Chereads / Bukan Salah Istri Kedua / Chapter 26 - Bab 26 Aku Perlu Waktu

Chapter 26 - Bab 26 Aku Perlu Waktu

Asha pergi ke kamar yang ia tempat dengan Andra. Perempuan itu duduk di tepi ranjang. Ia benar-benar dibuat kehilangan kepercayaan sekaligus perasaan oleh orang yang paling ia sayang. Suami yang ia percaya yang hanya padanya ia berikan segalanya.

Perempuan itu duduk dengan kepala tertunduk. Tiba-tiba teringat dengan kenangan bahagianya selama bersama Andra setelah keduanya sembuh dari masa pemulihan pasca operasi. Asha ingat betul, mereka pernah bahagia. Mereka pernah saling mencurahkan perasaan mereka apa adanya. Asha begitu bahagia Ketika mereka melakukannya. Seolah dunia hanya tentang mereka saja.

Asha berharap semua ini hanya mimpi. Saat Ketika suaminya jujur tentang statusnya sebagai istri kedua, sungguh saat terberat untuk Asha. Perempuan itu rasanya seperti diangkat tinggi-tinggi di awal kemudian dijatuhkan dengan begitu keras oleh orang yang sama.

Kecewa, sedih, rasanya dua perasaan itu memang adalah perasaan terburuk yang Asha rasakan sejauh ini. Entah bagaimana menilai situasi yang Asha hadapi sekarang. Ia tak ingin terburu-buru. Meski Andra sudah jujur, tapi masalah diantara keduanya belum selesai. Asha tidak tahu apa yang diinginkan suaminya. Ia tidak tahu apa rencana Andra selanjutnya. Dan perempuan itupun masih harus menenangkan dirinya lebih dahulu sebelum menentukan sikap dalam situasi ini.

Pernikahan macam apa ini? Bagaimana aku bisa terjatuh seperti ini?, Asha mengusap wajahnya yang hampir basah oleh air mata yang menetes. Saat ini menangis mungkin memang akan membuat perasaannya lebih lega. Tapi menangis bukan sesuatu yang harus ia lakukan sekarang. Ia masih harus memikirkan langkah kedepannya yang perlu ia ambil.

Perempuan itu masih terdiam di atas tempat tidur. Ia yang sejak tadi menundukan kepalanya pun perlahan mengangkat wajahnya. Menatap kosong pada dinding putih yang ada di hadapannya. Dinding yang berhias foto pernikahannya dan Andra.

Asha tersenyum miris memandang foto pernikahan yang dicetak dalam ukuran besar itu. Senyum di wajah keduanya dalam foto, tiba-tiba saja berubah menjadi sesuatu yang palsu. Kebahagiaan yang dulu ia rasa sepertinya hanya bentuk kepura-puraan belaka.

"Menyedihkan," gumam Asha. "Senyum itu dulu menjadi senyum kebahagiaan yang aku sukai. Sekarang, senyum itu seperti angin lalu. Lewat begitu saja dihadapanku," lanjutnya sedih.

Asha menunduk dan menghela nafasnya pelan kemudian menghembuskannya dengan lembut, "Aku tidak mungkin terpuruk, kan? Asha pernah jatuh dan berjuang sendirian. Jika sekarang Asha harus berjuang lagi, aku yakin pasti bisa," katanya pada diri sendiri.

Saat Asha sendirian, terdengar pintu diketuk beberapa kali. Perempuan itu menoleh ke pintu dan mendapati mertuanya memutar pegangan pintu lalu membukanya. Mama mertuanya masuk kemudian menutup kembali pintunya. Lantas berjalan mendekat pada Asha dan duduk di sebelahnya.

"Mama tahu kamu kecewa. Kamu juga pasti sedih mengetahui fakta ini," ucap mama.

Wanita itu menoleh pada Asha dan menatap menantunya sekalipun sang menantu masih menatap lurus kedepan tanpa balas menatapnya.

"Mama tidak akan banyak bicara. Mama hanya ingin jujur padamu sekalipun kejujuran yang akan mama utarakan ini mungkin menyakitimu," lanjutnya tanpa menunggu balasan Asha.

Meskipun enggan untuk membalas atau sekedar mendengarkan, Asha diam saja. Ia tidak ingin menyebabkan keributan dengan mengamuk atau memaki keluarga suaminya atas apa yang terjadi sekalipun ia tahu bahwa ia berhak melakukannya. Ada fakta, ada kenyataan yang tak ditunjukan padanya sejak awal sehingga semua berjalan begitu saja. Menyakitinya seperti saat ini dan membuatnya mulai meragukan ketulusan suaminya sendiri.

