Chapter 4 - 4. Pria Gila

Grace terpenjat ketika menyadari pria itu menatapnya tiba-tiba dengan serbuan pertanyaan. Sial. Pria itu memergokinya sedang tertegun menatap wajah tampannya yang semakin jelas karena pencahayaan luar ruangan. Namun, Grace bahkan tidak bisa membedakan apakah saat ini ia sedang mengagumi ketampanan itu atau sedang merasa heran pada keanehannya.

"Eum… itu..." Grace terbata.

"Aku tidak mengerti. Seharusnya tempat ini adalah hutan belantara. Kerajaan ini sangat jauh dari lautan. Lalu, benda-benda yang ada di sini juga sangat aneh. Kau juga aneh... Semuanya aneh. Apa yang terjadi di sini?" Gumam pria itu. Ia menatap lagi rumah yang baru saja ia tinggalkan. Itu sangat berbeda dengan saat ia akan masuk. Kini, rumah itu malah menjadi rumah rusak, seakan sudah ditinggalkan selama puluhan tahun. Ini pasti adalah sihir.

"Tuan, kau harus tenang. Sebelumnya, apa kau bisa mengatakan padaku, siapa namamu? Dan dari mana kau berasal?" Tanya Grace perlahan.

Pria itu menatapnya tajam. "Kau benar-benar tidak mengenaliku?" tayanya hanya untuk mendapat menggeleng polos dari gadis itu.

"Astaga… Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Bagaimana mungkin aku terkena sihir?" Gumam pria itu dengan wajah lebih depresi.

"Aku adalah Pangeran Adro Aylmer Groendez - Putra mahkota dari Raja Archer Elex Groendez di kerjaan Groendez a Lend. Ibuku adalah Nathania Gratinty Groendez." Jelasnya dengan meletakkan tangan di ulu hati sambil sedikit membungkuk.

"Ah… Be… gitu, yah…" Gumam Grace. Ia bagai melihat aktor yang sedang memperagakan perannya sebagai pangeran kerajaan jaman dahulu.

'Oke, dia benar-benar gila, ternyata,' Pikirnya.

Lalu, Grace mencari nomor rumah sakit jiwa di internet dan menekannya. Ia menempelkan ponselnya kembali ke telinga dan nada sambung mulai berbunyi.

Adro menatap Grace bingung. Ia tidak mengerti mengapa gadis itu menempelkan benda persegi yang bisa menyala di telinganya. Namun, ia tidak mau bertanya lebih jauh. Ini semua adalah sihir. Mempertanyakan keanehan yang disebabkan oleh sihir hanya akan membuang waktunya seperti orang bodoh.

"Bagaimana denganmu, Nona? Jika kau memang bukan penyihir, apakah kau juga terjebak di dalam sihir ini? Aku yakin pintu tadi adalah pintu penyihir." Tanya Adro.

Kening Grace seketika mengkerut. Di saat yang bersamaan, panggilannya ke rumah sakit jiwa akhirnya terhubung.

"Rumah sakit jiwa Rose. Ada yang bisa kami bantu?" Sapa seorang wanita dari sebrang telepon.

Grace mengerjap dengan terus menatap wajah pria di hadapannya. Ia teringat pada kejadian sangat aneh yang baru saja terjadi. Kalau dipikir-pikir, tidak mungkin ia masih bermimpi sekarang. Lalu bagaimana cara pria ini bisa masuk menembus dinding? Bagaimana pintunya bisa diketuk dari luar? Kenapa pria ini mengenakan pakaian seperti kostum pangeran di film-film fiksi?

'Apa sebenarnya dia tidak gila?' Pikir Grace.

"Halo… Halo..." Tut.. Grace mematikan ponselnya.

Ia terus menatap pria bernama Adro itu. "Kau… Tidak bercanda, yah?"

"Ketahuilah Nona, keluarga kerajaan tidak akan bercanda dengan rakyat biasa. Kita berbeda kasta." Jawab Adro tegas.

"Oh, yaampun..." Gumam Grace seraya menepuk keningnya. Ia jengkel sekali dengan sikap sok tinggi pria ini.

"Tunggu sebentar," Grace menaikkan pandangannya. "Apa kau bisa membawaku mengelilingi rumah itu? Kita lihat bagian luar pintu yang tadi kau masuki,"

"Kau benar. Tentu aku bisa. Apa kau mengijinkanku untuk menggendongmu agar kita bisa sampai ke sana lebih cepat?"

"Ten..." Grace melebarkan matanya. "A-apa? Menggendongku?"

Adro mengangguk. "Waktu kita tidak banyak. Jika kita bisa menemukan apa yang ada di balik tembok tadi, setidaknya aku bisa mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa kau mengijinkanku?"

"Um... Baiklah, jika kau tidak keberatan," Jawab gadis itu dengan suara pelan. Ia segera membuang muka agar warna semu di wajahnya tidak disadari oleh Adro.

