Yang ditunggu akhirnya tiba, baik Aurora dan Raja, mereka sangat excited karena akan liburan ke Bandung. Betapa sangat bersemangat keduanya, ini adalah pertama kalinya liburan dan berdestinasi di Indonesia.
"Kita ngereta?"
Ratu mengangguk, baginya kereta adalah transportasi yang menyenangkan. Tidak menegangkan seperti pesawat terbang.
Dan melihat wajah keduanya, rasanya ingin sekali tertawa. Pasti itu adalah pengalaman mereka naik kereta, maklum anak Sultan mana mau pulang pergi ribet di perjalanan.
Anggita sudah merapikan barang-barangnya keperluannya, tiga hari menginap. Lebih dari cukup mencari suasana yang akan menyuntikkan semangatnya.
Mereka sama-sama menunggu taksi, mengantarkan ke statiun kereta.
"Santai, enak kok naik kereta, bisa saling ngobrol. Bisa dengerin musik, tiduran, lihat pemandangan."
"Oke, aku percaya sama kamu."
Taksi pun datang, pun mengantarkan sampai tujuan. Anggita sudah membelikan tiket kemarin siang, mereka pun gegas masuk mencari tempat duduk.
"Kamu sama tante ya?" ajak Anggita pada Aurora.
Aurora menurut, lagian pasti siapa pun akan senang bisa duduk bersebelahan dengan pacarnya. Oke, ngalah dulu sama kakak ipar.
Rasanya di luar ekspektasi, nyatanya nyaman-nyaman saja. Tidak semengerikan dugaannya. Sesekali kepalanya memutar, melihat orang-orang yang nyaman dengan posisi mereka.
Melihat Aurora celingukan, akhirnya Anggita menawarinya sesuatu. Ia memang membawa bekal dari rumah, dan semua cemilan dibawa Ratu, putrinya.
"Ini, Tante bawakan makanan. Biasanya sambil lihat pemandangan, tante makan. Eh, tau-tau habis," curhat Anggita.
Aurora melirik sedikit, ada orak-arik telur lengkap dengan potongan udang yang terlihat menggiurkan. Dia memang paling suka memakan apa saja masakan tante Anggita.
Lebih enak dari buatan bibi di rumah, bahkan ia yakin kalau Ratu mewarisi keuletan memasak dari mamanya.
Terkadang ada rasa iri setiap melihat Ratu bercengkrama ringan dengan tante Anggita, hal-hal sederhana yang belum pernah dilakukannya. Memang sih, orang tuanya sudah sering mengajaknya ke luar negri, tapi masalahnya adalah mereka tetap saja sibuk fokus dengan segunung pekerjaannya.
"Makasih ya, Tan, makasih udah baik sama aku dan kak Raja."
"Loh, kok nangis?"
"Hehehe, kebawa perasaan aja sih, Tan," Aurora akhirnya menerima bekal dari tante Anggita lalu memakannya.
Ia tak boleh menunjukkan perasaan yang sesungguhnya pada orang lain, apalagi ia yakin tante Anggita akan panik betapa sepinya hidup Aurora.
Beda dengan sang adik yang baper akan hidup sendiri, Raja dan Ratu saling mepet-mepetan. Mendengarkan musik barengan, sambil membaca komik kesukaan. Ya, sebegitu gabutnya sampai-sampai mencari kegiatan.
"Kok udah dibalik aja? Aku kan belum habis bacanya?" protes Ratu.
Baginya, membaca novel lebih asyik daripada komik. Harus fokus ke tulisan juga gambar. Apalagi ia memang jarang membaca komik, saat ingin saja.
Dan kebetulan, Raja membawa komik sebagai penghilang penat di perjalanan.
"Sorry, tapi nanti cepat-cepat ya? Aku juga makin penasaran sama endingnya. Pasti tokoh utamanya mati."
"Sok tahu, kamu pasti gak pernah nonton drakor makanya gak pernah menduga ada plot twist yang membagongkan."
"Lebih tepatnya aku emang gak ingin tahu dunia drakor, Sayang. Aku tahu kamu aja bingungnya tujuh keliling, apalagi harus mendalami dunia Korea."
Mereka sama-sama kembali fokus ke buku komik, masih tersisa dua puluh halaman. Lama-kelamaan Ratu mengantuk, memang sih dia punya siklus tergantung keadaan dan sekarang adalah di mana dia bisa sandaran bahu Raja sepuas-puasnya. Mampus! Pasti pegel tuh leher!
