Chereads / Bukan Salah Istri Kedua / Chapter 18 - Bab 18 Telepon

Chapter 18 - Bab 18 Telepon

Makan malam di rumah keluarga Andra terasa sepi beberapa hari terakhir. Sejak Andra dan Asha memutuskan untuk pergi berbulan madu, mama dan papa jadi jarang makan malam bersama. Mereka memilih makan sendiri atau makan lebih awal belum Charles dan Michelle makan. Namun, malam itu mama dan papa duduk bersama mereka. Makan malam bersama dengan suasana tenang yang rasanya kurang nyaman dan canggung bagi Charles juga Michelle.

Charles dan Michelle saling bertukar pandang sesekali sambil memakan makanannya. Mereka seperti menangkap ada gelagat aneh dari mama dan papa Charles.

Ada apa? Tidak biasanya mama dan papa diam seperti ini, batin Charles sambil meneguk air mineral yang ada di gelasnya.

"Ehem! Papa hari ini pulang cepat. Kantor aman, Pa?" tanya Charles basa-basi sambil makan lagi.

Papa melegakan tenggorokannya dengan meneguk air mineral sebelum menjawab, "Iya. Kantor sedang aman dan Papa ingin istirahat lebih awal."

Charles mengangguk pendek kemudian tersenyum. Ia melanjutkan kegiatan makannya dan suasana pun kembali tenang juga canggung.

"Em, Michelle kapan mulai les lagi? Om sudah siap daftarkan kamu, Nak," ucap papa beralih pada Michelle.

Perempuan muda yang dipanggil namanya itupun menoleh dan menunjukan senyumnya, "Iya, Om. Nanti kalau sudah tahu mau les di mana dan mulainya kapan, aku akan bilang pada Om."

Papa Charles mengangguk dengan senyum ramah. "Apa yang seharian ini kamu kerjakan, Nak. Kamu belajar?"

"Oh, hari ini tidak. Aku sejujurnya pergi jalan-jalan dengan Kak Charles."

"Kalian jalan-jalan kemana? Baru pulang selepas petang," ucap mama.

"Itu, kami membeli keperluan belajar Michelle di Mall terdekat. Dia ingin sekalian jalan-jalan. Katanya terlalu penat dan bosan di rumah," jelas Charles mewakili.

"Begitu rupanya. Kalian boleh saja jalan-jalan. Boleh saja melakukan apapun di rumah, asal kalian tetap ingat aturan," peringat mama.

"Iya, Ma. Maaf. Tadi aku yang salah karena tidak pamit pada mama dan langsung pergi begitu saja," ucap Charles yang menyadari bahwa ia melakukan kesalahan tadi sebab ia pergi tanpa pamit padahal mamanya ada di rumah.

Mama hanya mengangguk kecil lantas menyelesaikan makannya. Mama minum dengan tenang usai makan kemudian menatap Charles dan Michelle secara bergantian dan menunggu mereka menyelesaikan makan malamnya.

"Ma, Papa selesai makan. Papa ke kamar dulu, ya? Mau memeriksa laporan sebentar kemudian istirahat," pamit papa.

"Ya sudah. Papa istirahat saja. Biar nanti mama yang urus sisanya," balas mama.

Papa pun mengangguk dan berpamitan pada Charles juga Michelle.

Seperginya papa, Mama masih diam di tempatnya. Masih menunggu Charles dan Michelle benar-benar selesai makan. Mama membiarkan asisten rumah tangga membereskan piring bekas makan yang ada di meja dan memindahkan makanan yang sudah tidak di makan kembali ke dapur.

"Em, Ma. Aku sudah selesai makan, aku ke kamar dulu, ya. Ada yang ingin aku kerjakan," Charles meminta izin mamanya.

"Sebentar, Nak. Ada yang ingin Mama bicarakan," ucap mama menahan putranya.

"Bicara? Dengan Charles?" tanya lelaki muda itu memastikan.

"Iya, Ma. Dengan Charles saja?"

"Michelle juga," jawab mama.

Charles dan Michelle saling bertukar pandang kemudian mengangguk.

"Iya. Memangnya mama mau bahas tentang apa?"

Mama menarik nafas kemudian menghembuskannya dengan lembut.

"Ini tentang kalian berdua," ucap mama menatap keduanya bergantian. "Mama ingin membahas mengenai sikap kalian berdua pada kakak ipar kalian, Asha."

Charles langsung berdecak begitu mendengar nama perempuan itu disebut. Michelle pun menunjukan sikap serupa. Dia tampak kesal sekalipun ekspresinya datar saja.

"Ada apa, Ma? Kenapa lagi dengan Asha itu?" tanya Charles dengan tangan yang memainkan gelas di atas meja dengan acuh. "Aku rasa sejak dia masuk ke keluarga kita, semuanya jadi serba berbeda. Rasanya semakin tidak nyaman."

