Chereads / Bukan Salah Istri Kedua / Chapter 22 - Bab 22 Pergi Menjenguk

Chapter 22 - Bab 22 Pergi Menjenguk

"Pagi, Sha," sapa Andra memberikan kecupan di kening Asha ketika ia baru tiba di ruang makan.

Asha tersenyum saja melihat suaminya. Meski ia merasa bahwa setiap yang Andra ucapkan atau Andra lakukan seperti tanpa perasaan dan terasa hambar, Asha tidak berusaha membahasnya. Belakangan mungkin Andra tidak fokus dengannya dan lebih mementingkan perusahaan. Jadi Asha cukup tahu diri dan tidak mempermasalahkan hal kecil seperti itu.

"Pagi, sayang. Hari ini mau pergi ke kantor langsung?" tanya Asha sambil meletakkan sepotong roti bakar di piring suaminya.

"Oh, tidak. Hari ini aku akan pergi ke tempat lain. Aku dan Charles ada janji untuk menjenguk teman yang sakit," jawab Andra sambil mulai menyantap sarapannya.

"Teman? Siapa? Apakah aku mengenalnya?" tanya Asha yang ikut sarapan juga.

"Tidak, kamu tidak mengenalnya. Dia adalah temanku dan Charles," jawab Andra seadanya.

Lelaki itu tampak enggan untuk menatap mata Asha atau sekedar melihat wajah istrinya. Entah karena alasan apa, tapi Andra terlihat menyembunyikan sesuatu.

"Kalau begitu, bukankah lebih baik aku ikut supaya aku bisa berkenalan dengannya? Akan lebih baik juga untukku jika bisa mengenal teman serta kolegamu. Mungkin suatu saat itu akan berguna," ujar Asha berusaha membujuk Andra supaya mengajaknya.

Mendengar permintaan Asha, mama tampak tidak suka. Asha melihat gelagat tidak nyaman yang ditunjukan ibu mertuanya.

"Kurasa tidak, Sha. Aku pergi berdua dengan Charles. Dan lagi, aku rasa urusan ini tidak ada hubungannya denganmu. Dia salah satu teman dan—"

"Dan kamu tidak penting untuk dikenalkan padanya," sela Charles dengan enteng.

Asha menoleh pada adik iparnya. Menatapnya dengan tanda tanya besar di kepala seolah menuntut penjelasan dari Charles.

"Kenapa melihatku seperti itu? Bukankah benar yang aku katakan? Kamu memang tidak penting untuk diperkenalkan padanya. Lagipula, kamu ini siapa? Kamu hanya orang baru di sini. Kamu tidak berhak untuk tahu maupun ikut campur dengan segala urusan yang ada di rumah ini," ujar Charles.

Asha diam saja. Ia tidak membalas atau membantah ucapan adik iparnya. Rasanya tidak perlu untuk melakukannya sebab bagaimanapun ia membela diri, Charles tetap tidak akan menyukainya.

"Kita berangkat sekarang saja, Les. Mumpung jalanan belum terlalu macet," ajak Andra usai menghabiskan sarapannya.

"Ide bagus," ucap Charles dengan senyum senang. Seolah memang itu adalah hal yang paling ia tunggu sejak tadi.

Andra pun beranjak. Begitu juga dengan Charles. Mereka berpamitan pada mama dan papa juga Michelle. Dan Andra tentu saja pamitan pada Asha meskipun terlihat setengah hati. Entah apa yang sedang terjadi di rumah itu. Asha benar-benar dibuat penasaran. Tapi, rasa penasaran itu selalu berakhir dengan hampa. Tanpa jawaban, tanpa kepastian.

"Sha, setelah sarapan. Mama dan Michelle akan pergi ke rumah teman mama. Papa juga akan berangkat ke kantor. Kamu bisa jaga rumah sendiri, kan?" ucap mama yang juga baru selesai sarapan.

"Sendirian? Apa aku tidak boleh ikut? Aku rasa akan sangat membosankan jika aku di rumah saja," ucap Asha dengan sopan.

"Tidak, Sha. Lebih baik kamu di rumah saja. Mumpung kamu libur, kamu bisa menikmati waktu santai di rumah. Kali ini biar mama saja berdua dengan Michelle," ujar mama menolak permintaan Asha untuk ikut pergi.

Asha pun menerima saja keputusan mamanya. Sebisa mungkin menunjukan bahwa ia baik-baik saja. Dan setelahnya, mama dan Michelle pun pergi meninggalkan Asha sendirian di rumah besar itu.

