Hanya ada mereka berdua, Ratu memasang muka horornya, berharap si setan tak berbasa-basi. Malas rasanya berhadapan dengan orang yang sudah menggempur hatinya berkali-kali, sampai sekarang pun masih terasa sakit.
"Gue cuma mau ngobrol berdua, cuma cara ini yang bisa membuat lu mau nemuin gue."
Tuh, kan? Senorak itu Raja. Bukankah tadi Raja yang bilang sendiri akan mengatakan sesuatu padanya? Tapi apa sekarang, alasan yang murahan sekali.
"Gue tunggu satu menit agar lu ingat mau ngomong apa. Gak usah nyita waktu berharga gue."
Ditatapnya Ratu yang terlihat bosan, mengeluarkan permen karet sebagai penghilang kejenuhan. Waktunya jauh lebih penting daripada menunggu Raja yang tiba-tiba saja jadi pendiam.
Masih seperti dulu, Raja sampai hafal semua makanan dan ciki apa saja kesukaan Ratu, dan sampai hari ini masih saja sama. Gadis itu tidak pernah berubah.
"Boleh minta permen karetnya? Dulu, kita sering berbagi makanan bukan?"
"Gak, gue gak suka berbagi."
Deg! Seperti sindiran keras untuknya. Padahal semuanya tak seperti yang dipikirkan Ratu, Raja tak benar-benar selingkuh hanya saja semuanya seakan terlihat jelas dan nyata.
"Peristiwa itukah yang membuat lu kayak gini sama gue? Sikap lu dingin, brrr! Padahal gue sama sekalinya gak nyentuh kakak OSIS itu, Ratu. Sama sekali, sayangnya gue gak bisa buktiin apa-apa."
No, Ratu menggeleng. Percaya sama Raja mustahil sekali, ia harus tahan banting agar bisa kuliah dengan tenang. Popularitas Raja di kampus lumayan beken, sama saat masih SMA dan Ratu sering mendapat masalah karena banyak yang menyukai pacarnya saat itu.
"Di luar jangkauan gue dia berbuat seperti itu, bahkan gue aja gak suka sama dia, Rat. Lu gak percaya sama gue?"
"Gue gak mau percaya sama siapapun, terlebih cowok. Udah kan? Udah gak ada yang perlu dibicarakan, Teman-teman gue udah nunggu. Satu hal, jangan bunuh diri di sini. Malas banget ada berita heboh di kampus, bye."
Jahatnya, Raja gak lemah iman juga kali. Ia berhasil menarik tangan Ratu, membuat gadis itu tertahan dan hampir saja jatuh. Untungnya Raja cepat-cepat siaga dan mereka tersudut di pojokan.
Jarak yang begitu dekat, bahkan sama-sama bisa saling melihat warna lensa mata masing-masing. "Masih belepotan pakai eye liner, perlu gue ajarin? Aurora sering minta bantuan gue kadang."
"Minggir!" Ratu menepis tangan Raja yang blak-blakkan menyentuh wajahnya. Segera turun tangga dan meninggalkan mantannya sendirian di balkon.
Gila aja sih, jadi mantan kok meresahkan gitu. Ratu pun cepat-cepat menyusul teman-teman yang sebelum sang mantan mengejarnya. Untuk sekarang, detak jantungnya sedang di mode gak aman karena sentuhan ajaib Raja.
Berbeda dengan Ratu yang terburu-buru, Raja masih menikmati udara di balkon atas. Sepi, cocok untuk merokok. Otaknya lumayan tenang setelah bertengkar dengan Ratu, ternyata sampai sekarang gadis itu masih saja jadi tempat candunya.
"Gue pastikan, lu akan balikan sama gue lagi, Ratu Pertiwi."
***
Lelah sekali hari ini, kenapa sih Raja harus membuatnya gugup lagi? Sebenarnya perasaan apa yang dimiliki Ratu sekarang?
"Sayang, udah pulang? Kok wajahnya lesu gitu, ada masalah di kampus?" cemas mamanya.
"Enggak ada kok, Ma. Cuma lelah aja, Mama habis dari mana?"
Mengangkat belanjaannya, dua kantrok kresek khas minimarket. "Tadi habis belanja bahan-bahan sama bu Laras, malas pergi sendiri. Nunggu kamu libur lama deh kayaknya."
"Hehe, ini masih Rabu, Ma. Masih dua hari lagi liburnya, tapi weekend aku ada acara nonton sih."
