Kata-kata Adro membuat Grace berpikir, 'Jadi pria itu terus mengikutiku dan menemaniku seperti ini karena ia merasa bertanggungjawab telah membuatku terluka?'
"Astaga… Kelihatannya selama ini kau telah salah paham, Adro. Bukan kau yang menyebabkan aku terluka separah ini. Kau tidak perlu merasa bertanggungjawab atas kondisiku," Ucap Grace terburu-buru. Ia jadi merasa tidak enak sendiri. "Jika kau mau pergi, kau bisa pergi - tidak perlu menunggui aku," Ia tersenyum.
"Sesungguhnya kau benar. Aku tidak perlu merasa bertanggungjawab lagi atas dirimu. Tapi rasanya aku tidak bisa meninggalkanmu," balas Adro.
Mengerjapkan matanya beberapa kali, Grace merasakan jantungnya berdegub keras. Tidak bisa meninggalkannya? Apakah Adro serius mengatakan itu? Apa maksud pria itu yang sebenarnya? Andai ia tahu, kata 'meninggalkan' dan 'menunggu' memiliki makna besar bagi Grace.
"Aku buta jalan dan tidak memiliki tujuan. Untuk saat ini, hanya kau yang mempercayaiku dan mungkin bisa membantuku menemukan cara untuk pulang ke istanaku," Lanjut Adro dengan wajah sendu.
"Ah… Begitu ternyata..." Gumam Grace dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kedua pipinya seketika terasa hangat. Hampir saja ia berpikir ke arah yang lain.
'Kendalikan dirimu, Grace! Jangan terbawa suasana dan berpikir dia bersimpati padamu! Kau harus ingat, Adro sudah memiliki wanita yang ia cintai - Itu adalah calon istrinya! Lagi pula, kau siapa? Kalian bahkan tidak saling mengenal dengan baik.' Omel Grace dalam hati.
"Ngomong-ngomong," Grace menatap pria itu kembali saat merasa panas di pipinya sudah mereda. "Haruskah nanti kita kembali ke pintu itu? Siapa tahu dinding penghalangnya sudah menghilang dan kau bisa kembali,"
Adro nampak berpikir. "Itu mungkin saja terjadi. Tapi kemungkinan besar, dindingnya tidak akan berubah. Sebenarnya, pernah terdengar rumor tentang peyihir pria tua yang suka membuat pintu sihir. Ia hanya bisa menyihir satu pintu sebanyak satu kali. Jika sudah pernah dilewatinya, maka pintu tersebut akan kembali menjadi pintu biasa. Karena itu, beredar kabar bahwa ia membangun sebuah kastil yang memiliki seribu pintu. Namun, tidak ada seorang pun yang dapat menemukan kastil atau keberadaan penyihir pria itu."
"Jadi, keberadaan penyihir pintu itu adalah rumor?" Dahi Grace mengkerut.
"Aku dan kebayakan orang berpikir seperti itu. Tapi setelah kejadian ini, aku yakin rumor itu nyata."
"Di mansioan itu, kau sempat bertanya padaku; apakah aku adalah penyihir. Sekarang, kau tidak berpikir aku adalah penyihir itu, 'kan?" Tanya Grace dengan tawa kecil yang canggung.
Adro langsung tertawa geli. Ia merasa gadis itu sangat polos dan itu membuatnya terlihat lucu. "Tentu saja tidak. Tidak ada penyihir sebaik dirimu,"
"Tadi kau sendiri yang bilang untuk jangan terlalu mempercayai orang lain. Kita bahkan belum seharian saling mengenal..." Gumam Grace malu dengan wajah sedikit tertunduk.
"Meski kau tidak mengenalku, meski aku sempat menuduh dan menyinggung perasaanmu, kau masih bersedia berusaha membantuku. Untuk melakukan hal seperti itu membutuhkan hati yang besar dan tulus. Itu semua cukup membuatku menaruh kepercayaan padamu," Adro tersenyum hangat.
Grace hanya terdiam. Andai saja semua orang bisa melihat dan menghargai setiap ketulusan hatinya seperti Adro, mungkin ia tidak perlu menderita dan selalu disakiti seperti yang sudah-sudah. Namun bodohnya, meski sudah disakiti beribu kali, hati Grace tidak pernah mengeras.
