Akhirnya merasa perutnya tidak bekerjasama, Sera memaksakan bangkit dari tidurnya, dan berganti pakaian untuk pergi ke Dokter.
"Kemana Nak?" tanya sang ayah sembari tersenyum.
"Sera mau ke Dokter, lambung Sera sepertinya kambuh, obatnya juga habis!" Kata Sera.
"Ayah antar ya, sekalian Ayah mau tebus obat batuk," tawar sang Ayah.
Sera pun tidak menolak dan menerima tawaran Ayahnya.
Mereka berdua pergi menggunakan motor jadul sang Ayah, Sera selalu senang ketika pergi di bonceng Ayahnya.
Mereka akhirnya tiba di Rumah sakit Harapan. "See, kamu temui Dokter sendiri ya, Ayah langsung ke apotek," kaya pak Jenay.
Sera mengangguk karena sudah biasa, kebetulan pasien di ruangan Dokter langganan Sera tidak ramai ia jadi langsung masuk setelah beberapa saat menunggu.
Dokter melakukan pemeriksaan, namun ia tak menemukan gejala aneh lada lambung Sera, ia juga bertanya gejala apa saja yang di rasakan gadis itu.
Setelah itu, Dokter tidak meresepkan obat seperti biasanya, namun malah menyuruh Sera mengunjungi Dokter lain yang di maksud Dokter itu, Sera membelalakkan matanya, "apakah penyakit saya parah Dok?" tanya Sera.
"Untuk memastikan kamu kesana saja ya," jawab Dokter itu.
Sera kemudian mengangguk, dan mencari ruangan Dokter yang di maksud tadi. Sera lagi-lagi tak menunggu waktu lama, ia langsung masuk. Dokter nya ternyata perempuan, Sera lebih ramah dan mengatakan gejala yang dialami nya. "Ok, bisa di angkat bajunya, biar kita cek ya!" kata Dokter itu.
Sera menurut, ia menyadari Dokter itu mengoleskan seperti krim di perutnya berbentuk gel yang dingin, kemudian menaruh sebuah alat dan menggerakkannya ke kiri dan kanan, namun Sera tak bodoh ia tahu itu dinamakan USG.
Gadis itu hanya berpikir usus nya bermasalah.
"Wah, iya sudah ada, nah ini!" ucap Dokter itu.
Sera tak mengerti, namun Dokter perempuan itu tersenyum, dan setelah selesai USG Sera duduk kembali.
"Nama siapa?" tanya Dokter.
"Sera!" jawab gadis itu.
"Ok, mulai bulan depan setiap tanggal 5 ya check jangan lupa, selamat kamu hamil dua bulan," Dokter itu tersenyum dengan senang, dan mengulurkan tangannya.
Sera hampir membulatkan matanya dengan sempurna. "Apa, maaf Dok?"
"Hamil, ibu Sera hamil 2 bulan," ulang kembali Dokter itu.
Sera masih tak habis pikir, namun ia dengan berat hati mengulurkan tangannya. "Ini obat vitamin penguat kandungnya ya, jangan lupa diminum ya, ini ada daftar makanan yang jangan di makan ya, kamu punya penyakit lambung juga ya?"
Sera hanya mengangguk, kini tanpa senyum sedikitpun, itu membuat kepalanya tak bisa berpikir.
Ia keluar dari ruangan Dokter itu, membawa kresek obat yang tadi di resep kan, ia berjalan dan terus menyusuri lorong Rumah sakit.
"Nak, kok dari sana? sudah diperiksa nya?" pak Jenay tiba-tiba menghampiri Sera.
"Ah, Ayah!" Sera menunjuk ke arah belakang, kemudian kembali fokus pada Ayahnya.
"Kenapa?" tanya pak Jenay melihat putrinya tampak bingung.
"Ayah, aku sudah! Ayo pulang," ajak Sera.
Pak Jenay mengangguk, senyumnya terpampang tampak sangat teduh, namun perasaan Sera yang panas seakan berontak.
Sera memakai helm nya dan kembali memegang pinggang sang Ayah yang sedang mengemudi motornya. Air mata gadis itu meleleh begitu saja, ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi! Ia merasa sangat ingin bangun dari mimpi buruk ini, namun panas di pelupuk matanya terlalu nyata untuk dihindari.
Sera langsung berlari ke kamarnya, pak Jenay memarkirkan motornya dengan mendorongnya, ia melihat putrinya berlari begitu saja.
