Asha tiba di rumah sakit dengan mengendarai mobilnya sendiri. Perempuan itu merasa lebih ringan setelah keluar dari rumah Andra. Rasanya seperti kembali pada dirinya saat sebelum menikah. Asha yang memang biasa melakukan semuanya sendiri dan memprioritaskan pasiennya.
Pada awal menikah, sebenarnya Asha sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan mengabdi pada keluarga. Ia akan berusaha keras supaya dapat mengurus keluarga kecilnya sendiri dan menikmati banyak waktu menyenangkan dengan Andra. Namun, sejak saat dimana Andra jujur padanya dan setelah apa yang terjadi belakangan ini. Perempuan itu menyadari satu hal bahwa ia kemungkinan tidak bisa menjalankan rencana awalnya. Semua sudah berubah. Baik Andra maupun keluarganya.
Setelah merenung cukup lama, Asha memutuskan untuk memaafkan Andra bagaimanapun kecewanya perempuan itu pada sang suami. Ia masih ingin memperbaiki hubungan mereka yang renggang kalau saja Andra memiliki niat yang sama. Tapi, suaminya itu seolah semakin menjauh. Rasanya seperti Asha sudah dibuang oleh Andra meski tanpa melepas statusnya sebagai istri. Andra tidak lagi memperhatikan Asha bahkan untuk sekedar menyapanya ketika bertemu. Asha masih berusaha sabar hingga akhirnya perempuan itu tidak tahan. Yang paling ia benci adalah diabaikan, dan Andra malah melakukannya. Kini, jangan salahkan Asha jika perempuan itupun melakukan hal serupa.
Asha tiba di IGD setelah berganti pakaian di ruangannya. Dokter dan perawat yang berjaga di sana menyambutnya dengan antusias terutama saat Asha mebawakan mereka roti isi yang ia beli di sebuah restoran cepat saji dekat rumah sakit. Asha tentu saja senang melihat rekan-rekan seperjuangannya di IGD. Ia juga sempat berbicara singkat dengan beberapa dari mereka sebelum pergi untuk membantu pekerjaan dokter jaga memeriksa keadaan pasien satu per satu.
"Dokter Asha tidak apa membantu kami memeriksa pasien?" tanya salah seorang dokter magang yang bersama Asha memeriksa seorang pasien rawat inap di ruang rawat inap umum di lantai tiga.
Asha menoleh pada dokter muda laki-laki berkaca mata itu. "Tidak apa. Lagipula saya tidak ada jadwal operasi. Saya masih punya cukup waktu untuk membantu kalian memeriksa pasien."
Dokter muda itu tersenyum senang dan tampak antusias. Ia dan dua teman lainnya melihat satu sama lain dan mengangguk saling berbagi kode.
"Em, dokter Asha keberatan jika kami meminta bantuan dokter?" tanya dokter muda itu lagi.
"Meminta bantuan? Tentang apa?" tanya Asha sambil memasukkan kedua tangannya di saku jas yang ia kenakan.
"Kita bicarakan ini setelah selesai memeriksa pasien saja," ucap dokter muda berkacamata itu yang disetujui oleh Asha.
Si dokter muda tersenyum senang karena merasa rencana mereka kemungkinan akan berjalan dengan baik. Usai memeriksa pasien, mereka pergi ke sebuah lorong tak jauh dari ruangan pasien. Mereka menepi supaya tidak menganggu lalu lintas di rumah sakit dan supaya dapat berbicara dengan lebih nyaman.
"Kalian bisa berbicara di sini. Jadi ada apa?" tanya Asha.
"Begini, dokter Asha. Dari yang kami dengar, dokter Asha adalah salah satu dokter spesialis terbaik di sini. Dokter sudah kuliah di usia yang masih sangat muda dan menjadi dokter bedah termuda juga di rumah sakit ini. Kami ingin sekali belajar dari dokter supaya bisa mengikuti jejak dokter Asha."
"Kalian ingin belajar apa dari saya? Apa yang kita pelajari sama saja, kan? Bedanya hanya saya sudah lebih dulu terjun di dunia profesional. Sementara kalian masih dalam proses menuju ke sana," balas Asha.
"Em, begini dokter Asha. Jadi kami ini sebenarnya perlu bimbingan lebih. Sebab dokter tahu sendiri kalau dokter yang bertanggungjawab terhadap masa magang kami di sini sedikit ya begitulah," ujar si dokter muda yang enggan untuk dengan jelas menyebutkan permasalahannya.
