Chereads / Mendadak Nikah / Chapter 1 - Aku Khanna

Mendadak Nikah

Anana_Chan
  • 35
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 46k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Aku Khanna

Sinar matahari menyilaukan mata seorang gadis bernama Khanna Alira. Gadis yang sedang menempuh pendidikannya di Marmara University di Turkey. Sudah tiga tahun dia berada di Turkey untuk menempuh pendidikan masternya di jurusan kedokteran spesialis anak.

Khanna keluar dari dalam kelas sambil terus melirik benda persegi yang melingkar di pergelangan tangannya saat ini. Perempuan itu lalu melirik ke kiri dan ke kanan hendak menunggu seseorang. Kahanna menetap di Turkey selama tiga tahun dan sampai sekarang dia belum pulang ke Indonesia.

Setelah wisudanya di bulan Maret, dia akan segera pulang dan menetap di Indonesia.

"Lama banget sih!" aduhnya. Anna duduk di kursi taman sambil memainkan daun-daun kering yang berserakan. Musim gugur di Turkey selalu memberikan pemandangan yang indah baginya. Anna menikmati keindahan Turkey dengan caranya sendiri. Dia suka berlama-lama di taman kampus hanya sekedar menikmati suasananya.

Turkey selalu memberikan kesan tersendiri baginya. Tempat yang membuatnya selalu takjub akan indahnya alam dan history dari negara dua benua.

"Woi, lama yah?" sahut Amira. Gadis kebangsaan Malaysia yang menepuk pundaknya dari belakang. Sahabat Anna semenjak kuliah di Turkey. Amira tertawa melihat wajah cemberut dari Anna.

"Sorry, tadi lagi di jalan dan ban sepedaku bocor!"

"Terpaksa harus numpang di kendaraan orang," ocehnya. Anna menghela napas panjang. Dia kemudian memberikan komik dan beberapa novel yang di pesan Amira pagi ini.

"Ngomong-ngomong, setelah selesai wisuda, kau serius mau pulang?" tanya Amira sambil menyipitkan matanya berbentuk garis lurus. Dia memandang Anna dengan ekspresi tidak percaya.

Perempuan di depannya menghela napas panjang. "Ya, aku akan pulang!" ucap Anna dengan ekspresi sedih.

"Buat apa?"

"Menikah?"

"Bukannya kau jomblo yah? Ada gitu yang mau menikahimu?" oceh Amira kemudian.

Plak!

Satu pukulan mendarat di kepala Amira saat ini. "Aku ngak menikah, aku hanya mau pulang saja! Kau tahu kan kalo aku sudah lumutan di sini, sudah tiga tahu ngak pulang lihat mamak!" oceh Anna panjang lebar.

Amira tertawa mendengarkan ocehan Anna. Wajah perempuan itu cemberut.

"Okelah!" ucap Amaira kemudian.

Mereka segera keluar dari kampus, Anna dan Amira berbeda arah. Memasuki tahun kedua di Turkey, Amira memilih menetap di apartemen sedangkan Anna tetap berada di asrama. Anna tidak memiliki uang yang banyak seperti Amira.

"Aku pergi dulu, kalo ada cowok ganteng atau mas-mas Turkey yang melamarmu, mendingan terima aja deh!" gumam Amira sambil memukul pundak Anna yang cemberut. Mereka berdiri di persimpangan jalan.

"Ya, soalnya umur kita sudah dua puluh tujuh tahun, lagian Mas Dito akan melamarku juga!"

"Kau jangan banyak memilih!" bisik Amira. Mendengarkan hal itu, Anna hanya bisa menghela napas panjang. Dia mengusap wajahnya secara kasar.

"Aku pergi dulu Khanna!" ucap Amira sambil melambaikan tangan ke arah sahabatnya. Anna membalas lambaian tangan itu sambil tersenyum kecut.

Anna selalu membayangkan bisa memiliki apapun seperti Amira. Namun pikiran itu secepat kilat di tepis. Jika dia selalu tidak bersyukur, maka Allah tidak akan menambah nikmat kepadanya.

Anna berjalan menuju asramanya yang terletak di lantai dua. Di dalam kamar yang berisi empat kasur itu, Anna berteman dengan beberapa mahasiswa dari negara lain. Anna masih betah tinggal di asrama karena dia tidak punya uang lebih untuk menyewa apartemen.

Beasiswa yang diberikannya cukup untuk biaya sehari-harinya saja. Sebenarnya dia bisa menyewa apartemen dengan memangkas uang buku. Anna menyukai buku sehingga dia selalu membeli buku tiap bulan.

"Uhft!"

