"Itu... adalah garis keluarga yang sangat panjang dan rumit," Sarah melipat lengannya di depan dada sambil menggambarkan struktur keluarga yang Grace jelaskan di dalam pikirannya.
"Perkenalkan. Aku adalah Pange... maksudku, Adro Aylmer Groendez," Adro bangkit berdiri dengan sopan dan mengulurkan tangan kanannya. Ia mengingat bawa di dunia ini, orang-orang berkenalan dengan cara berjabat tangan, bahkan wanita sekalipun.
"Aku Sarah White. Senang bertemu denganmu," Balas Sarah. Ia agak terheran-heran pada nama Adro yang agak aneh. Tapi, ia teringat bahwa pria itu berasal dari luar negri, sehingga ia mewajarkannya. Mungkin budaya di sana memang berbeda.
"Jadi, baju untuk laki-laki yang kau minta adalah untuk saudaramu ini?" Tanya Sarah pada Grace sembari memberikan satu kantung rapih dengan sebuah merek perusahaan mode ternama. Kebetulan, Sarah terlahir di keluarga dengan ekonomi di atas rata-rata.
Grace mengangguk dengan mengeluh di dalam hati. Seharunya ia tidak perlu meminta Sarah yang membelikan baju, jika tahu ia malah membeli baju bermerek mahal. "Trimakasih sudah membantuku, Sarah. Nanti aku akan menggantinya,"
Sarah menggeleng. "Tidak perlu. Itu adalah baju yang sempat aku belikan untuk Harry, tapi belum sempat aku berikan kepadanya."
"Ah, Harry, yah..." Gumam Grace.
Harry adalah mantan pacar Sarah yang ke-tiga puluh empat. Namun, mereka putus setelah satu bulan menjalin hubungan karena Sarah melihat Harry tidak bisa mengganti ban mobilnya yang rusak. Ia menganggap Harry tidak kompeten sebagai laki-laki. Gadis mengerikan itu memang sangat kritis dalam memilih pasangan, hingga memasuki level tidak masuk akal.
Grace mengeluarkan sebuah kaos putih dan celana jeans hitam dari kantong tersebut. Lalu ia memberikannya pada Adro. "Ini adalah kaos dan celana jeans. Kau bisa mengganti pakaianmu di toilet itu, lalu masukkan kembali pakaian bekasmu ke dalam kantung ini. Kau… mengerti, 'kan?"
Adro mengangguk dan menerima kantung karton hitam dope tersebut. "Tentu saja. Trimakasih."
Begitu pria tinggi tersebut masuk ke dalam toilet dan menutup pintunya, Sarah langsung berhambur ke arah Grace. "Dia sungguh saudaramu? Aku kira kau dan keluarga besarmu sudah putus hubungan? Lalu kenapa dia menggunakan kostum?"
Grace menggaruk lehernya pelan. "Kami tidak putus hubungan, Sarah. Kami hanya… seperti putus hubungan,"
"Itu sama saja." Sahut Sarah.
"Ya, tapi sejauh apa pun seseorang, ia tetap akan datang kepada kita ketika ia membutuhkan bantuan, 'kan?" Grace berucap pelan.
Sarah mengangguk setuju. "Lalu, apakah ia adalah aktor? Wajahnya sangat tampan dan tubuhnya proposional seperti model. Warna matanya juga sangat unik,"
"Dia... Dia... adalah... aktor opera. Ya… opera. kau tahu, 'kan? Ia melakukan sandiwara di atas panggung. Itu adalah pekerjaannya di tempat asalnya," Bohong Grace dengan agak tergagap. Ia menahan napas ketika Sarah menatapnya dengan curiga.
"Oh, itu tidak mengherankan. Memang wajahnya adalah standar aktor. Seharusnya ia mucul di TV saja sekalian," Sarah mengangguk-angguk, sementara Grace diam-diam menghela napas lega.
"Oh ya, ngomong-ngomong, bagaimana kondisi kakimu?" Sarah melirik kaki sahabatnya yang terbalut perban. "Aku tidak habis pikir, untuk apa kau pergi ke mansion terbengkalai itu?"
"Ini hanya cedera otot, Sarah. Kata dokter, operasinya bukan operasi besar," Jawab Grace. Lalu ia berdehem dan berusaha menjelaskan, "Itu... Aku... datang ke sana karena…"
Mengerutkan dahinya, Sarah menatap wajah Grace yang seketika muram seperti ingin menangis. "Kau kenapa..?"
"A-aku..." Grace mengerjap dan berdehem lagi. "Aku... aku hanya merasa butuh suasana baru. Karena merasa sedih, aku berniat menenangkan diriku dengan bermain ke pantai. Tapi tiba-tiba aku penasaran dengan isi mansion itu saat melewatinya," Lajutnya cepat.
