Chereads / Rumit (satu pria dua wanita) / Chapter 29 - Bab. 29. Percaya Begitu Saja

Chapter 29 - Bab. 29. Percaya Begitu Saja

Bab. 29. Percaya Begitu Saja

Di jalan, saat Nur menaiki angkutan umum bersama teman-temannya untuk berangkat kerja, dia buru-buru mengirim pesan yang ditahan-tahan olehnya sedari malam pada Syakir.

Hanya saja, isinya lain dari biasa yang kerap dipenuhi kata-kata manis dan penuh cinta. Kali ini pesannya itu penuh ujaran kebencian, perihal pengkhianatan yang dilakukan Syakir di belakangnya.

Padahal, beberapa hari terakhir, Syakir ada dalam pantauannya. Dia hampir tak pernah membiarkan Syakir sendiri dengan mengiriminya banyak chat, atau bahkan meneleponnya tiap malam, sampai Syakir meminta izin untuk beristirahat.

Karena bekerja seharian sudah pasti merasa lelah dan lemas, Nur pun percaya begitu saja kalau kekasihnya itu memang akan beristirahat. Nyatanya, ia sudah ditipu habis-habisan.

Pesannya itu terkirim, centang dua meski tak kunjung biru yang berarti belum dibaca. Namun, melihat kapan terakhir kali Syakir membuka WhatsApp, Nur mencoba untuk berpikir positif.

Kekasihnya itu memang sedang di perjalanan menuju restoran yang sama. Bahkan, Syakir pun naik angkutan umum yang melaju dengan kecepatan sedang jauh di belakangnya. Hanya saja, dia menang tak sembari bermain ponsel. Melainkan fokus melihat jalanan lewat pintu angkot yang terbuka lebar tanpa penutup. Selain itu, ia tak merasakan getaran juga dari ponsel yang disimpannya dalam saku celana.

Namun, ingat kalau Uni telah mengetahui hubungannya dengan Anita, buru-buru dia pun merogoh ponsel untuk mengirim pesan pada selingkuhannya itu. Akan tetapi, sebelum fokus pada Anita, Syakir justru mendapati chat dari Nur.

"Dasar bajingan! Bisa-bisanya kamu membohongiku lagi dan lagi, Bang. Kamu bilang, tak kan kamu ulangi kesalahan bodoh yang aku pergoki bersama Uni. Namun, nyatanya kamu kembali bermain gila dengan seorang pelacur di sebuah bar.

"Jangan kaget karena aku bisa mengetahui pengkhianatanmu lagi. Sebab, dari siapa lagi aku mengetahuinya kalau bukan dari istrimu sendiri. Tapi kenapa? Apa kamu tak cukup puas dengan apa yang selalu aku berikan?

"Tega kamu!" ujungnya.

Antara senang dan tidak, perasaan Syakir lebih ke condong senang begitu tahu kalau Nur sudah mengetahui apa yang dilakukannya selama beberapa hari terakhir. Dan, untuk pertanyaan Nur perihal ketidakpuasannya terhadap sesuatu memanglah kurang.

Syakir merasa kurang puas terhadap Nur. Apalagi setelah keadaan membuat keduanya harus menjaga jarak. Otomatis, kehadiran Anita membuatnya kembali lupa akan setiap janji.

Omong-omong soal Anita, Syakir pun lebih tertarik untuk mengechat kesayangannya. Membuat ia akhirnya menghapus pesan Nur tanpa membalas, lalu beralih pada nomor Anita yang di namainya Anita saja.

"Pagi, Yang. Kamu pasti belum bangun, 'kan? Tapi nggak apa-apa. Tidur saha yang nyenyak, karena kamu memang harus menjaga stamina setelah bekerja semalaman. Namun, sebelumnya aku minta maaf. Karena mungkin, mulai hari ini aku tak kan bisa menemanimu di bar.

"Uni datang dari kampung, Ta. Dan, begitu dia sampai kemarin malam, istriku itu membuntutiku dari kontrakan sampai ke bar. Bahkan, dia melihat kita saat bercinta sampai-sampai aku dihukum sejak kemarin.

"Dia tak mau bicara ataupun tidur denganku, Ta. Jadi, aku mohon pengertianmu, Sayang," katanya di ujung pesan.

Syakir menghela napas lega. Yakin, bahwa Anita jauh lebih baik dari Nur yang kerap lepas kontrol tiap kali ada masalah. Lalu, setelah pesannya itu terkirim, ia buru-buru mematikan data agar tak perlu mendapati pesan dari Nur lagi.

"Tak peduli meski pun dia akan mengamuk. Toh, seharusnya dia ninggalin aku kalau memang sudah tahu aku begini!" rutuknya dalam hati, seraya kembali fokus memerhatikan jalanan pagi yang masih sedikit lengang.

Sepoi angin masuk melewati pintu dan celah-celah jendela, membuat Syakir yang lupa memakai jaketnya itu menggigil kedinginan di sepanjang jalan, sampai akhirnya ia merasa lega karena tiba di depan resto.