"Jadi maksud kamu, kalian ingin saya membantu kalian untuk membimbing kalian selama masa koas?" tanya Asha langsung pada pokok permasalahannya.
Dokter muda itu pun tersenyum. "Iya, begitulah. Kami bertiga perlu dokter Asha untuk belajar. Untuk ditanya pada pokok permasalahan yang tidak kami ketahui. Ini semua demi pasien juga. Supaya kami tidak sampai melakukan kesalahan kedepannya."
"Tapi kalian sudah memiliki dokter Panca yang jauh lebih berpengalaman daripada saya," balas Asha.
"Tapi dokter Panca sering sibuk. Mungkin kami bisa mengajukan dokter Asha sebagai dokter pembimbing dua. Jadi jika dokter Panca tidak ada, kami bisa meminta bantuan dokter Asha secara resmi."
Asha diam saja menatapi ketiga dokter muda itu. Mereka tentu sudah menyiapkan rencana ini sebelumnya. Rencana untuk menjadikan Asha dokter pembimbing mereka secara resmi.
"Saya rasa tidak perlu," ucap Asha tanpa perlu memikirkannya lebih lama. "Saya akan membantu kalian sebisa saya tanpa perlu menjadi pembimbing kedua kalian. Jika kalian tidak bisa, kalian bisa datang ke saya dan saya akan membantu sebisanya. Bagaimana?"
Mereka yang ada di hadapan Asha pun saling pandang dan tersenyum dengan wajah gembira. Mereka akhirnya sepakat dengan ide Asha lantas melanjutkan kembali tugas mereka memeriksa keadaan pasien.
Asha selesai dengan pekerjaannya sendiri. Seorang pasien baru keluar dari ruangannya usai melakukan konsultasi pasca operasi. Ruangan Asha kembali sepi dan ia jadi teringat kejadian tadi siang.
Keputusan Asha bukan tanpa alasan. Perempuan itu hanya ingin menjadi sibuk supaya ia tidak terlalu sedih mengingat rumah tangganya. Lebih bai kia membantu para dokter muda daripada ia terpuruk sendirian.
Asha mengemasi barangnya dan bersiap pergi ke tempat janjiannya dengan dokter Kafa. Dokter Kafa yang memiliki jadwal yang sama dengannya, sengaja mengajak Asha untuk makan siang bersama. Keduanya pun janjian di lobi rumah sakit dekat resepsionis.
Asha berjalan dengan ringan meninggalkan ruangannya. Perlu beberapa menit untuk tiba di lobi rumah sakit. Perempuan itu sempat memeriksa ponselnya sambil berjalan dan menemukan pesan dari dokter Kafa yang mengatakan bahwa Esa, salah satu perawat yang bekerja dengan dokter Kafa akan ikut makan siang.
Perempuan itu berjalan dengan ringan mendekati resepsionis. Ia menyapa perempuan berseragam merah muda yang ada di sana dengan ramah.
"Hai, kamu baru datang?" tanya Asha.
"Iya, dok. Kebetulan baru berganti shif. Dokter Asha juga baru datang?"
Asha menggeleng, "Tidak. Saya sudah datang sejak tadi. Kamu melihat dokter Kafa tidak?"
"Belum, dok. Saya belum melihat beliau," jawab si resepsionis.
Tak lama seorang lelaki yang tengah mendorong perempuan di kursi roda mendekati meja resepsionis. Lelaki itu bertanya mengenai jadwal kedatangan dokter Yuda. Resepsionis memberikan informasi yang lelaki itu inginkan kemudian si lelaki mengucapkan terima kasih.
Lelaki yang tak lain adalah Andra itu pun menoleh pada Asha yang ia sadari sejak tadi masih berdiri sambil berkutat dengan ponselnya. Andra tahu bahwa Asha melihatnya namun pura-pura tak melihat. Andra memaklumi sikap istrinya dan hanya tersenyum menghadapi kenyataan itu.
Andra masih diam menatap Asha lebih lama. Lala merasa suaminya terlalu lama menatap dokter yang tidak dikenalnya itu dan merasa cemburu.
"Sayang, ayo kita kembali ke kamar," ajak Lala.
Andra pun tersadar dan menunduk menatap Lala. Lelaki itu tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban dari ajakan Lala. Andra mengangkat wajahnya lagi dan kali ini tatapannya bertemu dengan mata Asha. Andra tersenyum menatap Asha. Namun, Asha memilih untuk pergi lebih dulu. Meninggalkan Andra dengan tatapan datar tanpa membalas senyuman lelaki itu.
[]