Suara erangan kesakitan membuat Adro tersadar dari lamunannya. Ia segera berbalik untuk menghampiri para prajuritnya yang sedang berusaha menyelamatkan rekan-rekan mereka. Dua yang masih hidup terjebak di bawah batu, tertiban pada kaki mereka. Sedangkan, satu orang lagi nampak sudah tewas dengan seluruh tubuh terhimpit batu tersebut.
Adro mengepalkan kedua tangannya dengan geram. Seharusnya ini menjadi hari bahagianya. Seharusnya ini adalah hari penuh tawa dan senyuman seluruh penghuni istana dan rakyatnya. Pertumpahan darah dan kehilangan teman adalah sesuatu yang menyayat hati.
"Yang Mulia, mungkinkah ini adalah penyihir?" Tanya seorang prajurit pada Adro. Ia adalah tangan kanan Adro dalam memimpin kelompok prajurit ini.
Adro mengangguk membenarkan. "Siapa pun itu, ia harus membayar mahal untuk ini semua. Aku kehilangan prajuritku dan Azer." Gumamnya dengan wajah tertunduk. Lalu ia mengangkat wajahnya kembali untuk menatap prajurit itu. "Kau, pimpin kelompok ini untuk mengefakuasi semua yang terluka dan meninggal. Aku akan memeriksa sedikit lebih jauh,"
"Tapi, Yang Mulia..."
"Leo," Adro menekan nada suaranya. Ia menggeleng singkat. "Aku akan baik-baik saja,"
Kemudian, Adro menatap ke langit dan menunjuk bola berkelip yang masih mengambang di udara. "Cahaya itu masih berada di sana, seakan itu sedang menyaksikan dan mengejek kita. Seseorang menggerakkannya dari suatu tempat dan aku harus mencarinya. Aku tidak ingin ia mengganggu pernikahanku dan rakyatku,"
Prajurit bernama Leo itu hanya diam menatap tuannya dengan wajah khawatir. Dari wajah itu, terlihat jelas bahwa ia akan melarang sang pangeran jika itu tidak akan dinyatakan sebagai sikap kurang ajar.
Menatap Leo, Adro tersenyum tipis. Kemudian ia menepuk pundak pria itu sekali. "Kau tahu apa yang bisa aku lakukan dan berapa banyak perang yang sudah aku menangkan. Sepuluh atau dua puluh orang penyihir tidak ada artinya bagiku. Kawal semuanya sampai ke istana. Aku mengandalkanmu dan akan kembali sebelum pesta dimulai,"
Leo menghela panjang lalu menunduk hormat. "Baik, Yang Mulia,"
Kemudian Adro mengambil salah satu kuda prajuritnya, dan dengan gesit melompat naik ke atas punggungnya. Namun sebelum melaju pergi, ia mengingat sesuatu dan menahan kuda itu. "Ah, tolong katakan pada ratu untuk menyiapkan seragam pernikahan cadanganku,"
"Baik, Yang Mulia," Sahut Leo.
Setelah itu, Adro memecut kudanya dan kembali melaju menyusuri jalan yang membelah hutan itu. Ia terus memandang bola menyala di langit dengan terus merasa awas pada sekitar. Namun ketika ia sudah melaju semakin dalam ke tengah hutan, tiba-tiba bola itu berhenti bergerak dan pecah di angkasa.
Bola tersebut mengeluarkan debu berkilauan yang kemudian tersapu oleh angin.
"Apa yang terjadi?" Gumam Adro dengan kening mengkerut seraya memperhatikan sekeliling.
"Penyihir! Tunjukkan dirimu! Jangan menjadi pengecut dengan terus bersembunyi!" Seru Adro dengan satu tangan siap menarik pedangnya keluar.
Namun tidak ada yang menjawabnya selain suara burung-burung dan deru angin yang menggoyangkan dahan pepohonan di sekitarnya.
Rahang Adro mengetat kuat. Kelihatannya penyihir itu sedang mempermainkannya. Seperti yang Adro tahu, semua penyihir itu jahat. Mungkin yang satu ini tidak senang melihat ada pesta bahagia di istana.
Karena tidak bisa menemukan apa pun lagi, Adro berpikir untuk kembali ke istana. Setidaknya, ia sudah mengingat jalan ini, sehingga ia bisa kembali ke sini bersama lebih banyak prajurit nantinya. Namun, ketika ia memutar kudanya, ia mendengar suara langkah yang disusul dengan geraman.