Sera mengunci pintu dari dalam. Tubuhnya merosot begitu saja, kakinya tak mampu menahan. "Apa ini, apa yang sedang terjadi, hamil?" lirihnya, hatinya tampak tercabik menerima kenyataan itu.
Kemudian Sera bangkit dan duduk di tepi ranjang, ia melirik ke arah atas meja, selembar sapu tangan bermotif kuda putih dengan hirup K di tengahnya, membuat ia menatapnya lekat-lekat. "Apakah itu Keenan? bagaimana bisa aku hamil oleh laki-laki yang hanya kutemui satu kali saja, aku bahkan tidak tahu dia siapa dan dimana." Sera tampak lebih prustasi sekarang, ia meremas kain saputangan itu.
"Aku bahkan tidak mengingat wajahnya," Sera membenamkan wajahnya di atas bantal karena ingin meredam tangisannya.
Marwah pulang dari kerjanya, ia mengetuk pintu kamar Sera untuk mengajaknya makan, sebelumnya ia menanyakan keberadaan sang adik pada Ayahnya, Marwah mengira Sera masih sakit.
"Dek, ayo makan!" teriak Marwah.
Sera bangkit dengan lusuh dan membuka pintu. "Iya kak," jawabnya kemudian berjalan ke arah meja makan, disana sang Ayah sudah duduk di meja.
Mereka makan bersama seperti biasa. "Nak, ayah semalam mimpi menangkap ikan, ayah rasa kita akan bertambah anggota keluarga, jadi siapa yang akan menikah lebih dulu?" goda sang Ayah.
Mendengar itu Sera mengangkat wajahnya, anggota keluarga yang dimaksud sang Ayah bukanlah menantu, tapi bayi di perutnya, hal itu membuatnya ingin sekali menangis.
Tiba-tiba Sera mual tak terkendali, ia segera berlari ke kamar mandi. "Anak itu, dia sakit sampai seperti itu, dia selalu telat makan!" ucap sang Ayah.
Marwah menerka sang Adik sebelumnya tidak pernah mual seperti itu walau lambung nya kambuh. Namun ia mendiamkan sang adik.
Sera tak kembali ke meja makan, ia langsung tidur di kamarnya. "Ser?" panggil Marwah, entah kapan ia masuk ke kamar adiknya itu.
"Kak, kenapa?"
"Sudah minum obatmu?" tanya Marwah.
Sera mengangguk, tapi ia kembali menutupi wajahnya dengan selimut, Marwah menggelengkan kepalanya, kemudian keluar lagi.
Sera menyadari kepergian sang Kakak, ia kemudian meraih ponselnya, ia membuka internet nya, ia bahkan sampai terpikirkan hal bodoh untuk melenyapkan bayi di kandungan nya itu, namun ternyata takutnya akan kematian dan akibat juga dosa yang akan di tanggung nya, membuat gadis itu berpikir kembali.
Ia kemudian melirik foto keluarga di sampingnya. Foto dengan jumlah 5 orang itu, ia raih dan ia tatap, semua anggota keluarga termasuk almarhum ibunya tampak tersenyum dan sangat bahagia di foto itu.
"Bu, Sera bingung sekarang, apa yang akan Sera lakukan jika sampai Ayah tau, jika Sera memutuskan mengakhiri hidup Sera apakah Ayah akan lebih sakit dari ini? Maafkan Sera Bu, sera membuat kesalahan besar!" Sera memeluk dan mencium bingkai foto itu.
Suara sesenggukan nya sampai terdengar ke kamar kakaknya, Marwah mendengar adiknya itu menangis, namun ia hanya berfikir Sera masih menangis karena memikirkan Sahin, karena dua Minggu semenjak kepulangannya dari Turki, Sera terus menangis setiap malam.
Marwah menceritakan itu pada sang Ayah, dan Ayahnya berniat tidak menanyakan itu pada sang putri bungsu, dan lebih menghiburnya dengan apa yang ia lakukan.
Sera tertidur dengan air mata menggenang di pelupuk matanya, sudah pasti akan membuat matanya bengkak di pagi hari.
"Ser, sarapan ayo!" ajak Marwah, ia sudah duduk di meja makan dengan sang Ayah.
Sera tidak menjawab, bahkan tidak menyapa, ia langsung memakai sepatunya dan pergi. Itu untuk pertama kalinya gadis itu tidak berpamitan pada sang Ayah, sehingga membuat laki-laki paruh baya itu menatap putri sulungnya karena merasa ada yang aneh.