Asha membawa kopernya dan koper Andra ke kamar mereka satu per satu. Ia membongkar kedua tas besar itu dan mengeluarkan isinya. Memisahkan pakaian kotor dan pakaian bersih di tempat yang seharusnya. Kemudian memindahkan alat-alat pribadi mereka dan dikembalikan di tempat yang seharusnya.
Asha memerlukan waktu beberapa saat hingga semua barang selesai ia urus. Setelahnya, perempuan itu menyimpan kembali koper di lemari besar di rak terbawah.
"Aku rasa semua sudah beres. Apa sebaiknya aku menemui Andra dulu?" gumam Asha.
Diam sejenak sambil mengamati seluruh isi kamar, Asha pun memutuskan untuk pergi keluar.
Aku rasa aku haus. Jadi lebih baik aku ke dapur dan mengambil minum, pikir Asha.
Perempuan itu keluar kamar dan tanpa sengaja berpapasan dengan Charles. Ia hendak menyapa adik iparnya itu lebih dahulu namun Charles terlihat tidak peduli. Lelaki yang usianya lebih muda dari Asha itu menatap Asha dengan sinis juga benci. Entah apa yang sudah Asha perbuat sehingga adik iparnya itu terlihat sangat membencinya.
Pada saat yang hampir bersamaan, Andra baru datang dari arah kamar mamanya. Lelaki itu dan Asha saling bertemu pandang. Asha hendak membuka mulut untuk memanggil suaminya, namun gerakan cepat Charles yang menarik lengan lelaki itu membuat Asha mengurungkan niat.
Charles dengan setengah memaksa menarik Andra ke arah dapur dan mereka berbicara di sana. Asha yang memang akan pergi ke dapur mengambil minum pun jadi bingung dengan segala keanehan yang ada di rumah itu. Kenapa seolah semua orang sedang berusaha menjauhkan Andra darinya? Asha tidak habis pikir dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia hanya berusaha tetap berprasangka baik.
Asha pergi ke dapur. Meneruskan kembali langkahnya yang memang ingin menuju ke sana dan ingin mengambil minum. Asha semakin mendekat ke arah dapur saat tanpa sengaja pendengarannya menangkap perdebatan kakak dan adik yang berdiri di depan pintu lemari pendingin.
"Kamu ini lelaki. Kenapa tidak bisa tegas?" tanya Charles dengan nada menuntut. "Sudah jelas keadaannya seperti ini sekarang. Kenapa tidak segera mengambil sikap? Tidak segera menjatuhkan keputusan yang jelas."
"Keputusan seperti apa yang kamu maksud?" balas Andra dengan tenang namun tersirat nada frustasi dari getar suaranya.
Charles berdecak. Lelaki muda itu memutar tubuhnya seolah merasa bahwa ada yang mengamatinya. Dan Asha yang terkejut pun segera menyembunyikan diri di balik dinding dekat dapur.
"Kamu jauh lebih tahu apa yang aku maksud, Kak. Aku hanya tidak ingin akan ada masalah besar ke depannya."
"Masalah besar? Bukankah masalah itu sudah ada dan sedang terjadi?" balas Andra lagi. "Aku sampai tak memiliki muka lagi sekarang. Kamu masih menuntut yang lainnya dariku? Kamu ini adik macam apa?"
"Itu semua salahmu sendiri yang terlalu terburu-buru. Salahmu yang tidak bisa mengendalikan diri. Benar, kan? Dan jika sekarang kamu masuk ke lubang yang dalam, maka itu adalah akibat dari perbuatanmu sendiri," kata Charles menekankan.
Andra diam saja. Antara enggan membalas ucapan adiknya atau mengakui bahwa yang dikatakan Charles terhadapnya adalah benar.
"Lala sudah siuman. Dia sudah sadar dari koma. Dan aku tidak ingin adalah masalah yang mengganggunya," ucap Charles menekankan.
Asha tidak berani lagi mendengarkan lebih jauh percakapan keduanya. Setelah Charles menyebut nama Lala, Asha memutuskan untuk pergi. Ia berjalan kembali ke kamar lantas masuk dan duduk di tempat tidurnya. Asha bertanya-tanya dalam hati mengenai Lala yang Charles maksud. Nama itu, baru kali pertama Asha dengar disebut di dalam rumah itu. Apakah ada hubungan antara ia dan keluarga itu, Asha tidak tahu. Yang jelas saat ini, Asha rasa rumah itu sedang penuh dengan rahasia. Penuh teka-teki yang entah kapan akan Asha temukan jawabannya.
