Akhirnya Sita menurut, memakan suapan demi suapan. Bagaimanapun juga, ada rasa bersalah karena terus-terusan membuat bibi khawatir dengan sikap frustasinya.
Sungguh, semenjak mamanya dinyatakan meninggal, hidup Sita takde lagi sama. Sikap manusiawinya, senyumannya, kebaikannya seakan pudar.
Satu-satunya masa ia merasa menjadi manusia normal lagi adalah saat ada pria mengulurkan tangan, berniat menolong dan mengajaknya berteman. Ya, pria itu adalah Raja Angkasa.
Tapi, ia juga tahu pria itu hanya menganggapnya sebatas teman, tak lebih dan tak kurang.
"Bi, rasanya punya anak tuh gimana sih?"
"Anak? Tumben Non Sita nanyanya aneh, Non Sita gak sabar buat nikah ya? Makanya bahas anak."
"Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, Bi."
Bi Nuri hanya tersenyum lucu, tahu kalau majikannya memang jarang bisa diajak bercanda. Lebih sering menampilkan sisi sangar, bahkan julukan Sita di kampus adalah gadis emo.
"Ya namanya wanita lumrah dong, Non, kepikiran soal anak. Anak bibi kan ada 3, ada yang usianya segede Non Sita, dia bekerja jadi TKI di Jepang, tahun ini masa kontraknya berakhir, yang kedua masih SD dan yang terakhir umur 7 tahun."
"Pasti rame."
"Ya begitulah, Non. Rindu saya Non sama mereka."
Ah, Sita tak bisa ikut merasakan karena belum pernah punya anak dan tak berniat memiliki dari pria lain yang tak dicintainya.
Kadang, ia juga merasa takut seandainya menggugurkan anak yang tak berdosa. Ia tak takut dengan kemurkaan ayahnya, hanya saja ia takut tidak akan menjadi ibu yang baik bagi anak kandungnya.
"Doakan aku ya, Bi, semoga bisa sembuh dari rasa sakit dan semuanya."
"Iya, Non, pasti."
***
Sudah janji akan sampai di air terjun yang ada di list selama liburan, Ratu sudah bersiap-siap. Membawa sedikit bekal dan minuman, pakaian ganti dan juga obat totol nyamuk.
Ia yakin di sana pasti ada banyak nyamuk, jangan sampai pulang-pulang badannya penuh dengan tanda merah.
"Aku sama kak Rama?"
Ya, siapa lagi? Yang bisa diandalkan hanya Rama, gak mungkin juga menyuruh om Wisnu, takut terlalu merepotkan. Apalagi, ojek-ojek yang biasanya mangkal tak kunjung stay di pengkolan.
Mereka sudah sibuk dengan kendaraan masing-masing, Rama yang masih belum akrab dengan Aurora hanya mengukirkan senyum. Bahkan usianya terpaut 7 tahun, jarak umur yang lumayan karena takut obrolan mereka tak akan nyambung.
"Jauh gak sih, Kak?"
"Dekat kok."
"Ok. Jauh di mata dekat di hati."
Jawaban kocak Aurora membuat Rama sedikit terhibur. Ya, siapa yang tidak badmood melihat gadis pujaannya semotor dengan pacar, pakai acara pelukan segala lagi.
Memang sih, Aurora juga memeluknya. Bukan sebagai modus belaka, hanya berlindung karena jalanan yang terjal dan penuh bebatuan. Takut jatuh.
Beda dengan Raja yang menikmati pelukan Ratu di perutnya, ia memimpin jalan. Setelah berusaha bertanya pada orang-orang sekitar, kalau nyasar kan ada Rama, petunjuk jalan.
Jarak air terjun pengantin tidak memakan waktu panjang. Sampai di lokasi, Raja puas. Apalagi dengan keadaan yang sepi, serasa destinasi milik sendiri.
"Keren banget! Kamu pernah ke sini?"
"Pernah, sama om Wisnu dan mama. Tapi dulu aku masih kecil sih, mungkin SD."
Mata Raja terpukau pada guyuran air dari atas ke bawah seputih kapas, jernih, segar dan menyejukkan. Apalagi dengan pemandangan hijau-hijau yang mendamaikan.
"Kak, fotoin aku dong! Jarang-jarang pemandangannya keren gini!" antusias Aurora membuat pandangan Rama teralihkan.
