Chereads / Rumit (satu pria dua wanita) / Chapter 31 - Bab. 31. Membuat Buta

Chapter 31 - Bab. 31. Membuat Buta

Pulang dengan perasaan yang jauh lebih baik, Syakir pun sampai sekitar pukul setengah sebelas. Namun, karena pintu kontrakan dikunci dari dalam, ia tak bisa masuk. Bahkan setelah menggedor dan menelepon Uni, pintunya tak kunjung dibuka.

"Sial!" rutuknya sambil memukul pintu keras-keras. Lantas berlalu pergi untuk menumpang di kontrakannya yang dulu.

Hari sudah sedemikian gelap sejak ditinggalkannya tadi. Bahkan, suasana di sekitar kontrakan semakin sunyi. Tak lagi ada pemuda yang tadi nongkrong sambil bermain gitar di gang.

Beruntung, begitu sampai di kontrakannya yang dulu, beberapa dari teman-temannya masih terjaga. Termasuk Ali, yang baru saja pulang bersama Nur. Lelaki berusia lebih muda setahun dari Syakir itu membuka pintu, sebelum akhirnya terkejut dengan siapa yang datang.

"Loh, Bang?" tanyanya seketika. "Ada apa malam-malam ke sini?"

"Mau numpang tidur. Gue nggak dikasih pintu sama bini!" jawabnya, seraya menerobos. Masuk melewati Ali dan mendapati Ucok di dalam. Temannya itu sedang bermain game.

"Dih? Kok bisa nggak dibukain? Emang Abang dari mana?" Ali kembali menutup pintu dan menguncinya. Lantas menyusul, sebelum akhirnya duduk di samping Syakir yang sudah berbaring di samping Baim.

Temannya yang berubah semakin menyebalkan di mata Ali itu sudah terpejam. Bahkan, dia sudah terlelap, sampai tak dapat menjawab pertanyaan Ali. Namun, Ali sudah dapat menebak.

"Pasti habis nemuin wanita bar itu dia!" batinnya sambil menggeleng. "Dasar manusia aneh! Istri ngambek, bukannya dibujuk malah makin ngaco!"

Iseng, Ali pun memfoto Syakir. Lantas mengirimkannya pada Nur seraya memberitahu wanita yang disukainya itu, bahwa Syakir tak mendapatkan pintu. Sampai menginap di kontrakannya.

"Lihat! Apa kamu masih mencintai lelaki seperti ini?" tanyanya dalam pesan.

"Aku memang belum bisa melepas perasaanku, Li." Nur membalas pesan yang didapatkannya sambil berurai air mata. Dia sedih melihat Syakir tertidur dalam keadaan menyedihkan seperti dalam foto.

"Aku malah kasihan melihatnya begitu!" lanjutnya.

"Astaga! Ternyata, cinta memang mampu membuat orang menjadi buta. Kamu tahu, Syakir sudah menemui kekasihnya yang lain. Bahkan, bisa jadi mereka itu baru saja bercinta. Menurutku pantas kalau Uni tak memberinya pintu. Karena seharusnya, dia diberi hukuman lebih."

Namun, balasan selanjutnya hanya emoticon si botak kuning yang bercucuran air mata. Dan nyatanya, Nur memang menangis semakin deras. Karena dia bingung dengan perasaannya sendiri. Benci, tapi cinta. Begitulah kira-kira yang ia rasa sekarang.

Terlebih, karena bulan ini tak mendapati dirinya haid. Nur yakin betul, ada setetes benih yang akan segera menjelma menjadi janin dalam rahimnya. Menghela napas panjang, Nur mencoba untuk meredam tangisannya. Karena takut, kakau sampai teman-temannya tau dan menanyainya lebih lanjut.

"Li," pesannya lagi yang seketika langsung dibaca Ali. "Aku bingung."

"Apa yang membuatmu bingung, Nur. Kamu itu hanya perlu belajar melupakan Syakir. Bebaskan perasaanmu terhadapnya mulai sekarang." Ali benar-benar ingin membuat Nur melupakan Syakir. Namun, bukan semata-mata karena dia mencintainya juga. Melainkan kasihan, karena Nur dan Uni sudah pasti sama-sama tersakiti. "Dan sekarang ini adalah waktu yang tepat. Kamu nggak tau, kan ... seandainya nanti, hubunganmu dengan Syakir ketahuan oleh Uni? Ya, Tuhan! Aku nggak bisa membayangkan perasaan kalian."

"Kamu benar, Li." Nur membalasnya lagi.

"Tentu saja aku benar. Karena aku tahu, perbuatan kalian ini salah. Benar-benar salah!" Ali merasa kesal sendiri saat mengitik pesan balasannya.

"Ya. Tapi, seandainya aku hamil gimana?" tanya Nur, lengkap dengan emoticon si botak kuning berkaca-kaca.

"Hamil?" Ali kian merasa kesal sendiri.

"Seandainya, Li. Seandainya."

