Chereads / Raja Dan Ratu / Chapter 29 - Hope You

Chapter 29 - Hope You

"Aku tahu kenapa kamu milih aku jadi pacar kamu lagi," celetuk Ratu.

Mereka sedang berjalan santai di sekitar kebun teh, membiarkan Aurora bermain dengan Silla di rumah om Wisnu. Lagi pula, Aurora memang sedang flu, tidak baik jika jalan-jalan begini. Dan satu hal lagi, karena Raja hanya ingin berdua dengan Ratu.

Raja mengangkat bahu, baginya tak ada alasan untuk mencintai seseorang.

"Karena hanya aku yang gak pernah ngejar kamu, lalu akhirnya kamu merasa aku harus ditaklukkan?"

"Begitu?" tawa Raja lepas. Ada benarnya juga sih, tapi lebih tepatnya karena memang belum ada yang berubah. Dari hubungan mereka yang menjadi mantan setelah putus saat SMA menjadi kenangan yang tak bisa begitu saja dilupakan.

Sambil mengambil langkah besar, Raja berusaha untuk mendahului Ratu, berjalan mundur dan tetap menatap gadis pujaannya.

"Jalan yang bener dong, kamu ngehalangin pemandangan tahu!" omel Ratu.

"Bukannya aku juga indah untuk dipandang ya?" pede Raja.

Lalu, Raja kembali berjalan normal. Menyelipkan jemarinya agar menyatu dengan milik Ratu, rasanya begitu nyaman.

Jalan-jalan seperti ini baginya sudah seperti healing, penjiwaannya tertata, rasa sakit karena tak mendapatkan kesayangan saat masih anak-anak seolah sedikit tertambal.

Kadang, terbesit di hidup Raja, melarikan diri, pergi agar dicari. Tapi nyatanya, dia juga butuh uang, dia masih butuh pengakuan sebagai anak orang tuanya.

Bahkan, mereka pergi ke Bandung pun tak ada izin, percuma. Tak akan ada yang bertanya, tak akan ada yang kepo kenapa Raja dan Aurora pergi dari rumah. Palingan hanya bibi dan pak satpam saja.

"Kabar Sita gimana?"

"Entahlah, dia terlalu rumit."

"Hmm, sepertinya kamu sudah menjadi pacuan hidupnya."

Melihat tempat duduk, Raja mengajak Ratu, ikut terdiam dan melihat daun-daun teh yang masih muda. Mereka sudah berjalan terlalu jauh, jam-jam segini para pekerja memang sudah pulang.

Karena daun teh terbaik memang bagus diambil saat pagi-pagi buta.

"Aku tidak ingin melukainya, karena dia akan terus hidup di bawah bayang-bayang ketakutannya, Sayang. Juga, dia harus berani keluar dari zona nyaman kebenciannya. Kudengar, dia dekat sama Ferdy, maybe."

Kaki Raja mengayun pelan, memainkan rumput yang sembarangan hidup. Terkadang, ia juga memiliki rasa kasihan terhadap Sita, tapi mau bagaimana lagi. Rasa kasihannya tak bisa diteruskan karena Sita selalu berharap lebih dan lebih.

"Di sini aku betah banget. Cocok untuk tempat melamar kamu nanti."

Mendengar kata melamar, Ratu syok. Usianya bahkan masih terlalu muda melangkah ke jenjang yang lebih serius. Apakah Raja sedang mengajaknya bercanda?

Tapi, pria itu tak pernah bercanda dengannya. Semua perkataannya, perhatiannya, perbuatannya selalu nyata dan fakta.

"Ta-tadi kamu bilang apa?"

"Melamar, lalu menikah. Kamu gak pernah dengar kata melamar atau bagaimana sih?"

"Ya dengar, tapi kamu.."

"Ratu, aku gak pernah main-main dengan ucapanku. Cuma kamu satu-satunya perempuan yang menjadi list istri idaman di hidupku, sekarang, besok dan nanti. Aku kan cuma tanya, kenapa muka kamu langsung horor gitu sih?"

Ratu menggeleng keras, membuang rasa keterkejutannya karena memang terlalu mendadak. Kesannya, mereka akan menikah di masa depan. Tapi, jauh dalam hatinya Ratu juga menginginkan.

Baginya Raja memang pria yang baik, supel, mudah menyenangkan orang dan masih banyak nilai plusnya. Mamanya juga merestui hubungannya.

Tinggal menunggu waktu saja, menunggu orang yang tepat untuk waktu yang tepat.