Anna menghela napas panjang. Dia memijit kepalanya yang terasa berat. Seharusnya tahun ini dia bisa jalan-jalan di negara tetangga dari hasil tabungannya. Namun, akhirnya Anna membatalkan rencana itu. Dia akhirnya mengirim uang tabungannya kepada mamak di kampung.

Anna lahir sebagai anak yatim. Ayahnya sudah meninggal akibat kanker prostat setahun yang lalu. Anna merasa hidupnya runtuh saat mendengarkan ayahnya meninggal. Semua mendadak gelap, tidak berwarna.

Anna saat itu ingin mengakhiri kuliahnya dan kembali ke Indonesia. Namun, beberapa temannya di Turkey melarang Anna untuk putus di tengah jalan.

Anna menatap langit-langit kamar asramanya.

Dring!

Ponselnya berbunyi. Dengan tidak semangat, Anna mengangkat benda persegi itu. Ada nama mamak tertera di layar ponselnya saat ini.

"Assalamualaikum!" ucap perempuan paruh baya itu.

"Waalikum salam, tumben ibu nelepon jam segini?" ucap Anna. Dia memandangi jam dinding yang berada di kamarnya. Selisih enam jam membuat Anna terheran dengan panggilan ibunya.

Perempuan paruh baya itu menghela napas panjang. "Bukankah di Indonesia sudah pukul sepuluh malam yah bu?" tanya Anna lagi.

"Ya nak, tapi ada yang harus ibu bicarakan!" serunya.

Anna terdiam, jantungnya berdetak lebih cepat. Dia takut jika apa yang dibicarakan ibunya adalah sesuatu yang buruk. Anna trauma menerima telepon dari Indonesia. Apalagi jika suara ibunya terdengar lemas. Saat mendengarkan berita tentang kematian ayahnya melalui sambungan telepon, Anna terjatuh. Kaki dan tangannya terasa dingin. Bahkan dadanya terasa sesak dan dia pingsan di dalam kamar.

Untung saja temannya bernama Maryam asal Indonesia segera membantunya dan menenangkannya saat itu.

"Ada apa bu?"

"Ibu tidak sakit kan?" tanya Anna cemas.

"Tidak nduk," balas Ibu Farida.

"Ada apa? Kok suara ibu terdengar lemas begitu?" tanya Anna sedikit cemas. Deru napas saling berkejaran terdengar jelas melalui sambungan telepon.

"Tuan Andi, dia datang menagih hutangnya!" ucap Ibu Farida sedikit ragu. Anna menghela napas panjang. Dia memijit kepalanya yang terasa berat.

"Lalu, dia mau datang lagi tiga bulan kedepan!" ucap Ibu Farida lagi.

"Ibu tidak punya uang, Anna!" serunya.

Anna menghela napas panjang. Sejak kematian ayahnya, kehidupan perekomian keluarganya semakin menurun. Ibunya sempat meminjam uang kepada juragan Andi. Pengusaha tekstil yang ada di kampungnya.

"Bagaimana Anna?" tanya Ibu Farida saat tidak mendengarkan suara Anna sedikit pun.

"Tiga bulan lagi Anna pulang, ibu tenang saja yah!" ucap Anna berusaha menenangkan hati ibunya yang kalud. Hanya itu yang bisa dilakukan Anna saat ini. Dia tidak memiliki pilihan lain.

"Benar kau punya uang Nak?" tanya Ibu Farida memastikan.

"Insyallah bu!" ucap Anna.

"Sudah dulu yah, Anna mau sholat dulu!" ucapnya.

Seketika panggilan telepon itu terputus. Anna mengusap dadanya yang terasa sakit. Dia lalu melirik benda persegi yang berada di bawah lemarinya. Anna mengambil kotak itu lalu memeriksa buku rekeningnya. Dia tidak memiliki uang yang banyak untuk membayar hutang ibunya.

Anna menitihkan air mata. Dia mencoba mencari akal untuk mencari uang. Beasiswanya tidak mengizinkannya untuk kerja full time. Hanya bisa kerja paruh waktu di restoran Turkey dan uangnya pun tidak cukup untuk membayar hutang puluhan juta itu.

Anna mengusap wajahnya frustasi. Dia melirik cincin emas yang diberikan ayahnya sebelum dia ke Turkey. Anna tidak ingin menjualnya. Namun dia bisa melakukan keputusan itu dalam keadaan mendesak.

"Uhft!" Anna menghela napas panjang sambil membaringkan tubuhnya di kasur. Menutup wajahnya dengan selimut dan menangis di bawah bantal agar orang tidak melihatnya.

Bersambung ….