asa, seakan dia adalah seorang tahanan yang akan mengalami eksekusi mati.
"Aku tidak bisa, ini menyalahi aturanku sebagai guru les," jawab Rachelle lirih tetapi masih dapat didengar dengan jelas oleh Theo yang berada tepat di bahunya.
"Guru... Les?" si pemuda menengadahkan wajahnya, raut kebingungan kentara sekali.
"Ayahmu khawatir karena kau terus-terusan bermain game padahal sebentar lagi akan ada ujian masuk SMA. Dia mendatangiku untuk menjadi Guru les untuk mengajarimu, dengan syarat aku tak boleh mengatakan profesi ku yang sebenarnya karena takut kau akan menolak mentah-mentah. Maka—"
'Chuu—'
Theo membungkam gadis itu dengan menempelkan bibir mereka. Sebuah kecupan ringan namun cukup lama. Dia bisa merasakan bagaimana lembutnya daging berwarna merah muda yang hangat dan manis. Ribuan kupu-kupu berterbangan memenuhi isi perutnya.