Di tempat kerja, kelelahan menyerang Sera, ia bahkan tak ayal sering sekali duduk karena kakinya merasa sangat pegal, ia juga tak tahan melihat terlalu banyak orang, membuat kepalanya pusing dan mual nya timbul kembali.
Sera kembali pulang ke rumah, kini ia menyapa sang Ayah dan Kakaknya. Namun lagi-lagi ia tidak mau makan bersama dan langsung masuk ke kamarnya.
Marwah yang menyadari perbedaan dari adiknya, sudah mulai curiga ada apa? biasanya gadis itu selalu terbuka, walau masalah percintaan sekalipun atau masalah di pekerjaan nya, Sera pasti akan menceritakan nya. Namun kali ini, jangankan membuka mulut, bertatap muka saja gadis itu enggan.
Marwah masuk ke kamar Sera bermaksud memberikan makanan untuk sang Adik yang ia kira masih sakit dan merusak moodnya. Namun begitu Marwah masuk, Sera tampaknya sedang ke kamar mandi, dia kemudian menaruh makanan yang dibawa nya di atas meja.
Ia duduk di tepi ranjang seraya menunggu adiknya keluar kamar. Sera melihat bungkusan obat di meja Sera, ia mengambilnya untuk melihat Sera sudah minum obat atau belum. Namun ia malah terkejut begitu melihat obat dalam plastik itu. Sudah pasti Marwah tau betul itu obat apa karena ia bekerja di Apotek.
Sera keluar dari kamar mandi, ia begitu terkejut ketika melihat sang kakak memegang plastik obatnya. "Kak Marwah, sedang apa?" Sera tampak panik, seraya mendekat ke arah kakaknya.
"Sera apa ini?" tanya Marwah! Tidak ada embel-embel Dek, ia langsung bertanya menggunakan nama asli adiknya.
"Itu itu anu Kak!" Sera benar-benar panik, ia langsung duduk di kasurnya karena lemas.
Marwah berjalan menutup pintu kamar sang Adik dan menguncinya dari dalam. "Apa ini Ser?" kini Marwah duduk di samping Asiknya, menunggu jawaban.
Sera menundukan wajahnya, air matanya sudah keluar lebih dulu. "Vitamin kehamilan!" jawab Sera.
"Kakak tau, tapi milik siapa?"
"Punyaku."
Tangan Marwah langsung lemas, ia menatap adik semata wayangnya. "Kamu hamil?" kata-kata Marwah yang langsung membuat Sera mengatupkan bibirnya.
"Maafkan Sera Kak, maafkan Sera," tubuh gadis itu merosot turun dari ranjang, bersimpuh di depan kaki Kakaknya.
Marwah tampak mematung, ia mencerna ucapan sang Adik. "Siapa yang melakukannya?"
"Aku tidak tahu Kak!" jawab Sera.
"Sera!" teriak Marwah, semakin dibuat kesal oleh jawaban sang Adik.
"Apakah ayah anak itu pacar bule mu?" kini mata Marwah ikut bereaksi, dia amat kesal dengan sang Adik.
"Aku tidak tahu Kak sungguh!" jawab Sera kemudian.
Marwah menarik tubuh adiknya sehingga duduk didepannya di atas kasur. "Siapa Sera, katakan?" Marwah kini bertanya dengan lebih lembut.
"Aku bertemu dengannya hanya sekilas saat di hotel, kemudian aku pulang kesini! Aku tidak menyangka aku akan hamil," Sera menjelaskan sebisanya, berharap sang Kakak mengerti.
"Lalu kamu melakukan dengan orang yang baru kamu temui, apa kamu gadis bodoh Sera? Kakak tidak percaya jika kmu tergiur karena mereka tampan, jelaskan Sera bagaimana kamu akan menghadapi ini?" Marwah semakin kehilangan kesabaran.
"Aku bahkan tidak mengingat wajahnya, aku tidak tahu dia siapa Kak, ini bukan anak Sahin! Aku bahkan tidak pernah bersentuhan dengan Sahin."
Tangis Sera membuat Marwah percaya bahwa adiknya itu tidak sedang berbohong. "Lalu apa yang akan kamu katakan pada Ayah?" ucapan itu keluar dari mulut Marwah.
Sera mematung, ia berusaha menghapus air matanya. "Kak aku benar-benar takut ayah akan kecewa!"
"Lalu menurutmu tidak akan, jelas dia akan kecewa kamu anak yang disayanginya bagaimana bisa kamu kebablasan seperti ini."
Sera semakin menggenggam tangannya, ia bingung harus seperti apa.
"Kak, apa aku gugurkan saja kandungan ini?" ucap Sera kemudian.
Marwah tak habis pikir mendengar ucapan Adiknya. Ia benar-benar kesal bukan main! Kini ia melihat Sera bukan seperti Sera yang dia kenal. "Berapa dosa lagi yang akan kamu perbuat, itu sudah dosa Sera. Menghilangkan anak itu lebih dosa." Marwah mengingatkan.
