"Sungguh... Ini terdengar gila. Tapi mau tidak mau, aku harus mempercayai kegilaan ini karena aku melihatmu keluar dari pintu aneh itu dengan kedua mata kepalaku sendiri. Lalu, apa akan kau lakukan?" Tanya Grace.
Adro menghela panjang sambil memijat keningnya. "Sesungguhnya, aku tidak tahu. Selama ini, aku tidak pernah berhadapan dengan penyihir. Jenis sihir yang terasa familiar olehku adalah sihir sorcerer, dan mereka hanya digunakan untuk senjata dan perlindungan. Penyihir sangat berbahaya karena sihir mereka berasal dari kekuatan iblis yang diturunkan oleh garis keturunan,"
"Dari tadi kau berkata bahwa kau akan menikah. Jadi, apa itu artinya pengantinmu sedang menunggu?" Tanya Grace sedikit ragu.
Adro mengangguk lemah. "Joselyn - ia adalah calon istriku. Seharusnya tidak lama lagi upacara pernikahan kami akan dimulai. Ia pasti sangat kebingungan menungguku sekarang. Raja dan ratu... mereka pasti sedang mencari-cariku,"
Grace menatap Adro sendu. "Aku minta maaf karena tidak bisa membantu. Asal kau tahu… setahuku tidak ada kerajaan di sekitar sini. Bahkan di Negara-negara lain juga tidak ada kerajaan yang seperti kau ceritakan. Di dunia ini, hal-hal yang ada di duniamu adalah mustahil."
"Tidak perlu minta maaf karena ini bukan kesalahanmu. Aku yang seharusnya minta maaf karena sebelumnya menuduhmu sebagai seorang penyihir." Sahut Adro pelan.
"Ah… Tadi aku sempat mendengar, apa benar namamu adalah Grace Menken?" Adro mengangkat wajahnya dan menatap gadis itu.
Grace mengangguk. "Maaf aku lupa memperkenalkan diriku padamu sebelumnya. Namaku Grace Menken. Aku tinggal di kota ini. Sebagai informasi, sekarang kau berada di Kota Torben. Aku adalah seorang mahasiswi di Universitas Archman." Ia mengulurkan tangannya.
Adro hanya menatap tangan mungil itu dengan kening berkerut. "Sejujurnya aku merasa agak asing dengan beberapa kata dalam kalimatmu. Tapi apakah aku harus menjabat tanganmu?"
"Um... Ya..?" Grace mengerutkan dahi.
"Baiklah. Senang berkenalan denganmu, Nona Grace." Ia menjabat tangan lembut itu. "Di tempat asalku, hanya laki-laki yang boleh saling berjabat tangan. Perempuan dilarang melakukannya. Berjabat tangan adalah simbol pengesahan sebuah perjanjian."
"Begitu, ya..." Sahut Grace, ditanggapi oleh anggukan Adro.
"Ngomong-ngomong, universitas adalah tempat di mana semua orang bersekolah. Kami menimba ilmu di sana." Jelas Grace. Ia mulai paham pada pola bicara Adro. Kemungkinan pria itu berasal dari tempat yang terdengar memiliki teknologi rendah seperti jaman pertengahan.
"Ah... Dan kau bisa memanggilku Grace saja. Tidak perlu menambahkan 'Nona' di depan namaku." Lanjutnya sambil tersenyum.
"Baiklah, Grace." Angguk pria itu dengan senyum tipis, menambah nilai rupawannya sebanyak sepuluh poin.
"Grace, kau tau, bukan, bahwa aku harus kembali ke istanaku? Karena kau yang sangat mengenal tempat ini, apa kira-kira kau bisa membantuku?" Tanya Adro.
Grace termenung sejenak lalu menarik napas dalam. "Sebenarnya aku…"
"Selamat siang," Tiba-tiba seorang pria berkacamata dengan jubah putih menghampiri mereka.
"Selamat siang, Dok." Jawab Grace ramah.
"Perkenalkan, aku adalah Dokter Tommy yang akan menagani kakimu-" Ia membaca papan yang ada di tangannya, "Nona Grace Menken,"
"Benar, Dok. Apa aku harus di operasi?" Tanya gadis itu.
Dokter itu mengangguk. "Mungkin itu hanya akan menjadi operasi kecil. Tapi sebelumnya, kita harus melakukan beberapa pemeriksaan pada tulangmu untuk menentukan prosedur yang tepat." Kemudian ia melambai kecil ke arah lain yang tertutup gorden pembatas.
"Nah… Ini adalah Lensy dan Maria. Mereka perawat yang akan membantumu menjalani pemeriksaan. Kita juga harus mengganti pakaianmu. Hem… Kau terlihat seperti putri kecilku saat ia baru saja selesai bermain di halaman sebahabis hujan," Canda dokter itu.