***
Malam harinya di dalam kamar Asha dan Andra. Sejak selesai makan malam, Andra berdiam diri di balkon kamar. Suami Asha itu sibuk menyesap lintingan tembakau sambil menikmati secangkir kopi hitam pekat tanpa gula yang asisten rumah tangga mereka buatkan tadi. Asha mengintip sedikit dari pintu kaca yang tertutup. Kopinya masih penuh. Namun asapnya tak lagi mengepul. Entah sudah berapa lama Andra berdiam di sana tanpa menyentuh kopinya. Asha kira sudah lebih dari dua jam. Sekarang sudah hampir pukul sepuluh malam. Sudah waktunya Andra beristirahat sebab ia bilang, besok ia akan pergi ke kantor pagi-pagi sekali.
Asha memberanikan dirinya membuka pintu balkon. Mendekat pada suaminya dan menyentuh bahunya lembut.
"Sayang, sudah malam. Masuklah! Di luar dingin," ucapnya lembut membujuk suaminya.
Andra merasakah halus sentuhan Asha di bahunya. Lelaki itu mendongak lantas tersenyum tipis dan beranjak dari duduknya.
"Kamu masuklah. Istirahatlah. Bukankah besok kamu memutuskan untuk kembali ke rumah sakit?" balas Andra yang ucapannya terasa hambar.
Asha balas tersenyum tipis.
"Iya. Aku akan masuk. Kamu juga masuklah. Bukankah besok kamu berkata bahwa harus ke kantor pagi-pagi sekali?"
"Iya. Aku akan masuk. Malam ini aku akan lembur dulu. Ada berkas yang harus aku selesaikan malam ini juga. Kemungkinan aku akan tidur di ruang baca nanti," ujar lelaki itu.
Kecewa tentu saja Asha rasakan. Hari ini mereka sudah jarang bicara sebab Andra terlalu sibuk dengan keluarganya. Entah itu dengan Charles, Michelle, atau mamanya. Hari ini setelah kembali dari bulan madu, rasanya semua berubah seratus delapan puluh derajat. Asha merasa suaminya mulai agak menjauh. Baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebagai istri sah Andra sekaligus nyonya muda di rumah itu, Asha berusaha mengerti posisinya. Ia berusaha mengerti perannya yang tidak mungkin bisa sepenuhnya mengambil perhatian dari Andra. Lelaki itu memiliki tanggungjawabnya sebagai pimpinan perusahaan dan anak sulung di keluarga. Segala keputusan mengenai perusahaan tentu ada di tangannya. Kali ini, mungkin peran Andra memang benar-benar dibutuhkan. Sehingga mau tidak mau, kali ini Asha harus mengalah dan memahami situasinya.
"Ya sudah, tak apa. Besok aku siapkan pakaian kantor kamu," ucap Asha dengan senyum yang berusaha ia tunjukan secara alami.
Andra pun tersenyum dan mengangguk mendengar ucapan Asha. Lelaki itu lantas meninggalkan balkon dan berjalan keluar kamar. Meninggalkan Asha tanpa pamit atau ucapan selamat tidur seperti yang belakangan sering mereka lakukan.
Ada yang berubah dari Andra. Atau memang dia kelelahan dan sedang stress sehingga melupakan ucapan selamat tidur serta kecupan di dahi seperti biasa?
Asha memandangi punggung suaminya yang menjauh hingga menghilang di balik pintu. Ia kemudian menutup pintu balkon dan kembali ke kamarnya. Namun, sebelum naik ke ranjang perempuan itu ingin memastikan sesuatu. Ia urungkan niatnya lantas pergi ke ruang baca untuk memeriksa suaminya.
Asha berjalan ke ruang baca dengan penerangan seadanya. Lampu-lampu sudut yang agak temaram cukup membantunya menemukan jalan ke ruang baca yang letaknya agak jauh dari kamarnya dan Andra. Perempuan itu membuka pintu ruang baca perlahan. Ia pikir ia akan mendapati suaminya yang duduk dengan berkas pekerjaan di tangan. Namun ternyata tidak. Andra memang di sana. Tapi ia tidak bekerja. Lelaki itu tidur berkawan selimut hangat di sebuah sofabed nyaman yang ada di dekat meja kerja. Asha mengamati lelaki yang tengah tertidur pula situ. Dan sebuah nyeri menyerang dadanya.
Apakah alasan pekerjaan tadi hanya alasan saja? Andra sedang menghindariku, pikir Asha kemudian menutup pintu.
[]