Chereads / Bukan Salah Istri Kedua / Chapter 31 - Membantu Lala

Chapter 31 - Membantu Lala

Memilih untuk mendua cinta dengan menikahi Asha, Andra tidak menyadari bahwa konsekuensi dari keputusannya akan sebesar ini. Baik Asha maupun Lala, keduanya mendiamkan Andra. Lelaki itu pun sadar bahwa ini sepenuhnya adalah kesalahannya. Tapi tentang cinta yang ia rasakan pada istrinya, Andra rasa itu bukan sebuah kesalahan. Andra memang peduli pada Lala dan Andra pun mencintai Asha. Jadi, Andra ingin sekali ini egois untuk memiliki keduanya.

Sejak Lala pulang ke rumah, dan setelah Andra memberikan penjelasan pada istrinya itu. Lala tidak banyak bicara pada Andra. Perempuan itu lebih banyak diam dan hanya mau berkomunikasi ketika Andra membantunya untuk mengerjakan kebutuhan sehari-harinya selama ia belum bisa melakukannya sendiri. Andra dengan senang hati membawakan Lala makanan ke kamar mereka, menyuapinya, dan menyiapkan obat untuk istrinya. Sementara ini, lelaki itu berpikir bahwa Asha akan mengerti bahwa perhatian Andra sepenuhnya untuk Lala dulu. Sebab Lala memang lebih memerlukannya.

Lala sendiri sebenarnya cukup senang karena Andra lebih memperhatikannya. Di dalam hatinya, ia merasa berhak atas waktu Andra lebih banyak dari pada dengan Asha. Bagaimanapun statusnya adalah istri pertama. Dan Lala pun merasa bahwa ia berhak lebih dalam segala hal daripada Asha. Termasuk tentang perannya sebagai istri yang mendampingi Andra. Lala pun sudah mengatur banyak rencana di kepalanya. Ia harus segera sembuh supaya ia bisa mendampingi Andra dalam berbagai acara. Supaya semua orang hanya melihat Lala sebagai sosok yang pantas di sisi Andra. Bukan yang lainnya.

Lala sedang duduk di dekat jendela kamarnya pada sore hari ketika cuaca di luar sedang mendung. Perempuan itu tengah melamun memikirkan beberapa hal yang sedikit menganggu dirinya. Dan tentu saja masalah tentang istri muda Andra menjadi salah satu yang sangat menganggunya saat ini.

Lala menghela nafas dalam dan menghembuskannya sekaligus. Ia sedikit terkejut ketika suara ketukan pintu tertangkap oleh pendengarannya. Lala pun memperbolehkan si pengetuk masuk. Dan ia cukup merasa terkejut mendapati Asha yang berdiri di ambang pintu dan membiarkan pintunya terbuka lebar.

"Kamu? Untuk apa ke sini?" tanya Lala datar. Sebenarnya ia sangat malas untuk melihat Asha. Ia merasa bahwa sudah tak lagi bebas di rumah itu. Dan ia pun kesal karena merasa tak pernah lepas dari melihat Asha kecuali perempuan itu pergi bekerja.

"Saya yang akan membantu kamu mandi. Saya juga yang akan menyiapkan obat yang kamu minum hari ini," jawab Asha kemudian masuk dan menyiapkan obat yang perlu Lala minum di sebuah kotak kecil di sebelah tempat tidur. "Minu mini setelah makan. Sebelum itu mandi dulu. Akan aku siapkan air hangat," ujar Asha pada Lala.

Lala tersenyum miring kemudian mengangkat dagunya angkuh. "Tidak perlu. Kamu bisa pergi. Lagipula saya perlu wasapada padamu. Jangan-jangan kamu mau merebut Andra dari saya," ucap Lala.

Asha tersenyum saja, "Tidak ada yang merebut Andra darimu. Bukankah kamu lihat sendiri dia menghabiskan banyak waktu denganmu?"

"Baguslah kalau kamu tahu. Kamu ingat saja baik-baik. Sekalipun usiamu lebih dewasa dari saya, saya tidak akan dengan mudah mengalah dari kamu. Saya adalah istri pertama Andra. Dan saya berhak atas dia lebih banyak daripada kamu," ujar Lala menekankan.

Asha diam saja. senyum masih terukir di bibirnya. Meski hambar, tapi senyum itu setidaknya bisa menunjukan harga dirinya yang tak akan terpengaruh dengan apapun yang Lala ucapkan.

"Terserah apapun yang kamu ucapkan. Saya tidak akan memasukkannya dalam hati," balas Lala.

"Aku tidak peduli dengan perasaanmu. Yang jelas sekarang kamu pergi dari sini karena aku tidak memerlukan bantuanmu."