"Bukan kencan?" goda Anggita. Baginya, usia Ratu sangat cocok mengenal cinta, karena sedang mekar-mekarnya dan sampai hari ini gadis itu belum pernah diantar atau dijemput seorang cowok. Padahal usianya sudah 19 tahun.
"Gak, Ma. Kencan itu apa sih?"
Mengangkat bahu, putrinya memang selalu begitu saat membahas masa pubernya. Mungkin saja Ratu memang tak ingin mengenal cinta dulu, seperti Anggita dulu yang bertemu cinta pertamanya yaitu papanya Ratu, tapi sekarang sudah meninggal dunia saat Ratu masih SMP.
"Ganti baju, terus makan. Jangan lupa minum vitamin biar enakan badannya."
Anggita pun meninggalkan putrinya, sebenarnya kehidupannya tidak serba kekurangan. Uang asuransi kematian almarhum suaminya lumayan juga uang pensiun, Anggita pun sudah memiliki toko kue yang bercabang.
Beruntung Ratu pun tak pernah neka-neko, baginya hanya Ratu yang bisa membuatnya bangkit sampai sekarang. Mereka memang saling menguatkan satu sama lain.
***
Kampus terasa lebih dingin hari ini, meksipun Jakarta tapi hujan ternyata membuat udara di sekitar membuat beberapa orang merapatkan jaket mereka, salah satunya Ratu. Beruntung sekali ia tak lupa membawa jas hujan yang selalu aman di jok motornya.
"Gak lupa minum obat kan? Di antara kita, cuma lu yang rentan banget kena flu. Gak nyangka, ibu kota punya musim hujan juga ya?" cerewet Astrid.
"Ini masih Indonesia, As. Punya iklim tropis kalau lu lupa," timpal Laura.
Berjaga-jaga, Ratu selalu rutin meminun vitamin agar tak mudah terserang penyakit saat hujan-hujan begini.
"Ya udah, nanti gak usah ke kantin. Lu di kelas aja, terus nanti kita bawain makanan. Oke?"
Ratu mengiyakan, blabas ke ruangan kelasnya mumpung masih pagi dan harinya jauh lebih baik setelah pembicaraan dengan Raja beberapa hari yang lalu dianggapnya adalah pembicaraan terakhir mereka.
Semoga tak ada waktu lagi cowok itu datang, setidaknya biarkan Ratu move on dan bisa menghadapi Raja dengan sikap biasa.
"Pagi, Anak-anak. Buka halaman 123, penyampaian materi hari ini tolong diskusikan dengan teman kelompok kalian. Saya akan mendata dan menjadikan 15 kelompok, kumpulkan jam 2 siang."
"Baik, Bu." jawab mereka serempak.
Bu Helen sudah membuka laptop, memasangkannya dan terhubung dengan layar juga whiteboard.
Anak sastra memang tak pernah lepas dari yang namanya rangkuman, puisi, dasar bahasa dan lainnya.
"Lu gak demam kan Rat? Pucet banget muka lu."
"Santai, gue fine kok. Udah, fokus sama tugas."
Laura pun kembali dengan tulisannya, sesekali melihat Ratu yang mencoba tetap bertahan meskipun keadaannya tak benar-benar baik. Sampai pada akhirnya, satu kelas heboh karena Ratu pingsan tiba-tiba.
***
Kalau bukan karena suara game online, Ratu tak akan terbangun. Matanya perlahan terbuka, mencari sumber suara dan kaget dengan adanya Raja di sampingnya.
"Lu? Ngapain ada di sini?"
"Nungguin tuan putri bangun, tapi udah dari jam 8 dan sekarang jam 11 siang. So, makanya gue main game."
"Maksud gue, kenapa lu repot-repot nungguin gue di sini?"
"Karena gue baik, mantan manisku."
"Gue serius, Raja."
"Gue juga serius kok, teman-teman lu sedang ada kelas dan ada tugas dari bu Helen. Lu gak mau mereka kehilangan nilai kan? Soal nilai lu, pasti nanti ada toleransi dari dosen. Sekarang, apa yang lu rasain?"
Raja menyentuh kening Ratu, memastikan tubuh mantannya tidak sepanas tadi. "Masih hangat, itu tandanya demammu memang belum hilang. Mulai besok, lebih baik berangkat sama gue. Lu akan aman dari hujan dan flu. Gimana?"