"Tapi aku nggak yakin kalau apa yang kamu bilang barusan itu hanya seandainya. Jamu beneran hamil? Astaga! Tapi, nggak apa-apa. Jelas, bayi dalam rahimmu itu tak berdosa. Awas saja jika terpikir untuk menggugurkannya!" ancam Ali. Entah kenapa, ia merasa perlu untuk lebih memperhatikan Nur mulai sekarang.

"Aku nggak sebajingan itu, Li!"

"Syukurlah! Karena berani berbuat, kamu pun harus berani bertanggung jawab."

"Bertanggung jawab! Itu artinya, Syakir wajib bertanggung jawab atas kehamilanku ini dong, Li. Gimana, sih. Tadi nyuruh aku buat lupain Syakir. Astaga! Kepalaku pusing sumpah."

"Wajib, seandainya Syakir nggak punya istri. Wajib, seandainya istri Syakir mau menerimamu. Tapi kalau tidak? Tentu saha, kamu yang paling wajib mempertanggungjawabkan perbuatanmu sendiri. Jangan hanya mau enaknya saja."

Ada sedikit tawa saat Ali mengetik bagian akhir pesan. Karena dia tak pernah merasakan yang namanya hubungan intim. Ya, dia memang sealim itu. Karena selain membatasi diri dengan wanita, dia pun lebih memilih sibuk bekerja untuk membiayai orang tua serta adik-adiknya di kampung.

Sekalinya pernah pacaran, itu pun dulu saat pertama kali masuk sebagai karyawan di restoran. Karena hubungannya terjalin dalam jarak yang jauh, Ali pun ditinggal selingkuh. Bahkan, mantannya itu sudah menikah sekarang.

"Tapi, bayiku ini membutuhkan seorang ayah, Li. Nggak mungkin dong kalau kehamilanku ini semakin besar, sedangkan aku tak mempunyai suami? Apa kata orang?" Pesan dari Nur kembali Ali baca.

"Saat melakukannya dengan Syakir, apa terbersit pemikiran sampai sejauh itu?" tanya ya, sambil tertawa-tawa. Bukan ingin meledek. Tapi, perbuatan dua manusia ini menang begitu bodoh menurutnya.

"Ya, nggak." Nur menjawab, kikuk. Persis seperti emoticon nyengir yang juga dikirimkannya.

"Ya, sudah. Sekarang pun jangan berpikir seperti itu. Jalani aja hidupmu!"

"Ih ... kesel. Masa nggak ada saran lain gitu?" Nur menyisipkan tiga emoticon mata mendelik setelah pesannya terkirim.

"Ada!" balas Ali, secepat kilat.

"Apa itu?" Nur menjawabnya dengan pertanyaan, yang tak kalah cepat seperti kereta ekspres.

"Aku nikahin, mau?"

Hening.

Ponsel Ali yang sedari tadi berbunyi pelan tiba-tiba berubah senyap, karena Nur belum atau mungkin tak kan membalasnya. Membuat Ali seketika menelan ludah, lalu menyapu wajahnya sambil menghela napas panjang.

"Pernikahan tanpa cinta memang sulit. Tapi, seandainya Nur mau menikah denganku, aku janji dan sangat yakin, kalau dia akan balas mencintaku dalam waktu dekat," batinnya, seraya meletakkan ponsel di lantai.

Ingat akan kopi yang sedang dinikmatinya, Ali pun meraih gelas di sampingnya. Lantas meminum kopinya itu sampai habis. Tak bersisa, karena kopi yang diseduhnya itu tak berampas.

Tak kunjung mendapati balasan, Ali pun merogoh rokok yang juga teronggok di sampingnya. Lantas memetik api, untuk menyalakannya. Baru sekali menghisap, ponselnya pun berdering pelan. Ia harap, itu pesan dari Nur.

Dan, itu memang pesan balasan dari Nur.

"Menikahiku?" Hanya sekata.

"Ya!" balas Ali, sekata juga.

"Sekali pun aku hamil?" Nur benar-benar memastikannya. Karena takut kalau Ali hanya bicara omong kosong.

"Tentu. Karena sudah kubilang, cinta mampu membuat seseorang menjadi buta!" jawabnya, penuh keyakinan. Namun, Nur tak menjawabnya lagi.

Memikirkan apa yang dikatakan Ali membuat Nur tak dapat tidur. Dia terus saja terjaga, meski sudah berusaha memejamkan matanya. Sampai bergulir ke sana-kemari, mencari posisi enak yang tak kunjung ditemukannya.

Beranjak duduk, Nur pun bersila sambil menundukkan wajahnya dengan kedua mata terpejam. Ia menghela dan membuang napasnya perlahan, tetapi ingatannya tetap pada apa yang dikatakan Ali sampai benar-benar menyadari satu hal. Bahwa, apa yang dikatakan Ali memang benar. Dia harus bisa melupakan Syakir.

Barulah setelah itu, Nur dapat tertidur pulas.

***

Esok pagi, Baim yang lebih dulu bangun pun buru-buru ke kamar mandi. Lalu membersihkan dirinya untuk bersiap-siap salat subuh. Barulah setelah keluar dari sana, ia membangunkan Ali dan yang lainnya.