Adro segera menolehkan wajahnya pada sumber suara yang berasal dari belakang punggungnya. Ia sangat terkejut ketika mendapati ada sekelompok serigala berukuran sangat besar sedang menatapnya tajam dari balik pepohonan.
Kedua mata Adro terbelalak. Selama ini ia sudah bertemu dengan banyak binatang buas di hutan, bahkan pernah bertempur dengan naga bersama para kesatria dari kerajaan sahabat. Namun, ini adalah pertama kalinya ia melihat serigala dengan ukuran sebesar itu.
Serigala itu berjumlah delapan ekor. Mata mereka nampak kelam dengan mulut terus meneteskan liur. Tingkah mereka tidak terlihat seperti serigala pada umumnya. Bahkan, Adro tidak bisa menilai yang mana alfa dalam kelompok itu.
Perlahan Adro menarik mundur kudanya. Ia tahu ia akan sangat kesulitan mengalahkan kelompok serigala itu.
Dalam sekali hentakan, kuda yang Adro kendarai segera berlari kabur. Sayangnya, setengah dari kelompok serigala yang memiliki ukuran tubuh sebesar kuda perang itu berpencar untuk menghalangi jalan Adro.
Memutar kudanya untuk berlari ke arah lain, Adro terus menghentakkan kekang kudanya sambil menoleh ke belakang untuk melihat kumpulan serigala yang kini tengah mengejarnya dengan suara deru napas mereka yang bahkan mengalahkan suara angin yang menghantam telinga Adro.
Sayangnya, kuda yang Adro naiki kalah cepat dari para serigala itu. Satu serigala hitam pekat dengan kedua mata merah dengan cepat melompat dan menerkam bokong kuda Adro, menyebabkan kuda malang tersebut langsung terjatuh menyamping dengan kasar.
Begitu kudanya terjatuh, Adro dengan gesit melompat ke samping dan mendarat dengan berguling beberapa kali sebelum kembali berdiri dengan pedang panjang di dalam genggamannya.
Tiga serigala segera mengerumuni kuda Adro dan memakannya di tempat. Adro menatap serigala lain yang kini mengelilinginya. Ia mengacungkan pedangnya, siap menyerang. Lalu satu serigala melompat untuk menerkamnya. Namun Adro dengan cepat menghindar seraya mengayunkan pedangnya hingga membuat luka sobek panjang di sisi perut serigala tersebut.
Serigala itu langsung merintih kesakitan dan terjatuh ke samping. Anggota kelompok serigala yang lain menjadi marah melihat temannya terluka. Mereka langsung menyerang Adro secara bersamaan dengan brutal.
Adro melawan kelompok serigala besar itu dengan sekuat tenaga. Sayangnya, ia hanya sendirian. Ia berhasil melukai beberapa serigala, namun ia menjadi sangat kewalahan dan tetap tersudutkan.
Selagi melawan para serigala itu, mata Adro menangkap sebuah jalan setapak kecil yang mengarah entah ke mana. Tiba-tiba, seekor serigala abu-abu menerjang Ardo hingga ia terjatuh ke belakang, mendarat di atas punggungnya, hingga pedangnya terlepas ke samping. Kedua tangan Ardo segera menahan mulut penuh taring serigala yang hendak mencabik wajahnya itu.
Kedua tangan Adro bergetar menahan kekuatan rahang serigala tersebut. Kemudian ia menarik napas dalam dan melepas satu tangannya untuk meninju tenggorokan serigala tersebut hingga kekuatan serigala itu melunak. Ia segera menyambar pedangnya kembali dan menghunuskannya ke leher serigala itu.
Begitu serigala tersebut terluka, Adro dengan keras mendorongnya ke samping dan kabur menuju jalan kecil. Ia berlari secepatnya dengan sekelompok serigala terus mengejar di belakangnya sambil terus melolong.
Pepohonan tumbuh semakin padat. Adro sengaja berlari ke luar jalur setapak agar serigala-serigala besar itu kesulitan mengejarnya akibat banyaknya pohon besar.
Namun di tengah pelariannya, Adro melihat siluet sebuah rumah dari sela-sela pepohonan. Ia segera mengarah ke siluet rumah itu dan mendapati ada banyak kunang-kunang berterbangan di sekitar sana.