"Kenapa berteriak?" tanya David.
"Perempuan itu masih gadis!" jawab Keenan.
"Wah, hebat Tuan muda, mendapat permata tak terduga bukan?" David masih nyeleneh.
Keenan menggeplak kepala kepala David. "Bagaimana jika dia menuntut sesuatu padaku? bagaimana jika ayah tau ? aku benar-benar tidak akan menjadi pewaris bisnis Ayah," Keenan panik seketika.
"Benar, tidak boleh ada skandal sampai penobatan CEO baru!"
"Cepat, cari informasi gadis itu! Berikan padaku sekarang, aku akan menjelaskan padanya bahwa ini real kesalahan, jika dia meminta uang aku akan memberikan berapa pun yang dia minta!'' Keenan berteriak lagi, membuat David kocar kacir melakukan apa yang di suruh Keenan.
"Soal, kenapa aku ceroboh begini, lagian masih ada ajah perempuan yang virgin di era kaya gini," Keenan menggerutu menyesali kecerobohan nya itu.
"Ah, seharusnya aku bisa menahan semalam,apa yang membuatku terpikat dengan gadis yang baru ku temui!"
Keenan marah pada dirinya sendiri, ia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya kemudian ke kamar mandi, ia melihat kamar mandi yang basah, berarti gadis itu baru saja mandi dan pergi, mata Keenan tertuju pada kalung liontin di ujung wastafel, ia meraihnya dan melihat nama yang tercantum disana Sera, nama yang sama ketika gadis itu memperkenalkan diri.
"Dia benar-benar bernama Sera!" lirih Keenan, ia kembali melanjutkan niat mandinya.
Ia selesai setelah berendam di bathtub selama satu jam lebih, dan begitu ia keluar David sudah menyediakan baju di kasur itu.
Ia mengenakan jas yang membentuk tubuh indahnya. "Ah ini seharusnya jadi sesuatu yang i dah, tapi malah menjadi beban pikiran," kata Keenan, matanya tertuju pada darah di atas kasur, darah kegadisan Sera.
David menghampiri Keenan yang sedang duduk di kursi Lobby, "Pak, saya mau bicara!" kata David, anak laki-laki itu bersikap sopan ketika di area hotel.
"Kenapa?"
"Gadis itu sudah pulang ke negaranya, saya sudah memastikannya, dia mengambil penerbangan pertama tadi pagi di bandara Istanbul!" lanjut David, dengan lirih agar orang lain tidak mendengar.
Keenan langsung kesal, wajahnya berubah merah dan tertunduk. "Bagaimana, Pak?" tanya David hati-hati.
"Katakan pada semua staff, agar tidak mengangkat telepon tentang keluhan sampai aku menjabat CEO, jangan sampai ada kendala.
David mengangguk mengerti.
Sera tiba di Indonesia, tepat pukul 7 malam, ia harus memesan taksi untuk menuju kediamannya, dan itu membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua jam, mengingat jalanan Jakarta yang sangat macet di jam itu.
Sera menatap lampu-lampu indah ditengah kota, dari jembatan layang yang sedang dilaluinya. "Ah, indah sekali! Aku tidak memperhatikan nya jika pergi dengan teman-teman ku, karena asik mengobrol."
"Pulang dari mana neng?" tanya supir taksi, mungkin karena wajah Sera tampak orang Indonesia sekali atau tidak seperti gadis dari suku manapun makannya bapak supir memanggilnya begitu.
"Dari Turki pak!" jawab Sera.
"Wah, enak sekali ya! Saya bekerja sebagai supir taksi airport sudah 7 tahun, dan saya selalu mengantar mereka pulang ataupun pergi dari bandara!"
"Enak bagaimana pak?" tanya Sera, ia tak mengerti maksud si bapak.
"Iya orang-orang bisa jalan-jalan ke luar negeri naik pesawat, saya naik pesawat antar provinsi saja belum pernah neng," jelas bapaknya.
"Hem, mereka terbang karena mungkin ada keperluan seperti pekerjaan yang mewajibkan mereka memakai transportasi itu, terkadang pekerjaan mereka juga ada yang sulit pak,"
"Iya betul neng, kita tidak ada yang tahu, kalau neng abis jalan-jalan atau bekerja?" tanya si bapak nya.
Sera menarik nafas panjang, ia ingin menjawab jalan-jalan tapi nyatanya pengalaman yang ia hadapi lebih pusing dari sekedar hanya bekerja. "Entahlah pak, saya hanya mencari angin," jawab Sera kemudian.
"Enak ya cari angin saja keluar negeri," kata bapa kemudian.
Sera melirik bapak supir itu sekilas, ia tak hanya berdehem pelan, bapak supir terus mengatakan enak ya pergi keluar negeri, membuat kepalanya ingin pecah, Sera pun menekan tombol di samping pintu, menurunkan kaca mobil taksi itu.
Sera menghirup udara yang dingin itu. "Ah, Indonesia, i need you so much,"batin Sera.
Setelah menempuh perjalanan macet, Sera akhirnya tiba. Taksi itu berhenti di sebuah rumah sederhana itu, namun memang Asti dan bersih. Pintu rumah terbuka lebar, Sera membayar argo taksi dan mengambil koper yang sedang diturunkan oleh bapak supir.
Tak lupa ia mengucapkan terimakasih, kemudian masuk ke rumah memegang kopernya. "Assalamualaikum!" ucap Sera.