"Hah… Astaga Grace... Aku sempat berpikir yang aneh-aneh, kau tahu?" Ia menatap sahabatnya dengan sayang lalu mengusap rambutnya. "Jangan membuat kami khawatir. Kau harus menjaga dirimu sendiri," lanjutnya pelan.
Grace tersenyum. "Apa yang kau pikirkan? Tentu saja aku tidak akan melakukan hal bodoh," ia mengerling ke arah lain.
"Setidaknya jangan membahayakan dirimu sendiri, bodoh! Bisa-bisanya kau penasaran dengan bangunan reot itu? Aneh sekali kau!" Omel Sarah.
Grace hanya mendengus sebal. Namun ia menerima omelan itu dengan ikhlas karena ia tau Sarah sangat khawatir padanya. Dan Grace sebenarnya merasa menyesal karena tidak jujur pada sahabatnya ini. Namun, ia tidak mungkin mengaku dengan terang-terangan pada Sarah bahwa sebenarnya ia hendak bunuh diri, 'kan?
"Ngomong-ngomong, kenapa saudaramu tidak kunjung keluar dari toilet? Apa dia buang air besar dahulu?" Tanya Sarah. Mana mungkin orang mengganti pakaian selama itu?
Karena Sarah membahasnya, Grace juga baru menyadarinya. "Sarah, sebenarnya saudaraku itu agak aneh. Apa kau bisa memeriksanya sebentar?" tanyanya tanpa bisa menyembunyikan raut khawatirnya.
Sarah mengangguk lalu melangkah ke pintu toilet tersebut. Ia menempelkan telinganya di pintu putih itu dan menoleh pada Grace. "Ada suara air. Sepertinya itu dari keran wastafel. Suaranya deras sekali,"
"Apa?" Grace menutup mulutnya dengan satu tangan.
'Jangan-jangan terjadi sesuatu di dalam? Aduh... Bagaimana ini? Aku tidak berpikir ia akan melakukan yang aneh-aneh di dalam kamar mandi!' Pikir Grace dalam hati, diam-diam memukul kepalanya sendiri.
Sarah berinisiatif mengetuk pintu kamar mandi tersebut. "Halo... Adro, apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan sedikit berteriak.
"Benda ini tidak mau berhenti mengeluarkan air," Suara pria itu menggema dari dalam.
Grace dan Sarah saling menatap lagi. "Coba masuk ke dalam," Ucap Grace dengan gerakan mulut sambil menunjuk-nunjuk pintu toiletnya.
Sarah mengangguk lalu kembali mengetuk pintu tersebut. "Apa kau sudah mengganti pakaianmu? Aku akan membuka pintunya. Apakah boleh?"
"Ya. Silahkan," Jawab pria itu.
Membuka pintu tersebut tanpa ragu, Sarah langsung mengerjap-ngerjap sembari melangkah mundur karena semburan air menyiprat wajahnya. Menyadari ada yang tidak beres, ia segera membuka pintu tersebut lebih lebar.
"ASTAGA!" Pekik Sarah dengan kedua mata melotot.
Grace yang melihat reaksi Sarah di depan toilet seketika menjadi lemas. Ia bisa memperkirakan apa yang terjadi di dalam. Sepertinya Adro merusak sesuatu, yang kemungkinan adalah keran air wastafel.
Hanya dalam sekejap, lantai depan toilet menjadi basah kuyup karena air terus bercipratan keluar.
"Kerannya lepas?!" Pekik Sarah.
"Ya Tuhan..." Keluh Grace sembari menekan tombol bel untuk memanggil perawat.
***
"Sepertinya kerannya dari awal sudah agak rusak," Ucap Grace pada dua pria yang baru selesai memperbaiki keran air wastafel kamar mandi yang tadi mencurahkan air seperti air mancur alun-alun kota.
"Kerannya baru diganti dua bulan lalu. Tidak mungkin rusak karena semua perekatnya masih bagus. Benda ini patah karena ditarik paksa padahal sudah mentok." Jawab salah satu pria itu dengan wajah jengkel.
"Be… begitu, yah..?" Gumam Grace dengan wajah menunduk.
"Pihak rumah sakit tidak perlu kahwatir. Jika memang harus ada yang diganti, aku akan mengganti semua kerugiannya." Ujar Sarah tegas.
"Mungkin kami akan memperhitungkannya nanti…" Ucap petugas itu.
"Ini semua adalah kesalahanku. Aku tidak paham cara kerja benda itu hingga membuatnya rusak. Satu satunya orang di sini yang harus bertanggungjawab adalah diriku," Potong Adro dengan tegas.