"Tidak nyamannya sebuah rumah tergantung suasana yang diciptakan oleh penghuninya. Jika kamu merasa tidak nyaman, pikirkan lagi bagaimana suasana yang kamu bangun sendiri di rumah ini," balas mama.

"Tapi sejujurnya Kak Charles benar. Rumah ini terasa berbeda sejak ada Kak Asha," sahut Michelle. "Maaf jika aku bersikap kurang sopan karena berkata seperti ini. Tapi kehadirannya tidak membawa sesuatu yang nyaman di rumah ini. Suasana jadi terasa tidak menyenangkan seperti biasanya."

"Kalian berdua hanya tidak terbiasa dengan kehadirannya. Kalian hanya merasa berbeda sebab kalian belum mengenalnya."

"Untuk apa aku mengenalnya, Ma. Dia tidak sepenting itu untuk aku kenal," balas Charles angkuh. "Seorang Charles mau untuk mengenal seseorang, tentu merupakan sesuatu yang istimewa. Tapi, dia tidak istimewa. Jadi aku tidak perlu mengenalnya."

"Tapi dia kakak iparmu. Dia yang menyelamatkan nyawa kakakmu di saat tergenting," mama memberikan pembelaan. "Di saat semua orang menolak memberikan donor. Saat kakakmu benar-benar memerlukan donor itu untuk bertahan hidup. Dia datang dengan tangan terbuka dan kekikhlasan. Dia memberikan ginjalnya tanpa maksud apapun."

"Darimana mama tahu? Mama hanya melihatnya sebagai pahlawan selama ini tanpa mengenalnya dengan baik," ucap Charles. "Mama menyukainya sejak awal. Itu kenapa mama benar-benar memujanya. Apapun yang dia lakukan tetap saja baik di mata mama."

"Tidak seperti itu, Charles. Mama memang menyukainya. Katakanlah begitu jika itu yang ingin kamu dengar," sahut mama. "Tapi Mama sangat mengenal Asha. Sejak lama sejak mereka masih sekolah, keduanya memang dekat. Dan mereka memang memiliki perasaan yang sama. Mama tidak suka dengan sikap kalian berdua yang tampak meragukan keduanya apalagi ketulusan Asha pada Andra. Karena tanpa Asha harus mengatakannya di depan kita, dan tanpa Andra perlu menjelaskannya pada kita semua. Perasaan mereka tulus satu sama lain."

"Baiklah, terserah mama saja. Aku maupun Michi tidak bisa mengubah pemikiran mama tentang dia," balas Charles dengan malas. Baginya, percuma berdebat dengan mama. Wanita yang melahirkannya itu akan tetap pada pendirian dan penilaiannya terhadap Asha.

"Bagsulah kalau kalian mengerti. Sekarang yang mama inginkan hanya satu. Kalian berdua bersikap baiklah pada Asha. Apapun yang terjadi dia adalah bagian dari keluarga kita. Dia istri sah Andra dan dia nyonya muda di rumah ini. Dan kalian berdua harus menjaga sikap kalian kalau tidak ingin mama yang mengambil sikap terhadap situasinya nanti."

Baik Charles hanya diam saja dengan wajah kesal. Mereka tampak tidak setuju dengan apa yang dikatakan mama.

"Diamnya kalian, Mama anggap sebagai bentuk persetujuan. Setelah ini, kalian harus merubah sikap kalian. Jaga sikap supaya baik Asha maupun Andra dapat nyaman di rumah ini," peringat mama dengan tegas.

Mama kemudian meninggalkan meja makan lebih dulu usai mengeluarkan semua perasaan yang ia pendam. Setelah tanpa sengaja mendengarkan pembicaraan keduanya di teras tadi, mama merasa kecewa sekaligus marah. Keduanya tega untuk memperlakukan Asha dan menilai Asha seburuk itu padahal mama tahu bahwa Asha sangatlah baik dan tulus.

Mama melewati ruang tengah untuk mengambil ponsel yang tergeletak di meja di depan sofa. Ketika mama masih berdiri sambil mengaktifkan layar ponselnya dan memeriksa beberapa pemberitahuan yang masuk. Sebuah telepon dari sebuah nomer yang ia simpan membuat mama terhenyak. Sudah sangat lam sejak nomor itu menelpon. Dan baru kali ini nomor itu menghubunginya lagi. Mama tentu saja langsung mengangkatnya tanpa perlu berpikir lebih lama.

"Iya, selama malam dengan saya sendiri. Ada apa, ya?"

Mama mendengarkan jawaban si penelfon dengan seksama. Hanya sekitar tiga puluh detik si penelfon berbicara dan mama hanya mendengarkan. Hingga tanpa mama sadari, ponsel yang mama pegang terjatuh sendiri di atas karpet dan mama terdiam dengan wajah yang sulit diartikan. Mama jatuh terduduk di atas sofa dan ia menghela napasnya panjang.

"Tuhan, kenapa ini harus terjadi?" gumam mama dengan wajah menyesal.

[]