"Saya akan tetap membantumu, mau tidak mau, suka tidak suka," balas Asha. "Bibik sedang pergi belanja bulanan dengan mama. Michelle belum pulang dari jalan-jalan. Hanya ada aku dan Charles di rumah, juga satpam dan tukang kebun. Kamu mau aku panggilkan saja salah satu dari mereka?" tawar Asha.

Lala berdecak kesal. Sudah sore dan tak ada satupun perempuan lain di rumah itu selain Asha. Rasanya menyebalkan.

"Aku akan mandi setelah Andra pulang saja," kata Lala mencari alasan.

"Andra menelfon bahwa dia akan pulang malam. Ada pekerjaan yang sudah ia tinggalkan dan kini mengalami masalah dalam pengerjaannya. Dia bilang akan lembur. Itu kenapa dia memintaku merawatmu. Karena aku seorang dokter," ujar Asha.

"Dokter?" Lala tersenyum meremehkan dan berdecak. "Kamu membanggakan pekerjaanmu?"

"Tidak. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Aku seorang dokter dan Andra bilang lebih baik selama dia tidak ada, aku yang merawatmu. Jadi sebagai profesional aku akan melakukannya," jelas Asha kemudian menyiapkan apa saja yang dibutuhkan Lala untuk mandi termasuk menyiapkan air hangat.

Di dalam kamar mandi sambil menunggu bak mandi penuh, Asha duduk di atas kloset yang tertutup. Ia berusaha untuk tetap baik-baik saja meskipun ia merasa dimanfaatkan.

Posisinya sebagai istri kedua dan profesinya sebagai dokter seperti mendukung Andra untuk meminta bantuannya merawat Lala selama Andra tak bersama perempuan itu. Anggaplah keduanya adalah saingan cinta, tapi Asha tidak bisa bertahan dalam situasi tidak menyenangkan ini lebih lama. Suatu saat, mungkin Asha akan menyerah ketika ia benar-benar sudah tidak tahan. Tapi kali ini, ia akan berusaha. Setidaknya ia harus mencoba. Kalau dirasa bisa, ia akan meneruskannya. Jika tidak, maka meyerah adalah jalan satu-satunya.

Setelah cukup lama tak saling memberi kabar, Asha cukup senang ketika tadi Andra menelfonnya. Ia pikir Andra akan meminta maaf dan memeberikan perhatiannya pada Asha atau mungkin mencoba memperbaiki hubungan keduanya. Tapi, yang Asha dapati bukan apa yang ia inginkan. Andra menelfon bukan untuknya. Tapi untuk Lala. Untuk meminta bantuannya demi merawat Lala dan membantu perempuan itu melakukan kegiatan yang tidak bisa ia lakukan sendiri. Sedih memang. Tapi mau bagaimana lagi? Itu adalah kemauan Asha untuk memenuhi keinginan suaminya.

Asha menyudahi lamunannya. Air sudah hampir penuh dan Asha periksa suhunya pun sudah cukup. Ia mematikan kran air dan keluar dari kamar mandi. Ia periksa pakaian yang akan Lala kenakan sudah siap di tempat yang dekat dengan bak mandi. Perlengkapan lainnya pun sudah tertata rapi dan siap digunakan. Asha pun keluar kamar mandi dan menemui Lala lagi.

"Air sudah siap. Kamu bisa mandi sendiri, kan? Handuk, baju, dan perlengkapan mandi lain sudah aku siapkan di dalam. Kamu mandi saja dulu, sementara aku akan mengambilkan makanan untukmu," ujar Asha.

Lala hanya mengangguk cuek. Ia kemudian beranjak dan pergi ke kamar mandi.

Baru membuka pintu kamar mandi, Lala berhenti dan menoleh ke belakang. Ia menatap Asha dingin seperti memberinya peringatan.

"Aku tidak mau memakan masakanmu. Ingat itu!"

Asha tersenyum lembut menanggapi. "Aku tahu. Aku tidak pandai menggunakan pisau dapur dan aku sadar diri dengan kemampuan memasakku. Kamu tenang saja. Bibik sudah menyiapkan makananmu sebelum pergi tadi. Aku hanya tinggal memanaskannya saja," ujar Asha dengan tenang.

"Baguslah. Dan lagi, letakkan saja makanannya di atas meja situ. Kamu tidak perlu menyuapiku seperti Andra biasa melakukannya," ucap Lala sengaja ia sampaikan untuk membuat Asha cemburu.

Asha tersenyum saja. Bukan karena ia tidak kesal atau cemburu dengan apa yang Lala ucapkan. Tapi ia memang tidak memiliki waktu untuk berdebat dengan Lala. Baginya itu terlalu kekanakan.

"Kamu tenang saja. Aku juga tidak ada niat menyuapimu," balas Asha kemudian meninggalkan kamar Lala dengan tenang.