"Satu hal yang perlu kamu tahu, Mama benar-benar menyayangimu. Sejak awal Mama memang menyukaimu. Kamu perempuan yang baik dan tulus yang Mama percaya pasti bisa menjadi pendamping yang baik dan cocok untuk Andra," ucap mama. "Mama merestui kalian Ketika Andra berkata bahwa ia ingin menikahimu dan otomatis menjadikanmu istri kedua."

Hening sesaat diantara mertua dan menantu yang duduk bersama. Namun Asha masih enggan bersuara. Biarlah kali ini mertuanya yang berbicara. Apapun yang ia katakan Asha akan mendengarkannya saja.

"Kami bersalah memang. Sebab kami tidak jujur sejak awal. Kami bersalah karena kami menutupi fakta tentang status Andra sejak kalian pertama kali bertemu. Pernikahan ini sebenarnya pernah ditentang oleh Charles dan Michelle. Mereka berdua begitu menyayangi Lala yang merupakan istri pertama Andra. Mereka terlalu menyayangi perempuan itu dan merasa bahwa kehadiranmu menggeser posisi Lala di rumah ini. Itulah alasan kenapa selama ini sikap mereka tidak ramah padamu."

Mama menarik nafas kemudian menghembuskannya perlahan. Mengatur emosinya sendiri sebelum menyampaikan kalimat selanjutnya.

"Andra mungkin terlalu terburu-buru mengambil keputusan untuk meminangmu. Kalian baru sebentar bertemu kemudian saling jatuh cinta. Andra pikir, istrinya tidak akan bangun sebab Lala sudah berada dalam kondisi pasif yang cukup lama. Bahkan dokter bilang bahwa harapan hidupnya tidak banyak. Andra tidak berpikir bahwa ada kemungkinan Lala siuman. Dan ketika beberapa waktu lalu keajaiban itu datang padanya, kami semua dibuat bingung menghadapi situasi ini."

Sudah jelas sejak awal memang Andra tidak berharap istrinya akan kembali seperti semula. Sebab kondisinya yang tidak memungkinkan. Tapi siapa sangka keajaiban itu datang pada Lala. Memabuatnya sadar dan kondisinya semakin hari semakin membaik.

"Melihat kondisi Lala yang memerlukan perhatian kami, jujur saja Mama luluh. Mama merasa ikut bersalah sebab tidak menunggunya sadar dan ikut menyetujui pernikahan kalian berdua. Mama pun merasa bersalah padamu karena telah membawamu pada situasi yang tidak menyenangkan seperti ini. Sungguh, ini semua diluar kendali kami."

Asha masih diam. Ia menundukkan kepalanya dalam dan menahan air matanya sekuat mungkin.

"Kamu boleh marah. Kamu boleh membenci mama juga Andra. Kamu juga boleh membenci keluarga kami yang secara tidak langsung seperti sudah menjebakmu. Tapi Asha, Mama benar-benar menyayangimu."

Mama perlahan meraih tangan Asha yang sejak tadi mengepal kuat. Mama menggenggamnya lembut dan menepuk punggung tangan menantunya.

"Sha, kamu perempuan yang baik. Kamu pantas untuk diberikan cinta dan kasih sayang yang baik pula. Mama minta maaf yang sebesar-besarnya sekali lagi. Mungkin, jika sudah menemukan waktu yang tepat nanti. Mama dan papa akan menemui keluargamu dan jujur pada mereka."

Bahu Asha yang sejak tadi tegang, kini berangsur melemah. Berusaha untuk lebih tenang sebab mereka sudah berinisiatif untuk jujur pada keluarga Asha. Itu tandanya mereka sudah yakin dengan keputusan dan siap dengan resiko yang terjadi nanti.

"Sha, Mama—"

"Tolong tinggalkan saya sendiri," potong Asha kemudian melepaskan tangannya dari genggaman mama mertua. "Saya perlu waktu untuk sendiri."

Mama mertuanya mengangguk mengerti. Ia tersenyum kecil dan mengusap bahu Asha dengan lembut.

"Mama tahu. Mama minta maaf sudah menganggu ketenanganmu. Malam ini, biar Andra tidur di ruang baca saja supaya kamu bisa lebih tenang."

"Dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan. Sama seperti ketika ia memutuskan untuk menikahi saya tanpa menjelaskan situasi yang sebenarnya," balas Asha datar dan dingin. "Saya butuh waktu sendiri. Tolong katakan itu pada Andra."

Bu Renata merasakan kekecewaan yang mendalam dari nada bicara Asha. Tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataan yang diterima perempuan itu pasti begitu memukulnya.

"Baiklah, Nak. Kamu bisa beristirahat," ucap mama kemudian perlahan beranjak dari duduknya. Wanita itu sekali lagi menatap wajah Asha kemudian berjalan ke pintu.

Ketika pintu sudah terbuka, Bu Renata menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap Asha sekali lagi.

"Sha, satu hal yang perlu kamu tahu. Bahwa Andra benar-benar mencintai kamu,"

[]