Chereads / Bukan Salah Istri Kedua / Chapter 25 - Bab 25 Pulang dan Kenyataan

Chapter 25 - Bab 25 Pulang dan Kenyataan

Hari berlalu begitu tenang dan terkesan sepi. Hampa, tanpa nyawa layaknya rumah yang kehilangan suasana. Asha bertahan dalam kondisi yang tidak menyenangkan selama seharian. Makan siang sendiri, tidak dianggap oleh mertuanya, hingga makan malam pun harus ia lalui seorang diri.

Asha bukan tidak bisa memahami keadaan. Perempuan itu cukup mengerti hingga ia masih berusaha untuk bersikap normal seolah semua masih baik-baik saja. Sebisa mungkin ia menyembunyikan perasaan khawatir, sedih, dan kehilangan itu dalam harinya. Meredam emosi dan perasaan yang menggerogotinya perlahan. Asha entah kenapa sudah merasakan perasaan tidak enak itu sejak tak lagi ada Andra di dekatnya. Sejak suaminya pergi entah kemana tanpa pamit padanya.

Selayaknya seorang istri, Asha mengkhawatirkan suaminya. Memikirkan lelaki yang sudah dua malam tidak pulang dan tanpa kabar. Ketika Asha mencoba mencari tahu keberadaan sang suami dengan menelpon kantor pun jawabannya sama. Andra tak ada di sana. Andra mengambil libur dua hari dengan alasan menemani istrinya. Sementara kenyataannya, Andra tidak di samping Asha.

Asha berusaha berprasangka baik pada Andra. Masih berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang Charles dan Michelle katakan adalah bualan. Namun, perkataan orang kantor tentu tidak bohong bahwa Andra menemani istrinya. Dan istri yang mereka maksud tentunya buka Asha.

Deru mesin mobil mengagetkan Asha yang melamun sendirian di ruang tengah. Perempuan itu menoleh ke pintu dekat ruangan yang mengarah langsung ke garasi. Perempuan itu beranjak dari duduknya. Berdiri dan menunggu. Berharap bahwa sosok yang ia pikirkan pulang malam itu juga.

Asha menoleh ke dinding terdekat dimana sebuah jam besar tergantung di sana. waktu menunjukan pukul delapan malam. Asha kemudian menoleh lagi ke arah pintu dimana tak terdengar lagi suara mesin mobil dan berganti dengan sapaan salam dari lelaki yang ia rindukan.

"Andra," Asha tersenyum menyambut suaminya usai menjawab salamnya. Perempuan itu mendekat dan mencium punggung tangan suaminya sebagai tanda bakti. "Kamu kemana saja? Kenapa tidak ada satupun pesanku yang kamu balas? Aku mengkhawatirkan kamu, sayang," ujar Asha yang tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya terhadap sang suami.

Andra yang biasanya akan membalasnya dengan senyuman manis dan kecupan di dahi, kali ini tampak berbeda. Lelaki itu menatap Asha dengan pandangan yang tak dapat Asha artikan dengan pasti. Lelaki itu diam, menatapnya seolah telah melakukan hal yang buruk. Meski Asha sudah bisa merasakannya, perempuan itu masih berusaha untuk menunjukan bahwa dia baik-baik saja.

"Ya sudah kalau kamu belum mau menjawab pertanyaanku. Sekarang kamu mandi dulu lalu akan aku siapkan makan malam untukmu. Bagaimana?" ucap Asha masih dengan senyum manis yang tak luntur dari wajahnya.

Andra masih diam dan menatapnya. Bahunya tampak tegang. Namun beberapa saat kemudian lelaki itu menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya sekaligus.

"Sha, kita harus bicara," ucap Andra.

"Bicara? Tentu saja. Tapi setelah kamu makan, ya?" bujuk Asha.

"Tidak, Sha. Aku tidak bisa menundanya lebih lama. Mari kita bicara sekarang," Andra menarik lengan Asha dengan lembut menuju ke kamar mama.

Andra mengetuk pintu kamar mama kemudian masuk setelah mama sudah mengizinkannya. Asha ikut saja kemana Andra membawanya. Meski hatinya kini berkecamuk sama seperti hati Andra yang tak diketahui Asha.

"Kamu sudah pulang? Ada apa kalian di kamar mama?" tanya mama dengan wajah lelah.

"Kita harus menjelaskannya pada Asha. Aku tidak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi," ucap Andra tanpa menjawab pertanyaan mamanya.

Mama menoleh pada menantunya kemudian menghela nafas dengan berat, "Duduklah dulu. Kita harus membicarakannya dengan tenang."

Andra pun mengajak Asha duduk di sebuah sofa yang ada di kamar mama sementara mama sendiri duduk di atas tempat tidur tak jauh dari sofa.

