Aldi tak tenang. Pikirannya tak pernah lepas dari sosok Salsha. Ia kembali menyakiti gadis itu lagi. Aldi ingin mengejar Salsha tapi ia juga tak mungkin meninggalkan Kezia disini sendirian. Aldi tak ingin di cap sebagai orang yang tidak bertanggung-jawab.
Dan disinilah, Aldi dan Kezia berada. Kezia yang menikmati makanannya sedangkan Aldi hanya mengaduk-ngaduknya saja. Ia sama sekali tak selera. Pikirannya hanya terfokus kepada Salsha.
Selesai Kezia makan, Aldi buru-buru mengantarnya pulang. Setelah itu ia akan mengunjungi rumah Salsha dan berusaha menjelaskan semua yang ada. Walaupun Aldi tahu, apapun alasannya, ia tetap salah.
Sementara itu..
Iqbaal mengantar Salsha sampai ke depan pintu rumahnya. Salsha masih terus saja menangis. Tanpa erangan dan juga tanpa suara. Iqbaal sama sekali tak tega. Ingin memeluk dan menenangkan gadis itu tapi Iqbaal tak berhak. Ia juga tak ingin menodai pertunangannya dengan Mikhaila. Jadi yang di lakukan Iqbaal hanya menepuk sembari mengusap bahu Salsha.
Salsha menepis airmatanya, mencoba tersenyum walaupun tak bisa, "Makasih, Baal, udah anterin gue pulang."
Iqbaal mengangguk, ia masih mengusap pundak Salsha, memancarkan ketenangan, "Sama-sama. Jangan nangis lagi, dong."
"Iya," Salsha menangguk samar, "Salam buat Mikha. Maaf udah ngerepotin lo."
"Mending sekarang lo masuk. Gue udah nyuruh Steffi datang kesini. Curhat sama cewek lebih nyaman daripada sama gue."
Airmata Salsha kembali meluruh, ia sudah tak sanggup lagi. Iqbaal selalu mengerti dirinya. Lelaki itu selalu berusaha menjaganya. Padahal, ada Mikha yang di samping Iqbaal. Ada Mikha yang berhak mendapatkan semua dari Iqbaal.
Tak sanggup berkata-kata lagi, Salsha hanya mengangguk. Ia memang membutuhkan teman curhat saat ini.
Salsha masuk kedalam rumahnya. Mengunci pintu dan berlari ke kamarnya. Sementara Iqbaal melajukan mobilnya pergi meninggalkan rumah Salsha.
Salsha merebahkan tubuhnya di kasur empuknya, ia juga menutup wajahnya dengan bantal. Ia menangis sesengukan disitu. Masih tak terima dengan apa yang Aldi lakukan.
Aldi membatalkan acara kencan mereka hanya karena Kezia. Padahal Salsha sudah bersiap dan ia berharap lebih di kencan mereka saat ini. Tapi semua hancur lebur. Ia kembali merasa sakit hati.
Bukan karena gagal kencan mereka yang membuat Salsha sangat sakit. Tapi karena Aldi yang membohonginya. Salsha paling sensitif dan paling tak suka kepada orang yang suka berbohong. Dan kini, Aldi melakukan itu.
Sekitar satu jam lebih menangis, Salsha bangkit dari tidurnya. Menatap dirinya di pantulan cermin. Matanya tampak memerah dan membengkak, wajahnya yang kalut dan rambutnya yang berantakan.
Bell rumah Salsha berbunyi. Ia yakin jika itu adalah Steffi. Salsha memutuskan untuk mencuci wajah sejenak sebelum keluar menemui Steffi.
Setelah mencuci muka, Salsha menuruni tangga dan membuka pintu rumahnya. Betapa terkejutnya ini melihat seseorang yang sudah berdiri di depannya. Airmata yang sempat berhenti itu pun kembali luruh. Salsh menepis airmata itu kasar. Ia menatap lelaki di depannya dengan tatapan tajam.
"Ngapain lo kesini? Pergi!" usir Salsha. Ia berbicara dengan nada dingin.
Lelaki itu, Aldi, menyodorkan sebuket bunga mawar kepada Salsha sebagai permintaan maaf, "Buat kamu, Sha."
Salsha tersenyum miring, ia menerima buket bunga itu, menatapnya dengan jijik kemudian melemparnya di depan wajah Aldi, "Bunga ini nggak bisa bikin hati gue sembuh!"
Sakit saat duri mawar itu mengenai wajah Aldi. Tapi Aldi tahu, itu belum seberapa di banding sakit hati Salsha.
"Aku minta maaf, Sha. Aku bisa jelasin semua."
"Apa yang lo jelasin nggak bakal bikin semua balik lagi. Gue udah terlanjur sakit hati," Salsha mengucapkan kalimat itu dengan penuh penekanan. Airmatanya kembali jatuh, "Lo nggak ngerasain jadi gue, Ald. Lo bisanya cuma nyakitin."
Aldi menatap wajah Salsha sendu sembari menggeleng, "Aku minta maaf. Aku tahu sekarang kamu lagi marah sama aku. Tapi, pliss, dengarin aku ngomong."