***

Di rumah sakit, tepatnya di salah satu ruangan VIP. Bu Renata dan Michelle tampak menunggu dokter memeriksa pasien yang tergeletak lemah di tempat tidur pasien. Wajahnya yang pucat dan rambutnya yang hitam terurai, tampak kehilangan cahayanya. Kedua perempuan itu mendampingi si pasien dengan setia. Seolah setiap gerakan kecilnya benar-benar mereka tunggu. Meski hanya sedikit, perubahan dari pasien itu merupakan sebuah kemajuan yang mereka nanti selama ini.

Usai dokter memeriksa kondisi pasien. Perawat melepas alat bantu yang melekat di tubuh pasien dan menggantinya dengan alat penunjang lain yang berfungsi untuk mengawasi kondisi tubuh pasien. Memasang alat pemantau detak jantung, alat bantu pernafasan, juga alat penyangga leher yang baru yang lebih nyaman untuk digunakan pasien yang terbaring itu.

Bu Renata langsung mendekat pada dokter setelah pria paruh baya yang mengenakan kacamata bulat itu selesai melaksanakan tugasnya.

"Dok, bagaimana keadaan pasien? Apakah sudah lebih baik?" tanya Bu Renata penasaran.

"Pasien dalam keadaan baik. Kondisinya berangsur stabil. Dan jika keadaan ini berlangsung terus menerus, maka pasien mungkin dapat segera pulih dengan cepat. Namun, untuk kedepannya bagaimana. Semua tergantung pada pasien sendiri dan dukungan orang sekitar," ujar dokter dengan ramah. "Tugas saya sudah selesai di sini. Nanti jika memerlukan sesuatu, silahkan hubungi dokter jaga yang bertugas. Saya permisi dulu," pamit dokter itu lantas meninggalkan ruangan.

Bu Renata kemudian menoleh ke ranjang pasien. Perempuan yang terbaring lemah di sana masih memejamkan matanya dengan tenang. Ada kekhawatiran dan rasa bersalah menyelimuti Bu Renata saat ini. Kebingungannya akan situasi yang terjadi membuat Bu Renata seperti orang lain. Satu sisi ia senang karena perempuan itu akhirnya sadar. Tapi di sisi lain ia juga merasa bersalah, karena itu artinya akan ada pihak yang terluka atas keadaan itu.

Tak lama setelah kepergian dokter, Andra dan Charles datang. Mereka masing-masing membawa seikat bunga dan sekeranjang buah yang kemudian diletakkan di meja sebelah tempat tidur pasien. Andra tampak tenang duduk di tepi ranjang pasien itu dan mengamatinya. Lelaki itu memegang tangan pasien dengan lembut dan mengecup punggung tangan yang bebas itu.

Hening beberapa saat. Perlahan si pasien pun membuka mata. Seperti baru terbangun dari tidur panjangnya, mata perempuan itu bergerak pelan melihat sekitar hingga akhirnya berhenti pada satu titik yaitu pada Andra. Mereka saling diam beberapa saat hingga suara parau perempuan itu berhasil membuat Andra terpana.

"Andra," panggilnya. "Ndra, itu kamu, kan?" ucapnya lirih dengan setitik air mata yang jatuh.

Andra yang dipanggil namanya pun mengangguk.

Bu Renata dan Michelle saling bertukar pandang kemudian berpelukan dengan haru. Mereka tampak Bahagia dengan sadarnya pasien itu. Charles apalagi. Lelaki itu terlihat takjub dengan apa yang ia lihat.

Setelah sekian lamanya hanya mampu terlelap dalam kondisi pasif, perempuan itu akhirnya terbangun juga. Dengan kondisi yang lebih baik dan tubuh yang sudah pulih dari luka yang ia derita.

"Iya, ini Andra. Suamimu, Lala. Kamu sudah bangun, kan? Kamu tidak akan meninggalkanku tidur lagi, kan?" tanya Andra dengan lirih dan air mata yang membasahi wajahnya. Andra tak henti-hentinya mengecupi punggung tangan perempuan itu. Seperti ingin memastikan bahwa apa yang ia lihat adalah nyata. Bahwa istrinya , Lala, kini sudah siuman. Lala istrinya sudah sadar dari kondisi koma.

"Andra, aku sudah bangun. Aku tidak akan tidur lagi," ucap Lala lemah. Perempuan itu tersenyum pada suaminya. Dan Andra pun membalas senyuman itu. Andra lantas memeluk Lala dengan lembut namun erat. Menyalurkan kerinduan yang selama ini ia pendam sendirian.

Andra terlalu bahagia hingga ia lupa pada perempuan lainnya. Asha, istrinya yang ada di rumah. Yang kini hanya bisa diam tanpa mengetahui apa-apa. Andra lupa bahwa ada perempuan lain di rumahnya. Perempuan yang juga ia janjikan pertanggungjawaban di depan walinya dalam upacara sakral pernikahan.

[]