"Aku tidak tahu harus bagaimana Kak,"
"Seharusnya kamu mendengar ucapan Ayah untuk tidak pergi kesana." Kini Marwah seperti mengutuk Adiknya itu.
"Makan makanan mu, Kakak butuh waktu juga berpikir hal ini," Marwah keluar dari kamar Sera, membawa semua kekecewaannya.
Sera tampak panik, ia sangat sedih membuat Kakaknya amat kecewa. Belum lagi memikirkan sang Ayah.
Keesokan harinya, Sera terdengar muntah-muntah bahkan ia tidak keluar dari kamar mandi sama sekali. Marwah bahkan tidak memanggilnya untuk sarapan, Pak Jenay menyuruh Marwah memanggil adiknya itu, namun Marwah beralasan Sera nanti akan keluar sendirinya. Hatinya cukup retak oleh kenyataan sang Adik.
Marwah berangkat bekerja sendiri, ia hanya pamit pada Ayahnya saja. Pak Jenay merasa ada yang aneh dengan kedua putrinya itu.
Ia bermaksud melihat keadaan Sera. "Nak, tidak kerja?" tanya pak Jenay, dia berdiri di ambang pintu.
"Tidak Ayah, kayanya Sera izin lagi!" jawab Sera, ia membelakangi sang Ayah dan menutup dirinya dengan selimut. Ia tahu betul Ayahnya pasti masih ada di ambang pintu.
"Kamu sudah ke Dokter masih saja sakit! Ayah panggilkan tukang urut ya biar enakan badannya." ujar pak Jenay.
Sera tidak menjawab, ia sibuk dengan sakit di perutnya yang terus menyeruak membuatnya muak.
Satu jam setelahnya, tukang urut langganan keluarga mereka datang. Biasanya memang setiap bulan Sera dan Marwah di urut oleh nya. "Assalamualaikum, pak Jenay!" ucap tukang urut itu.
"Walaikumsalam, eh mba Sri sudah datang! Ayo masuk, langsung aja ke kamar Sera! Dia sakit di dalam," titah pak Jenay.
Tukang urut yang kerap di sapa mba Sri itu, langsung mangut dan masuk ke kamar Sera.
"Neng Sera, jarang sakit ya sekalinya sakit parah banget sampai pucat begitu!" ujar Mbak Sri.
Sera tampak sangat gak kuat bahkan sekedar membuka mulutnya. Mbak Sri pun kebingungan karena ini pertama kalinya melihat putri bungsu pak Jenay sakit.
Mbak Sri mulai menutupi tubuh Sera yang lemas dengan kain panjang yang biasa ia gunakan dan mulai memijit daerah kakinya, kemudian naik ke bagian perut tanpa diminta serat, karena melihat gadis itu tampak merasa mual dan ada yang tidak beres dengan perutnya.
Mbak Sri tampak bingung, ia mengulang sampai berkali-kali! "Ah masa neng Sera hamil, dia kan belum menikah, kenapa tanganku hari ini!" batin mbak Sri.
Ia tidak meneruskan pijatannya di daerah perut Sera, dan memijatnya di daerah lain. Begitu selesai Mbak Sri tampak keluar dan menjelaskan tentang kebingungannya kepada pak Jenay, yang langsung membuat pak Jenay tertawa terpingkal-pingkal.
Setelah membeli salari pada mbak Sri, wanita paruh baya itu pun meninggalkan rumah pak Jenay.
Ucapan Mbak Sri rupanya membuat pak Jenay tampak kebingungan, ia kemudian memanggil bidan dari desa lain pada sore hari untuk datang ke rumahnya, guna memeriksa Sera.
Sera tampak tertidur setelah dipijat, bidan itupun mengecek keadaan Sera ia tampak memastikan beberapa kali, kemudian setelah itu keluar menemui pak Jenay yang berada di ruang tamu.
''Ini gejala biasa, memang seperti itu!" ucap sang bidan.
Pak Jenay tersenyum. "Masuk angin ya Bu?" tanya pak Jenay dengan wajah sumringahnya.
"Bukan, hamil Pak. Selamat sebentar lagi punya cucu," ujar sang bidan, yang tidak mengetahui detail tentang keluarga pak Jenay, dia menjulurkan tangannya kepada pak Jenay.
Dengan hati yang bingung sekaligus berkecamuk, pak Jenay menjabat tangan sang Bidan. Ia menyembunyikan rasa kagetnya itu, sampai akhirnya Bidan itu pergi dari rumahnya.
Tubuh pak Jenay langsung merosot, ia memegang kopiah yang dikenakannya. "Astagfirulloh, apa ini ya Alloh?" ucap pak Jenay, tubuhnya tersungkur di ujung kursi.