Anna berdiri di depan fakultas. Menunggu Farid yang akan menjemputnya saat ini. Lelaki itu mengirimkan pesan dan mengatakan akan menjemputnya.
"Sepertinya dia tidak akan menjemputku," ucap Anna. Amira yang melihat sahabatnya berdiri di depan fakultas hanya bisa menggelengkan kepala.
"Anna, kamu memangnya menunggu siapa sih? Terlihat bingung begitu!" ucap Amira sambil menyipitkan matanya. Dia memerhatiakan mimic Anna yang tampak gelisah.
"Aku menunggu seseorang, mendingan kamu pergi aja dulu deh," sahut Anna.
Amira menghela napas panjang. Dia kemudian melambaikan tanganya ke Anna lalu meninggalkan Anna yang sendiri berdiri.
"Si Farid itu ke mana sih?"
"Bingung banget!" gumam Anna. Dia terus melirik benda persegi yang melingkar di pergelangan tangannya saat ini.
"Kamu sudah menunggu lama?"
Sebuah mobil hitam segera berhenti di depan Anna. Farid menurunkan kaca mobil lalu menatap wajah istrinya yang cemberut.
"Buruan masuk! Aku tidak mau orang-orang lihat kita!" hardiknya. Anna semakin kesal, dia membuka pintu mobil lalu duduk di samping lelaki itu. Farid kemudian melajukan mobilnya ke arah apartemen. Anna tetap menatap lurus ke depan. Dia benar-benar malas menatap lelaki di sampingnya.
"Kamu ke mana saja?"
"Mengantar Amora," jawab Farid kemudian. Anna menghela napas panjang.
"Kekasihmu?" sahutnya memperjelas. Farid menganggukan kepala. Dia menghentikan laju mobil tiba-tiba lalu menatap wajah Anna.
"Aku mau pernikahan kita ini hanya sementara," ucap Farid kemudian. Anna spontan menatap wajah lelaki di sampingnya dengan kening berkerut. Anna menatap Farid dengan ekspresi bingung.
"Maksudnya?"
"Ya, aku tidak mau terus-terusan bersamamu, pernikahan ini secara paksa oleh ayahku, aku ingin segera berpisah saat tujuanmu dan tujuanku sudah terpenuhi," ucap Farid. Dia menatap manik mata Anna dengan cermat.
"Lalu?" sahut Anna kemudian.
"A-aku tidak ingin tua bersamamu, kamu bisa mencari lelaki yang mencintaimu saat kamu sudah menemukannya."
"Aku tetap ingin mencintai Amora, dia cinta pertamaku dan aku tidak bisa kehilangan dirinya," ucap Farid. Dia mengangkat alisnya sambil memandangi Anna.
"Kamu setuju?" sergap Farid kemudian.
Anna menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangannya dari Farid. Dia tidak mengerti dengan alur permainan lelaki menyebalkan itu.
"Kalo kamu setuju, aku akan membuat perjanjian denganmu!" ucap Farid sambil melanjutkan laju mobilnya.
***
"Kak Farid memangnya kenapa dengan apartemennya?" suara manja itu terdengar jelas di telinga Anna saat dia menyediakan makan malam di meja makan. Farid masih berada di kamar dan terdengar suara manja itu dari sambungan telepon.
"Apartemenku lagi diperbaiki, kamu tidak bisa main ke sini, sayang!" ucap Farid. Tidak kalah manja dari suara kekasihnya itu. Mendengarkan suara Farid dan Amora, membuat Anna benar-benar ingin muntah.
Anna berdiri di depan kamar, dia menatap Farid sambil memberikan kode bahwa makanan sudah tersedia.
Farid mematikan sambungan telepon. Dia lalu berjalan menuju meja makan dan Anna mengekor di belakang suaminya itu.
"Kamu masak sendiri?" tanya Farid sambil menatap perempuan di sampingnya. Anna menganggukan kepala.
"Tidak ada racun kan?" sahut Farid kemudian. Anna menggelengkan kepala. Rasanya ingin menyembur lelaki itu dengan kata-kata kasar.
"Mana mungkin aku meracunimu! Kalo aku mau, aku sudah lakukan dari kemarin!" balas Anna. Dia segera duduk di meja makan. Meninggalkan Farid yang hanya berdiri sambil menatap menu masakannya.
"Kalo tidak mau makan, tidak apa-apa!" balas Anna lagi. Dia mamasukan satu sendok nasi ke dalam mulutnya. Farid duduk di samping Anna. Dia mengambil ayam goreng lalu mengunyahnya. Anna menatap wajah suaminya itu.
