Bab. 25. Mencari Informasi
"Jadi, ngapain kamu malam-malam ada di depan bar?"
"Jadi, ngapain kamu malam-malam ada di depan bar? Nggak takut ada yang nyulik?" Seraya menikmati roti isi bakarnya Wiliam menggoda Uni. Membuat wanita yang duduk di hadapannya itu mengernyit.
"Dih! Kan, sudah kubilang kalau aku ada urusan." Uni menatapnya kesal, sambil menelan kunyahannya.
"Urusan apa sampai harus di depan bar? Kek nggak ada tempat lain!"
"Adalah. Kamu nggak perlu tau. Tar mual lagi!' Tiba-tiba Uni tertawa, yang seketika ia tahan karena malu.
"Lah? Emang segimana parahnya sih sampe bisa bikin aku mual?"
Wiliam tetap bertanya, bersikukuh dengan apa yang ingin diketahuinya perihal Uni. Lancang memang, tapi, dia rasa, Uni orang yang enak diajak ngobrol. Wanita di hadapannya itu pun terlihat tak keberatan meski sedari tadi berusaha menutupi rahasianya.
"Ahaha. Auk, ah. Mending anterin aku. Kan, semalam kamu udah janji." Uni menepuk-nepuk pelan kedua tangannya, setelah melahap habis suapan terakhir.
"Hadeuh ... tapi, baiklah. Beri aku sedikit waktu untuk mencuci muka."
"Astaga!" serobot Uni. "Kamu belum cuci muka?"
"Ya, emang belum. Tadi langsung ke dapur, 'kan? Terus bikin roti bakar." Wiliam tersenyum-senyum sambil berdiri.
"Dih! Jorok banget, sih?"
"Yang penting rotinya enak. Alu ganti baju dulu, ya. Wait!"
"Ok!" timpal Uni seraya menyusulnya berdiri.
"Eh, mau ke mana?" Wiliam menoleh begitu melihat Uni berdiri.
"Ke ataslah. Tasku masih di kamar."
"Biar aku yang ambil. Kasihan bayimu kecapean," timpal Wiliam seraya kembali melanjutkan langkah.
Dia memang arogan dan mempunyai perasaan kesal terhadap perempuan, khususnya perempuan yang nakal karena ayahnya. Namun, di balik sikapnya yang seperti itu, dia adalah seorang pria berhati lembut. Apalagi terhadap wanita hamil.
Uni yang mendengarnya pun seketika bergeming, tak mengira kalau lelaki di hadapannya itu bisa bersikap baik dan manis. Namun, memperhatikan Wiliam dari belakang membuatnya kembali mengingat Syakir.
"Yang aku lihat semalam nggak mungkin salah. Syakir benar-benar bermain gila dengan seorang wanita nakal," gumamnya, seraya kembali duduk. Sesak yang semalam menyumbat pernapasannya terasa lagi.
"Uni, ponselmu bunyi dari tadi kayaknya." Begitu kembali dari kamarnya, Wiliam langsung memberitahu Uni sambil menyimpan tas yang dibawanya di meja. "Mungkin dari keluargamu."
"Bisa jadi," timpal Uni seraya meraih ponsel yang juga disodorkan Wiliam. Yang meneleponnya itu ternyata Syakir. Suaminya itu pasti cemas setelah tau dari ibunya kalau Uni pergi ke Jakarta.
"Suamiku," katanya lagi pada Wiliam seraya menelepon balik suaminya itu.
Begitu tersambung, Syakir langsung mengangkatnya. "Halo, Dek. Astaga! Kamu nyusul aku ke Jakarta? Tapi kenapa nggak nyampe-nyampe? Kamu di mana?" cerocosnya.
"Tarik napas dulu, Bang. Aku udah nyampe Jakarta dari semalam. Tapi karena kemalaman, dan aku jatuh pingsan, seseorang membawaku ke rumah sakit." Uni berbohong. Tentu saja, karena dia tak mungkin memberitahu Syakir kalau yang menolongnya itu adalah seorang pria.
"Pingsan? Di mana? Terus, sekarang kamu masih di rumah sakit? Ok, aku jemput, ya?"
"Nggak usah, Bang. Ini aku lagi di jalan mau ke kontrakanmu."
"Astaga! Kalau gitu aku tunggu aja di kontrakan. Aku bolos kerja nggak apa-apa," katanya, sedikit merasa lega. Meski memiliki kelainan sex yang membuatnya selingkuh terus-menerus, Syakir tak pernah berniat untuk menyakiti Uni. Dia sangat mencintai istrinya itu.
"Ya, sudah. Kamu tunggu aja. Aku mau jalan lagi sekarang."
"Ok. Hati-hati kamu, Dek."
"Iya," timpalnya yang kemudian mengucap salam. Lantas telepon terputus.
"Kenapa bohong?" tanya Wiliam, begitu yakin kalau Uni sudah menutup teleponnya.