Dan pluk, Raja menoleh sebentar. Ratu sudah nyaman menyenderkan kepala di bahunya, pun dengan dirinya yang berusaha menjadi bantalan terbaik.
Ini adalah pengalaman pertama liburan dengan pacar juga mama mertua. Bagi Raja, semenjak balikan hidupnya sedikit berwarna, ia merasa Ratu telah memberikan kuas terbaiknya dan melukis keindahan lewat hubungan mereka.
Tapi masalahnya, ia jadi tak bisa membaca komik sekarang. Karena takut gerakan tangannya akan terbaca dan membuat Ratu terbangun.
"Oke, kamu menang, Dear. Aku akan diam saja di tempat, melihat pemandangan lainnya selain melihat kamu."
***
Bandung menjadi kota pertama yang didatangi Aurora, dari dulu ia penasaran dengan kota yang selalu minim dengan siklus panas dan macet.
Apalagi paman Ratu memiliki aksen jalan menuju rumah yang memang bebatuan juga naik turun gunung.
Jujur, suasananya sangat dingin. Bahkan berkali-kali bersin. Aurora langsung mengambil syal di ranselnya.
"Ini kamar kamu sama aku, Ra. Biar Raja tidur di ruang tamu, di sana hangat kok dan sifatnya juga gak sempit. Kalau mama sih kayaknya tidur di mana saja bisa, mungkin di rumah bibiku."
"Haha, oke. Jujur kak, aku juga bakalan nyerah kalau disuruh tidur di luar, aku mudah flu soalnya. Kalau kak Raja mah, asal gak kehujanan tahan banting dia."
Mereka sudah mengeluarkan pakaian ganti dan menatanya di almari, ini adalah homestay ramah lingkungan. Kebetulan paman Wisnu emmang mendirikan rumah-rumahan pelanggan yang kadang singgah untuk mencari tempat tidur saat menanyakan panen raya teh mereka.
Kebetulan juga, tempat tinggal paman Wisnu memang dekat dengan kebun teh. Aurora sudah tak sabar mengabdikan gambar yang mana ia bisa memamerkan ke teman-teman kotanya kalau Indonesia jauh lebih indah.
"Ah iya, kalau mau mandi ada layanan air hangat juga kok. Setelah itu kita makan di rumah bibiku, mereka malahan repot-repot bikin pesta untuk kedatangan kita."
"Serius?"
"Iya dong, bibi tuh seneng kalau ada tamu. Soalnya di sini kan jarang ada tetangga, kamu lihat kan tadi? Jarak rumah ke rumah aja harus berjalan sepuluh menit dulu, jadi di sini tuh sepi banget. Jarang ada sinyal, tapi kalau listrik memang ada sih."
Sebenarnya Aurora tidak butuh itu, ia butuh ketenangan. Dan ia rasa, di tempat ini sangatlah nyaman dan menenangkan.
Berbeda dengan Ratu yang menunggu Aurora mandi dan bergantian, Raja sudah sibuk membakar jagung bakar di perapian. Untung sekali dia membawa jaket tebal, penutup kepala dan sarung tangan.
Meskipun daya tubuhnya kuat, tapi dingin-dingin seperti ini tetap membuatnya lapar.
"Sibuk apa?"
"Ah, Tante. Ini, kata Ratu jagungnya boleh dibakar dan kebetulan memang aku laper banget."
"Oh, kirain kamu iseng bakar-bakar. Nanti ke rumah pamannya Ratu ya, kita makan di sana. Kamu mandi dulu gih."
"Boleh gak mandi gak tan? Mager banget."
"Gak boleh jorok, Raja. Mau kamu dicoret jadi mantu tante?"
Wah, Raja menggeleng keras. Usahanya mendapatkan kata maaf dari Ratu susahnya minta ampun, baginya ia tak akan mampu mencintai gadis lain lagi kecuali Ratu Pertiwi.
Raja langsung mempercepat bakar-bakarannya. Apalagi ia juga tahu kalau semakin malam, cuaca pasti makn dingin.
Setelah dua tusuk jagung bakar benar-benar matang, ia langsung memotongnya jadi dua. Siapa tahu nanti ada yang mau memakan bagian sepotong yang lainnya.