Asha diam saja melihat situasi. Seperti sedang menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk yang akan terjadi kapan saja. Tapi, bagaimanapun ia bersiap. Ia tak yakin dirinya sanggup. Entah apa yang terjadi nanti, perempuan itu hanya berharap bahwa ia akan kuat.

"Sha, aku ingin jujur padamu," ucap Andra memegang tangan Asha.

Asha menatap mata suaminya. Mencoba menyelami perasaan yang Andra tunjukan padanya.

"Sha, pertama aku ingin meminta maaf. Aku tidak bermaksud berbohong. Tapi semua memang berjalan begitu saja. Aku tahu aku bersalah dan kamu berhak untuk marah padaku."

"Kamu mau bicara apa? Kenapa seperti ini?" tanya Asha masih berusaha tenang.

"Sha, aku benar-benar menyesal karena telah menyembunyikan ini darimu. Tapi, aku tidak tahu lagi harus seperti apa menjelaskannya," ucap Andra dengan raut frustasi yang kentara.

Asha menahan nafasnya. Perempuan ini seperti dihadapkan pada sebuah pintu gerbang kelam yang tak terlihat. Bahu Asha tiba-tiba terasa tegang. Lehernya terasa kaku seperti ditimpa oleh sebuah beban berat yang memaksanya bertahan.

"Asha, maaf. Kamu bukan satu-satunya istriku," Andra menundukkan kepalanya usai berkata demikian. "Aku sudah memiliki istri sebelumnya dan dia Bernama Lala."

Asha mengatupkan bibirnya. Tidak mampu berkata apa-apa selain menatap suaminya yang tak kuasa melihat wajahnya.

"Aku sudah menikah dengan perempuan lain sebelum menikahimu. Dia koma karena kecelakaan dan sekarang dia sudah sadar. Aku tahu pasti akan sulit untuk kita berdua dalam hal ini. Aku salah, Sha. Kamu pantas membenciku. Aku salah karena aku sudah menyembunyikan ini darimu. Ini memang salahku dan beban untukku jika menyembunyikannya terlalu lama. Lebih baik aku jujur sekarang meski menyakitkan untuk kita. Daripada aku menyembunyikannya lebih lama dan akan menjadi bola salju yang besar nantinya," ujar Andra.

Asha membisu. Ia hanya bisa mendengarkan saja penjelasan Andra tanpa menanggapinya.

"Aku minta maaf karena selama beberapa waktu belakangan malah tidak memperhatikanmu. Aku bingung, Sha. Aku tidak tahu bagaimana caranya harus bersikap padamu. Aku merasa sangat bersalah," ujar Andra.

Asha kecewa. Ia ingin menangis saat itu juga tapi rasanya tak bisa. Kekecewaannya terlalu dalam hingga mengeringkan air matanya.

"Maaf, Sha," kali ini mama yang bicara. Wanita anggun itu mendekat dan mengusap bahu Asha. "Mama bukan ingin memperkeruh keadaan. Mama juga bersalah karena tidak jujur dengan posisi Andra. Bahkan mama ikut bersikap yang tidak seharusnya padamu. Mama hanya bingung. Mama tidak sanggup bersamamu lebih lama karena rasa bersalah yang mama rasakan terlalu besar."

Asha kecewa. Hatinya benar-benar terluka. Perlahan tangannya terlepas dari genggaman Andra dan perempuan itu tersenyum saja. Senyum tipis yang hampa yang baru pertama Andra lihat seumur hidupnya.

Perempuan itu menatap suaminya dengan hati hancur berkeping-keping. Dikecewakan oleh orang yang paling dicintai rasanya memang sehancur itu. Bukan hanya tentang kebohongannya. Tapi juga tentang perasaan Andra padanya yang kini mulai Asha ragukan.

"Sha aku—"

"Terima kasih, Andra," potong Asha masih dengan senyum yang sama. "Terima kasih sudah jujur padaku."

Asha kemudian menoleh pada mama mertuanya dan tersenyum dengan cara yang sama, "Terima kasih juga mama sudah jujur pada Asha."

Asha lalu kembali menatap Andra yang balas menatapnya dengan tatapan sedih dan menyesal.

"Sekarang, aku tidak tahu lagi darimana kesalahan ini dimulai. Mungkin dariku atau darimu, aku tidak tahu pasti. Sekarang kamu yang lebih tahu jelas bagaimana keadaannya," ujar Asha. "Aku tidak akan menuntut banyak. Lakukan saja yang menurutmu baik," lanjutnya kemudian beranjak dan meninggalkan ruangan itu tanpa kembali menoleh kebelakang.

[]