"Oh ya, apa kau lapar? Ah… sepertinya kau juga belum minum dari tadi. Kau bisa meminum air di gelas ini. Aku sedang berpuasa, jadi aku tidak akan meminumnya," Grace meraih segelas air penuh yang berada di atas nakas.
Adro menerima gelas tersebut sembari mengucap terima kasih dan meneguknya sampai habis. Ia benar-benar kehausan dari tadi, terlebih setelah berlari dari kejaran monster srigala.
"Aku juga akan meminta temanku untuk sekalian membelikan makanan untukmu." Ucap Grace lagi sebelum kembali mengutak-atik ponselnya.
"Terima kasih – Grace," Ucap Adro.
***
Jam terus berdetik. Kebetulan, di ruang rawat yang berisi tiga ranjang tersebut, hanya ranjang Grace yang terisi. Tingkat kecelakaan di kota Torben memang termasuk minim karena warganya yang taat peraturan dan disiplin.
Selagi menunggu, Grace terus mengobrol bersama Adro. Tidak disangka, meski berbeda dunia dan jaman, obrolan mereka sangat nyambung, meski apa yang mereka bicarakan hanya hal-hal ringan karena masing-masing dari mereka merasa tidak pantas untuk menyinggung kehidupan pribadi satu sama lain. Karena itu, mereka hanya saling menjelaskan bagaimana gambaran tempat mereka berasal.
"Dari penjelasanmu, itu seakan kau berasal dari negri dongeng," Ucap Grace sambil berpikir.
"Dongeng?" Ulang Adro.
Grace mengangguk. "Dongeng adalah cerita fiksi untuk menghibur anak-anak maupun orang dewasa. Biasanya, di dalam dongeng terdapat hal-hal magis, tidak nyata, dan berbagai hal tidak masuk akal lainnya. Bahkan, ada juga yang menceritakan tentang kehidupan hewan-hewan yang bisa berbicara."
"Jadi, kau berkata bahwa aku berasal dari dongeng?" Tanya Adro dengan kepala sedikit dimiringkan.
Grace tertawa kecil seraya menggeleng. "Aku tidak benar-benar bermaksud mengatakan itu. Aku hanya mengira-ngira saja. Ada banyak hal yang masih menjadi misteri di dunia ini. Namun jika boleh jujur, penyihir, Ogre, dan naga memang terdengar sangat mustahil ada di dunia ini… maksudku, di duniaku,"
Tiba-tiba Grace teringat sesuatu. "Oh ya, Adro. Apakah kau bisa merahasiakan dari mana kau berasal dari temanku? Um… Sebenarnya lebih baik pada semua orang yang ada di kota ini,"
"Kau takut mereka menganggapku gila, benar?" Tebak pria itu.
Dengan berat hati, Grace mengangguk kecil. "Orang gila akan ditangkap dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Tidak akan ada yang percaya pada ceritamu, maupun ceritaku mengenai pintu ajaib itu. Pada akhirnya, kita berdua akan mengalami masalah yang sangat menyusahkan. Dan yang terburuk adalah kau akan dikurung di rumah sakit itu,"
Adro terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah. Aku akan menutup mulutku mengenai ini,"
Grace tersenyum "Trimakasih,"
Pintu kamar kembali diketuk dari luar. Setelah itu, muncul seorang gadis berambut hitam lurus yang dijepit setengah.
"Oh, Sarah! Kau sudah datang?" Grace tersenyum lebar namun canggung.
"Ya," Sahut Gadis bermata tajam itu sembari terus menatap bergantian pada sahabatnya dan seorang pria tampan yang duduk di samping ranjang.
"Aku membawa titipanmu," Ucap Sarah dengan menunjukkan dua buah kantong di tangannya. Namun, ia memberikan tatapan penuh tanya yang bergebu-gebu pada Grace.
Memahami apa yang ada di dalam pikiran Sarah, Grace tanpa sadar berkeringat di punggungnya. Ya, tentu saja jika Grace ada di posisi Sarah, ia akan bertanya-tanya siapa gerangan pria asing yang tengah duduk di samping ranjangnya.
"Di-dia adalah saudara jauhku – anak dari adiknya istri dari sepupu istri pamanku. Dia datang dari luar negri," Bohong Grace, lalu meneguk liur yang terasa seperti sebongkah batu. Ia bahkan tidak tahu apakah ia dapat mengulang silsilah keluarga yang ia buat secara dadakan itu.