"Walaikumsalam," jawaban serentak, dari beberapa orang.
Sera melihat kearah orang-orang yang tidak dikenalnya, ada juga Ayah nya dan kakaknya duduk. "Sera, baru pulang?" tanya seorang ibu paruh baya padanya.
Sera mengangguk pelan, ia menghampiri dan memberi salam pada tamu Ayahnya.
"Nak apa kamu mau istirahat dulu?" tanya pak jenay.
Sera mengangguk, padahal ia ingin sekali memeluk sang ayah yang bahkan tidak menelponnya ketika ia di Istanbul. "Ayah Sera ke kamar dulu ya, Om, Tante," dan Sera tersenyum pada satu laki-laki yang duduk di samping mereka.
Marwah selaku kakak, ia hanya melihat adiknya dengan tatapan seakan mau menerkam, bukannya rindu sepertinya mereka rindu akan pertengkaran.
Sera memasuki kamarnya, ia tetap membersihkan diri kemudian berganti baju dan langsung membaringkan tubuhnya di kasur sederhana nya itu.
Marwah kemudian masuk menemui sang Adik. "Cie akhirnya kesampaian jalan-jalan ke luar negeri," goda Marwah.
Sera tidak berniat memulai pertengkaran dengan sang Kakak. "Ah aku lelah sekali, jangan mulai sesuatu yang aneh," jawab Sera, seakan ia sudah mencium bau bau kakaknya akan mnyerang.
"Kamu tidak membeli oleh-oleh?" tanya Marwah, alih-alih menanyakan keadaan Adiknya, ia malah tertarik oleh-oleh.
Sera diam, kemudian ia duduk dan bangkit. "Kak!" ucap Sera, kemudiaan ia melihat ke arah Marwah yang juga menatapnya.
"Apa?"
Bukan menjawab, Sera malah menangis. Marwah pun beralih posisi menghampiri Sera. "Kenapa? ada apa?" ia panik melihat adiknya tiba-tiba menangis.
"Dia berbohong, Sahin ternyata sudah berkeluarga bahkan istrinya sedang hamil," lirih Sera, ia menangis lagi.
Marwah sering sekali memperingatkan nya agar tidak percaya pada orang luar yang dikenalnya di dunia Maya itu, namun Sera tak pernah menurut, ia selalu mengejek adiknya itu, tapi ketika ucapannya menjadi kenyataan, Marwah tetap tidak tega melihat sang adik menangis.
"Ah, Sera!" Marwah menarik Sera dan memeluknya.
"Kamu sudah menabung sebanyak itu, dan pergi ke negaranya, laki-laki kurang ajar, berani-berani nya dia membohongi Adikku yang cantik," ucap Marwah, sembari mengelus kepala adiknya, dan menepuk-nepuk punggungnya sembari melanjutkan mengutuk Sahin.
Seorang Kakak memang terlihat ketika sang Adik tersakiti, ia merasa dia lah yang paling terluka.
Pak Jenay tiba-tiba masuk dan melihat kedua putrinya, ia kaget melihat mereka akur. "Ada apa ini, tumben akur?" tanya nya mengagetkan kedua gadis itu.
"Eh ayah, tidak Sera hanya rindu padaku," Marwah menyela.
"Oh begitu, nanti lanjutkan! Ayo keluar dulu, sapa tamu ayah mau pulang," titah pak Jenay.
Sera dan Marwah mengangguk kemudian bangkit, mereka juga sampai mengantar tamu Ayahnya bersama putra mereka sampai ke depan rumah.
"Bagaimana? tampan tidak anak laki-laki itu?" pertanyaan itu terlontar dari sang Ayah pada kedua ank gadisnya.
Sera dan Marwah kompak menaikan kedua pundaknya, ia tahu maksud sang ayah kemana.
Dua bulan berlalu, Sera juga giat kembali bekerja. Ia memutuskan untuk move on walau sesekali Sahin menghubungi nya lagi dan membuat hatinya hancur, ia kemudian membulatkan tekad mengganti nomor ponsel dan menghapus sosial medianya, sehingga ia lebih kuat untuk menghindari Sahin.
Hari Senin, Sera bangun lebih pagi karena harus menyetok barang di tempat kerjanya, namun tiba-tiba kepalanya sangat berat, ia merasa penyakit lambung nya kambuh, karena dorongan di perut ke tenggorokannya membuat ia ingin muntah dan nyeri.
Sera menghabiskan waktu di dalam toilet, sampai akhirnya ia menelpon rekan kerjanya karena tak kuat pergi bekerja.
"Dek, kamu kenapa?" tanya Marwah melihat bibir Sera yang seperti mayat.
"Perutku tidak enak, mual sekali Kak," jawab Sera, ia meringkuk di atas kasurnya.
"Mau ke Dokter?" tanya Marwah.
"Ia, sekalian karena obat lambung ku juga habis!" jawab Sera, menenangkan Kakaknya.
"Kakak tidak bisa antar, hari ini ada stok obat masuk, kakak berjaga di apotek juga,"
"Tidak apa-apa aku pergi sendiri kak, nanti siangan aja, nunggu enakan badannya," jawab Sera.
Marwah mengangguk, ia sebenarnya khawatir melihat sang adik pucat, dan teruss mual-mual, ia menaruh teh hangat untuk sang adik di mejanya.