"Memangnya, kamu gak pernah jalan-jalan gitu? Dari semua pakaian yang kamu pakai, punya Raja, kurasa bukan brand biasa."
Ah, memang sih. Meskipun terlihat seperti pakaian casual biasa, Aurora dan Raja selalu mengenakan brand-brand ternama seperti Zara, 3Second dan lainnya. Yeah, bagi kantong mahasiswa seumurannya, Raja bisa dibilang fashionable.
Buat apa uang saku yang menebal? Saldo rekening yang menggunung, buat apa lagi kalau tidak belanja? Foya-foya?
"Hmm, ortuku lebih sering ngajak ke luar negri sih, bahkan aku bosan dengan pemandangan London dan Jepang."
"Sungguh?"
Aurora mengangguk, sibuk memotret dan menjadikan bahan untuk dijadikan reels instagràm.
Pemandangan seperti ini memang lebih indah puluhan kali dibandingkan restoran mewah, pertemuan penting, juga bisnis keluarga.
"Aku gak akan nyesal semisal harus ke sini setiap tahun, Kak."
Lalu, Rama sudah sibuk dengan kamera Fujifilm milik Aurora, beruntung dia tidak gaptek alat-alat canggih. Karena meskipun tinggal di desa, Rama juga kuliah di jurusan yang akan mengembangkan daerahnya.
Melihat adiknya akrab dengan Rama, di pikiran Raja malah iseng memikirkan sesuatu yang random.
"Mereka cocok ya? Tapi, kayaknya adikku gak pernah bisa peka dengan rasa nyaman."
"Maksudnya?"
"Ya lihat sendiri lah, dia mana pernah sih ada riwayat chatan sama cowok? Palingan riwayat nonton drakor iya! Kayaknya, dunia Korea dan fangirl sudah menjadi jiwanya. Kasihan kalau dia misal punya pacar."
Ratu maklum, ia juga pernah melewati fase itu. Fase di mana meninggikan oppa-oppa tampan yang menjadi kesembuhan atas rasa sakit hatinya.
Baginya, dunia Korea, boy grup, drama romance mereka adalah candu dan penyembuhan.
"Ya gak semua fangirl garis keras gitu kok, cuma mereka emang bakalan baik-baik saja semisal dikhianati sama pasangannya."
"Gitu ya? Termasuk kamu nggak? Kayaknya dulu kamu juga frustasi pas putus dariku?"
Ratu pura-pura membuang muka, rasanya mau muntah mendengar kepedean Raja. Ia menyipratkan aliran air tepat ke wajah pacarnya, ikut berpose saat Rama memberi aba-aba kepada mereka.
Memang sih, dulu sekali setelah SMA, Rama pernah mengungkapkan rasa ketertarikan. Tapi tidak, jangan sampai hubungan dua keluarga itu terpecah karena rasa yang tak seharusnya ada.
Sampai sekarang, Ratu sudah menganggap Rama sebagai kakaknya, pria yang menjaga adiknya seandainya ada pria yang menyakitinya.
Beberapa kali pula, Rama juga membantu menjadi pacar pura-pura Ratu saat ada orang iseng yang mengajaknya berkenalan.
"Di sini nyaman, aku betah, lebih betah lagi karena ada kamu, Ratu."
"Hahaha, udahlah, please, jangan ngegombal. Jantungku gak baik-baik aja mendengarnya."
"Baper kan? Gak apa-apa lagi, bapernya sama aku aja. Jangan sama Kim Taehyung apalagi Suga."
"Itu sih gak janji ya! Mereka selalu jadi pilihan!"
Mereka sama-sama tertawa, bermain air dan berusaha berjalan dengan kaki telanjang. Duduk di atas bebatuan besar, menikmati sapuan cipratan air terjun yang sesekali terkena wajah mereka.
Lalu, Raja perlahan berjalan ke tengah-tengah, mengangkat kedua tangannya dan merasakan air menembus bagian punggungnya. Terasa segar.
"Gila, ini bakalan jadi whislist liburan setiap tahun, kayaknya keren bikin konten di sini. Pasti viral!"
"Jangan dong, biar kita berempat aja yang tahu. Lagian, lebih enak sesuatu itu tidak diungkapkan, hanya dinikmati tapi berbekas di hati. Seperti cinta misalnya."
Benar juga, Raja tidak berpikir sejauh itu. Ah, mengenal Ratu, ia jadi paham banyak hal.