Grace ikut tertawa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya.. Aku terjatuh di kubangan,"
"Mari kita pergi sekarang, Nona Grace." Ajak perawat yang bernama Lensy sembari mendorong kursi roda kosong.
"Eh? Sekarang? Bagaimana dengan dia?" Grace menatap Adro yang turut menatapnya.
"Oh… Walimu bisa menunggu di ruang tunggu. Nanti kami akan memanggilnya kembali saat kau sudah selesai dan bisa pindah ke ruang perawatan." Jawab sang perawat.
"Tapi, dia..."
"Aku baik-baik saja. Pergilah, aku akan menunggumu." Ucap Adro sambil tersenyum lembut.
Grace menatapnya tanpa berkedip. Sebuah denyutan aneh tiba-tiba menggelitik jantungnya.
"Aku akan meminta salah satu rekanku agar menunjukkan ruang tunggunya padamu." Ucap salah satu perawat yang bernama Maria. Ia terlihat agak genit pada Adro. Yah, siapa yang tidak? Melihat seberapa indah pria itu.
"Mari," Perawat mulai mendorong kursi roda yang kini sudah Grace duduki.
Grace terus menatap Adro selagi kursi rodanya berjalan semakin menjauh, seakan waktu disihir menjadi melambat. Pria itu juga masih menatapnya sambil tersenyum, lalu mulutnya bergerak, "Aku menunggumu."
Denyutan di dada Grace semakin menjadi.
***
"Tunggu kami, Grace. Kau berjanji akan menunggu kami, 'kan?"
Grace mengangguk. Air matanya menetes lebih deras lagi. Namun ia tahu semua akan baik-baik saja karena kedua orang itu mengatakan sesuatu yang sangat berarti baginya: "Kami berjanji akan kembali secepatnya."
Kedua mata Grace terbuka dengan tubuhnya yang tersentak kaget. Ia melihat langit-langit putih di depan kedua matanya.
"Apa kau baik-baik saja?" Sebuah suara berat dan dalam membuat Grace sontak menoleh.
Seorang pria dengan kedua mata biru kristal tengah menatapnya bingung. Akhirnya jiwa Grace berhasil kembali sepenuhnya ke dalam raganya. Ia baru ingat apa yang terjadi sebelumnya.
Mengapa ia bisa tertidur? Setelah serangkaian pemeriksaan, Grace merasa sangat lelah karena memang sepanjang malam ia tidak tidur, melainkan menghabiskan waktu dengan menangis. Karena itu, ia ketiduran begitu dipindahkan dari kursi roda ke atas kasur. Ia bahkan tidak yakin itu sudah lewat satu menit hingga ia kehilangan kesadarannya.
"Kau menangis?" Pria itu menunjuk sisi luar matanya sendiri, memberi isyarat pada Grace untuk menyentuh miliknya di sana.
Grace mengusap ujung matanya sendiri yang ternyata sudah basah. "Oh… Sepertinya aku bermimpi buruk," Ucapnya dengan senyum sekilas sembari mengusap titik air mata itu.
"Apa mereka sudah selesai mengobatimu?" Tanya Adro.
Grace menggeleng. "Tadi dokter berkata aku harus berpuasa makan dan minum karena nanti akan melakukan operasi kecil. Ngomong-ngomong, sudah berapa lama aku tertidur?" ia terlihat mencari-cari sesuatu. "Apa kau melihat ponselku?"
"Ponsel?" Ulang Adro. "Apakah benda persegi ini?" Ia menunjuk benda yang berada di atas meja nakas di sampingnya.
"Benar," Grace tersenyum.
"Tadi itu tergeletak di pinggir kasurmu dan hampir terjatuh, sehingga aku memindahkannya ke meja ini. Jadi, itu yang bernama ponsel? Apa kegunaannya?" Tanya Adro penasaran. Sepanjang hari, ia melihat hampir semua orang terus memegang dan memperhatikan benda yang bisa menyala tersebut.
Grace tertawa kecil. "Benar. Ponsel ini bisa melakukan banyak hal. Tapi tugas terpentingnya adalah menghubungi orang yang berjarak jauh dari kita, bahkan orang yang berada di negara berbeda."
"Apakah maksudmu seperti burung pengantar surat?"
"Kira-kira begitu," Angguk Grace sambil berpikir. "Apa kau mau coba memegangnya?" Ia memberikan ponsel tersebut kepada Adro.
Pria itu menatap layar ponsel yang menyala terang dan memiliki berbagai gambar aneh dan latar berlakang bertema gelap dengan gambar siluet seorang gadis yang duduk sendirian di depan sebuah jendela bercahaya redup.
Adro mengambil ponsel tersebut dan menatapnya dengan kening mengkerut. Grace tersenyum tipis lalu mengarahkan jari telunjuknya untuk menggeser-geser layar ponsel itu. Melihat isinya yang bergerak-gerak membuat Adro semakin berdecak kagum. Kelihatannya dunia yang ia masuki ini sudah teramat maju.