"Apakah ada racunnya?" sahut Anna kemudian. Farid terdiam dan terus melanjutkan makanannya.
"Kau ini selalu menuduhku, aku sangat malas mendengarnya!" omel Anna. Farid tidak peduli dengan perempuan yang mengoceh di sampingnya saat ini.
"Besok, jika kekasihmu mau datang ke sini, silahkan saja!"
"Aku akan ke apartemen Amira, tidak peduli Amora mengetahui pernikahan kita atau tidak, aku tidak ingin berpura-pura sebagai orang lain jika dia bertanya tentangku!" sambung Anna. Farid terus melanjutkan aktifitas makanannya. Dia tidak peduli dengan ocehan Anna yang panjang lebar.
"Aku selesai!"
Farid mengeser kursinya. Dia lalu bergegas masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu. Dia membiarkan Anna berada di meja makan sendiri saat ini.
"Ih … lelaki menyebalkan!" umpat Anna kesal. Dia benar-benar kesal dengan perilaku Farid.
***
Di dalam kamar, Anna memandang langit-langit kamarnya. Dia mengusap wajahnya frustasi. Bagaimana bisa dia terjebak pernikahan dengan Farid. Lelaki yang tidak pernah berada di dalam otaknya saat ini.
Dring!
Sebuah panggilan tertera di ponselnya. Anna dengan sangat malas kemudian mengambil ponsel itu lalu meletakkan di samping telingannya.
"Assalamualaikum!" sahut suara itu. Anna mengerutkan kening. Suara seorang lelaki sedang meneleponnya sekarang.
"Dengan Khanna?" sambungnya lagi. Anna semakin terheran.
"oh yah, aku adalah Afdan, masih kenal?" ucap suara serak itu. Anna membulatkan matanya hingga kedua mulutnya terbuka lebar. Dia begitu takjub dengan lelaki yang meneleponnya sekarang.
"Kak Afdan?"
"Kak Muhammad Afdan?" sahutnya lagi.
"Iya, dengan Khanna Amira?" serunya. Anna seakan ingin melompat di kamarnya saat ini. Namun, dia berusaha menahan dirinya. Jika tidak, dia akan seperti orang gila saat ini.
"Anak kedokteran kan yah?" sambung suara itu lagi.
"Iya kak Afdan, aku Anna!"
"Kak Afdan mengapa menelepon aku?" tanya Anna. Matanya seakan berbinar mengetahui bahwa lelaki yang sangat dikaguminya tiba-tiba saja menelepon ponselnya. Ini seakan keajaiban. Seperti mimpi yang selalu diharapkan oleh Anna.
"Aku mau bahas sesuatu denganmu."
"Mungkin besok di taman kampus, bisa?" ucap Afdan. Anna spontan menganggukan kepala. Seakan Afdan sedang melihatnya.
"Bisa?" ulang suara itu lagi saat tidak mendengarkan suara Anna menjawab.
"B-bisa kak, bisa sekali!" ucap Anna bahagia.
"Oke, aku akan menunggu di taman kampus. Besok jangan terlambat!" ucap Afdan. Setelah mengatakan hal itu, lelaki itu kemudian memutuskan sambungan telepon. Anna berteriak di dalam kamar karena bahagia.
Seperti mimpi, Afdan menghubunginya dan menyuruhnya bertemu berdua? Anna bahkan memukul pipinya. Mencoba menyadarkan dirinya sendiri bahwa ini bukan mimpi.
"Kak Afdan?"
"Aduh, benar-benar kita berjodoh!" gumam Anna sambil memeluk bantal gulingnya.
Tok … Tok …
"Oi, jangan ribut dong!" sahut Farid yang terus mengetuk pintu Anna. Dengan wajah cemberut, Anna kemudian membuka pintu dan menatap suaminya yang berkacak pingang saat ini.
"Kamu itu berisik sekali, menganggu banget!" omela Farid. Dia menatap wajah Anna dengan ekspresi marah.
"Aku hanya menelepon, aku tidak berisik, kamu aja yang sensitive!" balas Anna tidak mau kalah. Dia merasa tidak ribut di dalam kamar. Farid aja yang terlalu emosional kepadanya.
"Memangnya sedang menelepon siapa sih?"
"Bukan urusanmu!" ucap Anna lalu segera menutup pintu kamarnya. Tidak mengizinkan Farid untuk menganggunya mala mini. Anna benar-benar bahagia. Bahkan tidak pernah terbayangkan akan di telepon lelaki yang sudah lama disukainya.
Bersambung …