"Gue nggak marah. Gue cuma kecewa. Gue kecewa sama lo yang lebih milih dia." Salsha menunjuk dadanya sendiri, "Gue kecewa sama diri gue sendiri yang nggak bisa berhenti BERHARAP, NGGAK BISA BERHENTI CINTA SAMA LO!" Salsha berteriak di akhir ucapannya.
Salsha menarik kerah kemeja Aldi dan mencengkramnya kuat. Ia melampiaskan amarahnya, "Untuk apa, untuk apa semua perlakuan manis lo selama ini ke gue. Untuk apa semua kata gombalan lo, kalo akhirnya lo bikin gue sakit lagi, Ald."
Salsha menunjuk dada Aldi dengan jarinya, "Lo.. lo udah hancurin semua harapan gue. Lo udah bohongin gue," Salsha menangis tersedu-sedu, "Apa pernah gue ngelarang lo dekat sama Kezia? Apa pernah gue ngebatasin lo sama Kezia?"
Aldi menggeleng, "Nggak pernah."
"JADI KENAPA LO LAKUIN INI SEMUA SAMA GUE!" teriak Salsha. Ia memukul-mukul dada Aldi dengan keras, "Lo sama sekali nggak mikirin perasaan gue."
Aldi meraih tangan Salsha dan menggenggamnya. Ia tak suka melihat Salsha seperti ini, "Dengarin penjelasan gue dulu." Aldi memegang kedua bahu Salsha, "Kezia nyuruh gue buat nemanin dia beli kado sama Mamanya. Hubungannya sama Mamanya itu nggak dekat, Sha. Jadi gue pikir ini waktu yang tepat buat mereka kembali dekat. Makanya gue nemanin dia beli kado."
"Dan lo lupain gue?" Salsha tersenyum miring, "Lo lebih milih dia daripada gue? Lo lebih milih batalin janji kita dan pergi sama dia?"
Aldi mengerang frustrasi, ia mengacak rambutnya, "Bukan kayak gitu, Sha. Pliss, jangan kekanakan. Jangan lebay menyikapi hal ini."
"Lebay lo bilang? Kekanakan lo bilang? Mikir, Ald, gue gini itu karena lo. Lo yang bikin gue berpikir kalo lo masih punya perasaan sama gue. Gue pikir, hubungan kita bisa di mulai dari nol lagi. Gue pikir, lo jadiin gue satu-satunya cewek di hati lo. Tapi gue salah, gue cuma salah satunya bukan satu-satunya,"
"Semua sikap manis lo ke gue, semua gombalan busuk lo itu ternyata lo bagi juga sama orang lain. Gue yang salah, gue terlaly baper nanggepin semuanya."
Aldi menghela nafasnya. Ia mengusap airmata Salsha yang masih saja turun, "Udah, Sha. Ini cuma masalah spele, nggak usah lo besar-besarin. Kita masih bisa pergi kapan aja."
Salsha sakit hati mendengar ucapan Aldi itu. Menurutnya ini masalah spele, tapi tidak untuk Salsha. Aldi telah mengingkari janjinya
"Pergi sama Kezia!" Salsha menepis tangan Aldi dengan kasar, " Hari ini lo buktiin ke gue, kalo lo nggak berhak lagi buat gue cintai. Lo nggak berhak lagi dapatin cinta tulus dari gue. Pergi! Pergi sama Kezia, kejar dia. Prioritasin dia. Dan tinggalin gue."
"Dua tahun gue jauh dari lo, bukan malah bikin lo ngerti siapa gue di hati lo," Salsha menunjuk dada Ald, "Tapi malah bikin gue pergi dari sini."
Salsha mencoba tersenyum, "Setelah ini, semua nggak akan baik-baik aja, Ald. Gue bakal coba buat lupain lo."
Salsha masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu itu dengan keras. Salsha menyandarkan tubuhnya di pintu itu sembari menangis tersedu-sedu. Sama halnya dengan Salsha, Aldi pun melakukan hal yang sama. Ia bersandar di pintu Salsha dan tanpa sengaja meneteskan airmata.
Perkataan Salsha begitu menohok hatinya. Bukan cuma Salsha saja yang menyayangkan kejadian ini. Aldi pun sama. Niat awalnya yang ingin menembak Salsha hancur lebur. Tapi ia juga tak bisa menyalakan Kezia.
"Bisa juga lo nangis," Steffi yang baru datang pun berkomentar sinis ke arah Aldi, "Minggir, gue mau masuk."
Aldi menepis airmatanya. Masih enggan untuk bergeser, "Tolong bantu gue biar bisa baikan sama Salsha."
"Tolong?" Steffi mendengus, "Kalo gue mau nolongin lo, itu sama aja gue relain Salsha buat sakit hati lagi. Nggak cukup waktu esema lo sakitin dia? Pikir, Ald. Sekarang kita udah dewasa, bukan remaja lagi. Mau sampe kapan lo kayak gini?"
Perkataan Steffi kembali menohok hati Aldi. Tak mau berdebat lagi, Aldi mempersilahkan Steffi untuk masuk ke rumah Salsha tapi sebelum itu ia sempat berucap.
"Gue sayang sama dia. Tapi Kezia juga tanggungjawab gue sekarang."
Steffi tersenyum mengejek, " Tentuin pilihan lo, lo nggak bisa bersama sama dua cewek sekaligus."
****