"Permisi," Ucap Adro sebelum dengan hati-hati menggendong Grace di depan seperti bayi.

"Kita harus cepat. Mungkin ambulansnya akan datang sebentar lagi," Ucap Grace saat Adro mulai melangkah untuk mengelilingi rumah besar yang berdiri sendiri di lahan luas itu.

Tubuh tinggi besar Adro memang bukan hanya sekedar pajangan. Ia bisa berlari dengan mudah melewati medan bukit berumput yang tidak rata dan menurun cukup curam sambil menggendong Grace, seakan gadis itu adalah sehelai bulu ayam yang tidak memiliki bobot.

Adro memelankan lajunya ketika sudah tiba di bagian belakang rumah tersebut. Ia menurunkan Grace perlahan sembari terus memegangi lengan atasnya ketika mereka sepertinya sudah menemukan apa yang mereka cari. Ya, dinding itu.

"Ini dindingnya," Gumam Grace sambil meraba dinding yang terbuat dari batu bata merah itu.

Kemudian, Grace mencoba mengintip ke celah-celah dinding kayu yang berada di sekeliling dinding bata tersebut. Ia mendapati bahwa di baliknya sungguh adalah ruangan tempatnya terjatuh tadi. Ia menarik kepalanya dan bergumam. "Ini benar-benar aneh. Sangat mustahil. Dan dinding ini… ia terbuat dari batu bata, sedangkan dinding lainnya adalah kayu. Kelihatannya ini sengaja dibuat berbeda,"

"Seharusnya di luar rumah ini adalah hutan belantara. Dan pintu itu bukanlah bagian belakang rumah, melainkan bagian depan." Ucap Adro, menambahkan.

Grace berbalik untuk menghadap Adro. "Kau… manusia, 'kan?" tanyanya ragu-ragu.

"Apa aku terlihat seperti hantu bagimu?" Pria itu memicingkan matanya.

Bukannya seram, dia malah terlihat semakin mempesona. Rasanya Grace ingin menampar pipinya sendiri agar bisa kembali waras dan tidak memberikan ekspresi kelaparan ketika melihat wajah pria itu.

"Maaf. Kau keluar dari sebuah pintu yang di baliknya hanyalah sebuah dinding kosong tanpa ruang. Bahkan seekor anjing saja tidak akan muat untuk diletakkan di antara pintu dan dinding itu. Namun kau bahkan bisa mengetuk-ngetuk dari baliknya. Ah… Aku sudah gila..." Tutur Grace sembari menatap nanar pada langit siang yang cerah.

Samar-samar, terdengar suara ambulans yang perlahan semakin mendekat. Grace langsung kembali menatap Adro. "Itu ambulansnya. Tolong bawa aku kembali ke depan rumah,"

"Tapi bagaimana dengan pintunya? Aku harus kembali ke istanaku," Jawab Adro. Namun anehnya, ia tetap menurut untuk kembali menggendong gadis itu.

"Aku juga masih bingung atas ini semua. Namun sebaiknya kita ke rumah sakit dulu. Setelah itu, kita bisa memikirkan mengenai ini bersama. Kakiku sakit sekali... Tolonglah..." Grace meringis.

'Aku berniat mati di sini, bukan menjadi cacat setelah ini. Ini semua tidak sesuai dengan rencanaku.' Ucapnya dalam hati.

Adro menatap Grace dengan iba. Ia paling tidak suka melihat seorang perempuan terluka. Jika gadis ini menjadi cacat, ia tidak akan bisa menikah nanti. "Baiklah. Mohon tahan sebentar. Aku akan membawamu ke sana,"

Wajah Grace nampak tidak tenang. Ia masih terus memikirkan hal tidak masuk akal yang terjadi. Pria bernama Adro ini juga tidak terlihat seperti orang gila. Hanya saja, hal yang ia bicarakan tidak masuk akal. Namun kemunculannya saja memang sejak awal tidak masuk akal sama sekali.

"Apa itu?" Adro menghentikan langkahnya saat melihat sebuah kereta besi lainnya yang memiliki cahaya merah menyala-nyala seperti api di bagian atasnya.

"Itu ambulansnya. Mobil itu yang akan membawa kita ke rumah sakit." Jelas Grace. "Tolong bawa aku ke sana, Tuan Adro. Kita akan baik-baik saja,"

Meski keraguan nampak jelas pada wajahnya, namun pada dasarnya Adro tidak takut pada apa pun, sehingga ia tanpa ragu mendekati kereta aneh itu. 

Beberapa perawat dengan baju putih keluar dari dalam mobil ambulans dan mengeluarkan sebuah ranjang besi dengan beberapa pengikat.

"Nona Grace Menken?" Tanya salah satu perawat laki-laki.

Grace mengangguk. "Itu aku. Sepertinya kakiku patah,"

"Baiklah. Tolong letakkan dia di atas sini." Pinta perawat itu pada Adro.

"Apa yang akan kalian lakukan padanya?" Tanya Adro tajam.