Pukul enam sore, Anna melangkah masuk ke loby apartemen dengan perasaan yang susah dijelaskan. Anna menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Benar-benar dia sangat bingung.
"Makan malam keluarga?"
"Bertemu ibu kak Afdan?"
"Maksudnya, apakah kak Afdan menyukaiku?" batinnya. Banyak pertanyaan yang ada di otaknya. Anna mengusap wajahnya frustasi. Seharusnya dia tidak terjebak oleh perasaan yang aneh ini. Apa jadinya sekarang? Dia seperti perempuan yang tidak tahu malu saja.
"Anna, kamu sudah menikah!" gerutunya dalam hati. Kata-kata itu selalu diucapkan di hatinya biar perasaanya tidak kemana-mana saat ini.
Klek~
Pintu dibuka. Seharusnya Farid berada di apartemen namun jejak lelaki itu sama sekali tidak terlihat. Sepertinya Farid sudah pergi ke rumah kekasihnya itu. Ya, setidaknya dia bisa tenang karena Farid selalu menambah beban hidupnya saja.
"Baru pulang?" tiba-tiba suara itu terdengar. Anna spontan membulatkan mata saat Farid baru saja keluar dari toilet.
"Kau di sini?" Farid menganggukan kepala.
"Tentu saja, kau pikir aku di mana?" balasnya. Farid berjalan mendekati Anna yang sedang berdiri terpatung di depan pintu. Anna menghela napas panjang.
"Mau makan malam bersamaku?" tanyanya. Alis Anna berkerut.
"Kau tidak sedang kesurupan kan? Kebetulan sekali mengajakku!" cetusnya. Farid menggelengkan kepala.
"Tentu saja tidak! Aku benar-benar serius mengajakmu, kau pikir aku bercanda apa?" ucap Farid. Dia spontan menarik tangan Anna menuju meja makan. Tas selempang yang ada ditangan istrinya diletakkan di atas meja.
"Aku membuat makanan untuk kita," sambung Farid. Dia mengeser kursi lalu mempersilahkan Anna untuk duduk di kursi makan.
Anna melihat dua menu masakan yang dibuat lelaki itu. "Bukannya kau bilang tidak pintar memasak? Mengapa tiba-tiba membuat makanan ini?" tanya Anna sambil menatap Farid yang duduk di depannya. Lelaki itu tersenyum.
"Aku membelinya, namun aku memanaskannya juga. Jadi sama saja kan kalo aku memasaknya!" ucapnya.
Anna berdecak lidah.
"Itu namanya bukan dimasak!" gerutunya.
"Terserah, kau mau memberi nama apa, aku tidak peduli. Yang penting aku makan malam bersamamu," seru Farid kemudian. Anna semakin bingung dengan tingkat Farid.
Setelah makan malam, Farid bergegas merapikan piring dan menarik Anna menuju ruang keluarga. Di tempat itu terdapat tv besar yang sedang menyiarkan film romantis. Anna tidak mengerti. Setan apa yang sedang merasuki lelaki itu? Pikirnya.
"Duduk!" perintah Farid kemudian. Anna duduk sambil menongakan wajahnya. Farid spontan duduk samping Anna dan merangkul bahu istrinya itu. Pipi Anna tiba-tiba memanas. Bahkan jantungnya berdetak lebih cepat. Dia tidak mengerti perasaan seperti apa ini.
"Kau dari mana saja?" tanya Farid pelan.
"Dari kampus," jawab Anna sambil menatap bola mata Farid.
"Serius?" tanyanya lagi. Anna menganggukan kepala.
"Ada apa?"
"Kau bilang sedang kencan? Lelaki mana yang mengajak kencan istri orang?" tanya Farid kemudian. Anna menghela napas panjang. Dia mengeserkan tubuhnya menjauh beberapa sentimeter dari Farid. Anna menepis tangan lelaki itu yang ada di bahunya.
"Aku tidak pergi kencan!"
"Hanya bertemu teman biasa," jawabnya. Anna bergegas beranjak dari tempat duduknya. Dia lalu masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Farid yang sedang memandangnya di ruang keluarga.
"Kau berbohong," gerutunya.
"Aku tidak berbohong, Farid. Buat apa berbohong kepadamu," ucap Anna lagi. Farid menghela napas panjang. Anna mengunci kamarnya dari dalam.
"Bukannya kau pergi ke rumah kekasihmu sekarang? Seharusnya kau pergi saja lagi!" seru Anna.
"Aku mau di sini, lagian Salma sudah sembuh," jawab Farid. Dia berada di depan pintu kamar sekarang. Farid berusaha mengetok pintu kamar. Namun Anna tidak ingin membukakannya.