"Aku takut."

"Denganku?"

"Bukan, tapi keluargamu. Kita beda kelas, Raja. Kamu tahu itu kan? Kemewahan, jabatan, semuanya. Kelas kita udah beda, aku sering memikirkannya, memikirkan sejauh aku bisa berkhayal."

Lalu, kedua tangan Raja sudah bertangkup pada pipi Ratu, mengusapnya pelan. Seolah memberi kekuatan bahwa ketakutan Ratu tak akan pernah terjadi. Raja siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan itu, berhadapan dengan orang tuanya sekalipun.

Tak ada yang bisa membuat cintanya terluka, apalagi ia sudah lama kehilangan peran orang tuanya. Baginya, ibu dan ayahnya hanya mesin uang berjalan yang hanya memikirkan prestasi dan materi, ya, hanya itu.

"Kalau pun nanti ada yang menyakitimu, kamu harus yakin aku akan maju untukmu, Ratu. Kamu berharga, bagiku."

Dan akhirnya, pandangannya mengendur, membabat habis bibir ranum yang selama ini Raja impikan. Pun dengan Ratu yang membalas ciuman mesra kekasihnya, lebih lama dan liar.

Sama-sama malu setelah ciuman, mereka membuang muka namun tetap berpegangan tangan. Raja kadang takut Ratu tak akan suka dengan perbuatan beraninya. Ia takut dicap sebagai pacar yang mesum.

"Kenapa diam?" sela Ratu.

"Hanya mencoba untuk mencari alasan semisal kamu akan memarahiku."

"Hahahaha. Lucu deh, jadi makin sayang."

Lalu, Raja kembali memutar kepala bangga. Syukurlah, karena konon katanya para gadis akan berubah wujud saat merasa dipaksa ciuman tiba-tiba tanpa aba-aba.

"Kita pulang yuk, kalau menjelang sore di sini juga tetap dingin. Kasian Aurora nanti nyariin kita," ajak Ratu.

"Oke."

Hati-hati Raja menuntun Ratu melewati sedikit bebatuan, di sini selalu terlihat berembun dan basah. Seperti kehidupannya.

Entahlah, Raja merasa menemukan sesuatu yang baru di sini, di tempat ini. Berharap suatu saat nanti bisa mengajak Ratu hidup berdua dan menjalin rumah tangga impiannya.

***

Ini sudah bulan kedua Sita menyiksa diri, mencoba bunuh diri karena mengandung bayi yang tidak diinginkan. Rasanya sangat memuakkan.

"Hah!"

Begitu pintu kamarnya terbuka, bibi langsung memeluk Sita, memberikan pelukan semangat agar Sita tidak melakukan hal-hal ekstrem lagi.

Pernah, Sita hampir berenang lebih dari tiga jam di malam hari, tidak peduli dengan badannya yang menggigil.

"Bi, aku rindu mama!"

"Iya, Non. Nyonya pasti juga merindukan Non, bibi tahu itu."

Sita nampak lebih parah, tubuh kurusnya, lingkaran hitam matanya dan juga cara bicaranya.

Dia telah kehilangan pria yang menjadi semangat hidupnya, RAJA ANGKASA. rasanya percuma saja hidup sudah tidak ada yang memberinya senyum tulus, berteman tanpa memandang harta yang ia punya.

"Tadi den Ferdy telepon, Non. Sepertinya dia sangat mengkhawatirkan keadaan Non Sita."

Tidak, Sita menggeleng mantap. Pria itu pasti hanya penasaran dengan kandungannya, pria kejam yang memanfaatkan kesempatan dan menghamilinya. Rasanya benar-benar memuakkan.

Lagi pula, dia sudah tak ada harapan mempertahankan bayi yang ada di kandungannya. Satu-satunya jalan adalah menggugurkan. Tinggal cari waktu yang tepat.

Selama ini, Sita selalu pura-pura kuliah, karena ayah dan istri barunya selalu bertanya kegiatan rutinnya. Pasti, seandainya ayahnya tahu putri kesayangannya hamil, entahlah, apakah ada penyesalan di hati ayahnya.

Baginya, ayahnya yang sekarang tidak pernah memperdulikan perasaan Sita yang kacau balau setelah kematian istrinya dulu.

"Makan ya, Non? Jangan sampai sakit, tuan pasti akan marah kalau melihat Non begini," tawar Bibi.

Pandangan kasihan dari bibi membuatnya nyengir kuda, muak, ya!