"Karena aku nggak mungkin bilang tidur di rumah seorang pria asing bukan? Bisa panjang urusan!" Uni tersenyum sinis, mengingat Syakir yang justru kembali meniduri seorang wanita asing.
"Ok. Kalau gitu, aku antar kamu sekarang. Kasihan suamimu nunggu lama." Wiliam berjalan lebih dulu. Lalu diikuti Uni dengan langkah tergesa, karena Wiliam berjalan cepat.
***
Sampai di pertigaan menuju kontrakan Syakir, Uni menyuruh Wiliam untuk berhenti. Namun, yang kemudian membuat Wiliam mengernyit heran adalah lokasi kontrakan suami Uni.
"Suamiku ngontrak di daerah ini?" tanyanya, seketika.
"Huum. Gang yang itu, tuh. Yang di depannya kontrakan juga. Yang punya kontrakan namanya Bu Anggi."
"Serius?" Wiliam yakin betul kalau kontrakan yang disebutkan Uni adalah kontrakan karyawannya.
"Iyalah. Masa bohong? Kenapa emang?"
"Nggak apa-apa. Ya, sudah. Sana turun. Eh, tapi ...."
"Tapi apa?" tanya Uni begitu hendak membuka pintu. Wajahnya mengernyit, keheranan. "Barusan nyuruh turun?"
"Boleh minta nomor ponselmu?" Wiliam tersenyum kikuk.
"Buat apa?"
"Buat ngisi nomor togel!" Wiliam berdecak kesal. "Ya, buat nelepon lah. Barangkali nanti ada perlu, 'kan?"
"Oh. Bentar!" Uni pun kembali duduk lurus ke depan. Lalu memberikan ponselnya itu pada Wiliam, setelah mencari nomornya terlebih dulu. "Tapi awas, jangan disebarin."
"Lah?" Wiliam mulai mengetik satu per satu nomor yang dilihatnya di kayar ponsel Uni sambil tertawa pelan. "Buat apa juga disebarin?"
"Ya, kali."
"Nggaklah. Nih!" timpalnya seraya kembali menyodorkan ponsel ke pemiliknya. "Makasih, ya."
"Aku yang makasih karena kamu sudah mau menolongku. Aku pamit, ya. Bye."
Wiliam menganggukkan kepalanya begitu Uni mengucapkan terima kasih. Lalu menggeleng, merasa lucu sendiri melihat tingkah Uni yang menggemaskan. Wanita, atau lebih tepatnya istri orang yang baru dia kenal itu berhasil membuatnya tertarik, dalam artian bersimpatik karena sudah berani berkeliaran malam-malam dalam keadaan hamil.
"Ada-ada saja!" gumamnya, seraya melakukan mobilnya lagi. "Tapi, apa mungkin suaminya itu orang yang bekerja di restoranku?"
Untuk memastikan rasa penasarannya, Wiliam pun mengirim pesan pada manajer yang mengurus salah satu restorannya.
"Anak buahmu tinggal di kontrakan Bu Anggi, 'kan? Yang lokasinya nggak jauh dari restoran?"
Terkirim.
"Iya, Pak. Kenapa?"
"Siapa saja yang sudah menikah?"
"Hm ... kalau nggak salah sih hampir semua, kecuali Ali."
"Ok. Makasih," balasnya, seraya kembali fokus menyetir. Namun, informasi yang diberikan manajer di restorannya itu justru membuat Wiliam kian merasa penasaran. "Siapa suami Uni?" batinnya.
Mengingat obrolan Uni bersama suaminya yang katanya akan bolos bekerja, Wiliam kembali mengirim pesan pada manajernya. "Tolong cek, siapa yang nggak masuk hari ini?"
Manajernya yang baru saja mendapat telepon dari Syakir, bahwa karyawannya itu izin bolos bekerja karena ada istrinya langsung memberitahu Wiliam.
"Oh, jadi nama suaminya itu Syakir." Wiliam bergumam seraya mengirim pesan kembali. "Dia yang udah lama kerja di restoranku itu, 'kan?"
"Iya, Pak. Yang namanya Syakir cuman satu soalnya." Emoticon ketawa menyusul setelah pesan balasannya terkirim.
"Dia yang bikin salah satu karyawan kita keluar juga, 'kan?'"
"Iya, Pak. Tapi, ada apa, ya? Kok, tiba-tiba bahas dia? Apa dia ada bikin masalah?"
"Semalam, istrinya hampir tertabrak di depan bar. Yang aku bingung, kenapa dia bisa keluar dari bar?"
"Istrinya? Setahuku dia di kampung, Pak."
"Katanya, dia baru datang malam tadi."
"Oh. Apa perlu saya selidiki?" Manajernya itu berpikir cerdas, karena mendahului Wiliam yang memang ingin menyuruhnya melakukan hal tersebut.
"Pinter. Aku tunggu kabar darimu secepatnya."