"Anna, bolehkan Salma main ke sini besok?"
"Dia ingin melihat apartemenku," jawabnya. Anna tidak mengubris ucapan Farid. Dia berusaha membaringkan tubuhnya di tempat tidur dan berpura-pura tidak mendengarkan.
"Anna?"
"Tidak masalah kan? Salma ingin datang!" ulang Farid lagi. Anna menghela napas panjang.
"Terserah!" gerutunya.
***
Pagi-pagi buta setelah sholat subuh, Anna bergegas menuju rumah sakit. Dia tidak ingin berpapasan dengan Salma. Apa jadinya jika dia berpapasan dengan perempuan itu? Apalagi Farid dan Salma akan bermesraan di depannya. Sungguh, dia benar-benar tidak sanggup. Membayangkannya saja membuat Anna sakit kepala.
Klek~
Pintu terbuka dengan pelan. Anna mengambil ranselnya lalu bergegas keluar dari dalam apartemen. Dia berjalan dengan cepat ke arah lift.
Setelah sampai di loby apartemen, Anna membuka pintu dan masuk ke dalam taksi. Dia ingin segera ke rumah sakit walaupun dokter Aldi belum pulang. Anna harus berbagi jadwal dengan duda tampan itu.
Sesampai di rumah sakit, dokter Aldi yang sedang berjaga di ruang UGD mengerutkan kening menatap Anna.
"Kebetulan sekali, kok cepat datang?" tanya dokter Aldi kemudian. Anna menghela napas panjang sambil meletakkan ranselnya di loker.
"Aku sudah bilang, kadang aku rajin, kadang juga jadi pemalas," ucap Anna sambil memakai jas putihnya. Alis dokter Aldi terangkat. Dia bingung dengan ucapan Anna.
"Bagaimana kencannya?" tanya dokter Aldi. Lelaki tampan itu menatap Anna dengan intens. Dokter Aldi penasaran dengan lelaki yang berhasil mengajak Anna kencan.
"Biasa saja," jawab Anna sambil memeriksa beberapa rekap medis pasien.
"Serius, biasa saja?" serunya lagi. Anna menganggukan kepala.
"Siapa lelaki yang berani mengajakmu kencan? Lelaki itu beruntung sekali. Kau terkenal sebagai monster kanebo kan?" gerutu dokter Aldi. Anna tidak mengubris ucapan lelaki itu. Dia fokus memeriksa rekap medis pasien.
"Oh yah, aku ingin mengajakmu makan siang, hitung-hitung aku lagi berbaik hati," jawab dokter Aldi. Anna mengerutkan kening dan spontan memandang wajah lelaki itu.
"Kau tidak keberatan kan?" tanya dokter Aldi lagi. Anna menggelengkan kepala. Dia sama sekali tidak keberatan jika dokter Aldi mengajaknya makan siang. Lagian lelaki itu sangat baik kepadanya. Dokter Aldi adalah seniornya yang sedang bertugas di rumah sakit.
"Oke, terima kasih dokter Aldi," jawab Anna sambil tersenyum. Dokter Aldi membalas senyuman perempuan itu. Entah mengapa dia sangat menyukai jika Anna tersenyum. Ada semacam kebahagiaan di hatinya.
Anna mulai bertugas, dokter Aldi tidak lupa meletakkan roti bakar di meja Anna. Setelah Anna memeriksa beberapa pesien, keningnya berkerut melihat bekal makanan di mejanya saat ini.
"Ini kebiasaan mantan istriku dulu sebelum dia meninggal. Jadi aku tahu kamu kelaparan," jelas dokter Aldi setelah menatap raut wajah bingung dari Anna.
"Terima kasih dokter Aldi, tapi tidak usah repot-repot," seru Anna sambil tersenyum.
"Aku tidak repot kok, kamu nikmati sarapannya. Biar kerjaan yang lain aku yang selesaikan," jelas dokter Aldi kemudian. Anna menganggukan kepala. Dia duduk di meja kerjanya sambil memandangi kotak bekal berwarna pink itu.
"Makanlah Anna!" ucap dokter Aldi saat perempuan itu hanya memandangi kotak bekal miliknya.
"Aku membuatnya spesial untukmu, tentu saja karena kamu patner kerjaku," sambung dokter Aldi lagi. Dengan sangat hati-hati, Anna mengambil roti cokelat itu lalu memasukan ke dalam mulutnya.
"Terima kasih dokter Aldi," serunya kemudian.
Bersambung …
Bersambung …