Nahan, begitu sampai, ia datang terlambat. Sangat terlambat karena sibuk membujuk Uni terlebih dulu sebelum pergi. Karena sering kali terlambat tanpa ada teguran, Syakir pikir tak masalah jika dia datang terlambat lagi dan lagi.

Namun, kali ini ternyata lain. Begitu masuk, Syakir langsung diberitahu Ali untuk pergi ke kantor manajernya dulu sebelum bekerja. Dia terkejut. "Alamat!" batinnya seraya mengiyakan kata-kata Ali. Menduga, kalau dia akan mendapatkan teguran kali ini.

Dengan langkah tergesa-gesa, Syakir pun berjalan cepat menuju kantor. Tak berhenti barang sejenak saat melewati Nur yang sedang mengelap meja. Bahkan, pandangannya yang fokus membuatnya terlihat tak melihat Nur sama sekali.

Padahal, Syakir melihat dengan jelas adanya Nur di sana. Dia hanya tak mau menyapa dan memilih pura-pura tak melihat selingkuhannya itu. Membuat Nur yang kesal padanya semakin murka.

"Awas kamu, Bang!" rutuknya dalam hati seraya mengelap meja dengan cepat dan kasar. "Jangan salahkan aku kalau Uni sampai tahu hubungan kita!"

***

Menghadap manajernya di kantor, Syakir duduk perlahan di kursi setelah mengucapkan salam. Lalu meminta maaf karena sudah datang terlambat, dengan alasan menunggu angkutan Umum.

"Ini kali ke berapa kamu telat datang ke resto dalam seminggu?" tanya manajernya itu dengan seringai galak. Beda dari biasa yang kerap membuat Syakir kurang merasa takut pada atasan sendiri.

Syakir memutar matanya ke atas, berpikir, menghitung. "T-tiga, Pak. Tapi serius, saya telat karena kelamaan nunggu angkot."

"Itu artinya, kamu ditinggal Ali?"

"Maksudnya?"

"Kamu ditinggal Ali? Dia kan biasa bareng sama kamu?" Manajernya itu menjelaskan dengan intonasi sedikit lebih naik.

"Oh, iya ... Pak." Syakir menjawab kikuk dan takut.

"Itu artinya, kamu terlambat bukan karena lama menunggu angkot. Tapi karena kamu bangun terlalu siang!" bentak manajernya itu sambil menggebrak meja. "Kenapa? Apa karena setiap malam begadang?" tanyanya.

"Ng-nggak, Pak!" Seperti biasa, berbohong adalah keahlian Syakir. Dia bahkan bersikap seolah dia benar-benar tak pernah begadang. "Tapi, saya memang kurang enak badan, Pak."

"Begitu?" Manajernya itu mencondongkan tubuh ke depan dengan kepala sedikit menunduk. Sementara matanya menatap tajam ke arah Syakir, persis seperti orang tengah menyelidik.

"I-iya, Pak!"

"Baik!" Lelaki paruh baya yang memakai setelan kemeja putih dan jas hitamnya itu menarik diri. Lantas bersandar di sandaran kursi sambil mengangguk-angguk. "Tapi, ini peringatan pertama sekaligus terakhir buat kamu. Kalau kamu terlambat lagi, dengan terpaksa, saya akan memecatmu!"

"Apa? Pecat?"

"Iya. Kenapa? Kau nggak terima keputusan saya?" tanyanya. Syakir menggeleng. "Bagus. Karena saya itu bos di sini. Ingat itu!"

"Baik, Pak. K-kalau gitu saya permisi dulu, Pak."

"Silakan!" timpalnya seraya meraih ponsel di meja. Setelah Syakir keluar dari ruangan, lelaki paruh baya yang sudah dianggap bapak oleh pemilik resto yang sebenarnya itu langsung mengechat bosnya.

"Beres, Pak. Syakir sudah saya beri peringatan. Seandainya dia mempunyai rasa takut, tentu akan kapok. Sebaliknya, kalau dia tak punya rasa takut, dia tak mungkin kapok." Terkirim.

"Bagus. Tapi, sudah berapa ribu kali saya bilang untuk tidak memanggil saya dengan sebutan 'Pak'? Berasa tua tau nggak? Ahaha."

"Ok, Bos!"

"Nah, itu jauh lebih baik. Kalau gitu, selamat bekerja. Tapi jangan lupa dipantau terus itu si Syakir. Jangan sampe kamu lengah dari kesalahannya."

Manajernya itu kembali mengiyakan apa yang dikatakan Wiliam. Lantas mulai kemnali fokus pada pekerjaannya yang baru saja hendak dimulai.

"Kebetulan sekali. Karena aku memang ingin menyingkirkan lelaki hidung belang itu dari resto. Selain sudah terlalu lama bekerja di sini, aku kurang menyukai perilakunya yang kerap sok senior!" gumamnya sambil tersenyum sinis. "Aku harus lebih teliti lagi untuk mengetahui kesalahannya mulai sekarang!"