Ali dan Ucok pun bangun, tapi tidak dengan Syakir yang bahkan tak mendengar suara obrolan sama sekali. Keduanya bergantian ke kamar mandi, sebelum bergantian pula pelaksanaan salat subuhnya.

Selesai salat, Ali masih mendapati Syakir terlelap. Sampai ia memberanikan diri untuk membangunkan temannya itu, dengan menepuk-nepuk bahunya pelan dan lambat. "Bangun, Bang. Udah pagi!" serunya.

"Hm." Syakir bergumam sambil menggeliat panjang. Namun, matanya masih saja terpejam. Bahkan, dia tampak kian terlelap setelahnya.

"Dia ngapa tidur di mari?" tanya Baim yang semalam tak mengetahui kedatangan Syakir.

"Nggak dikasih pintu sama bininya, katanya." Ucok yang menjawabnya pun tertawa pelan sambil meninggalkan kamar. Dia sudah selesai bersiap. Pun dengan Baim. Keduanya hendak menikmati secangkir kopi dulu sebelum berangkat.

Sementara Ali masih di dalam.

"Astaga! Bukannya bangun, malah ham hem ham hem aja lu, Bang. Bangun elah! Terlambat lagi baru nyaho, loh. Pecat!" Ali kembali menepuk pekan pundak temannya itu.

Namun, mendengar kata pecat saja membuat Syakir seketika membuka mata. "Pecat?" tanyanya seraya beranjak duduk. "Kagak mau gue!"

"Makanya bangun. Terus mandi, keramas. Sucian sono!" titah Ali sambil tergelak.

"Apa, sih. Apa, sih. Jan kira gue nggak tau, ya! Udahlah cepetan mandi. Habis tuh ngopi kita."

Ali pun berlalu meninggalkan Syakir sendiri yang masih merasa kelimpungan. Lantas bergabung dengan teman-teman yang lain di teras setelah menyeduh kopinya dulu di dapur. Seraya menunggu kopinya dingin, Ali sempatkan mengecek ponsel. Lalu melihat chat semalamnya dengan Nur.

Sampai pagi ini, pesannya menjadi pesan terakhir tanpa balasan yang diartikannya sebagai sebuah penolakan. Namun, tentu saja, Ali tak kan menyerah sampai di situ. Dia akan memperjuangkan cintanya, sampai Nur benar-benar bisa berpaling dari Syakir.

Bodoh memang, karena Ali masih saja menyukai, bahkan mencintai Nur yang jelas-jelas sudah dijajah habis oleh temannya sendiri. Tak lagi ada yang mengistimewakan Nur sebagai seorang gadis. Dia sudah benar-benar habis dan kotor.

Namun, memang bukan itu yang menjadi penilaian utamanya terhadap seorang wanita. Melainkan mengikuti pilihan hati, yang hanya dengan melihat Nur sekali saja Ali sudah merasa yakin, bahwa wanitanya itu memiliki sisi yang baik. Toh, baik dan buruknya seseorang tidak dapat dinilai dari apa yang dia kerjakan.

Oleh karena itu, meski pun seandainya akan ada cemoohan di lain waktu, tentang betapa bodohnya Ali karena sudah memilih Nur, ia akan menerimanya dengan suka rela. Atau, mungkin saja akan menyanjung orang-orang tersebut, dengan membalikkan faktanya.

Bahwa, orang yang merasa dirinya jauh lebih baik dari orang lain, justru sebaliknya.

"Pagi," sapanya lewat pesan yang tak lama langsung dibaca. Bahkan dibalas.

"Pagi juga, Li. Gimana, Syakir udah balik?"

Ali menggeleng dengan bibir menyungging tipis. Bahkan, yang ditanyakan Nur pertama kali adalah Syakir, pikirnya. Namun, itu tak menjadi masalah berat untuknya.

"Um, baru mandi sih dia. Katanya, mo sucian. Ahaha!" balas Ali, sengaja memanas-manasi Nur. Berharap wanita yang sedang berbalas chat dengannya itu semakin kesal terhadap Syakir.

"Wow." Nur mengirimkan emoticon menyengir. "Ya, dah. Aku mau beli sarapan dulu, Li. Ada tukang gorengan di depan."

"Nggak sekalian beliin aku?" Ali menggoda, dengan emoticon menjulurkan lidah.

"Mau? Beli sendiri aja! Ahaha."

"Sades!" balas Ali dengan diiringi emoticon ketawa. Namun, Nur tak membalas lagi. Bahkan, WhatsApp-nya pun tak lagi sedang online. Wanita yang disukainya itu pasti sedang memilih jajanan untuk sarapan, pikirnya.

Tak lama Syakir keluar. Pakaiannya masih yang kemarin, karena semua baju yang dia punya ada di kontrakannya sendiri. Tak ingin pulang karena sudah pasti akan memakan banyak waktu, ia pun meminjam pakaian Ali untuk sementara. Barulah nanti sore, ia akan pulang.

Itu pun kalau Uni mau membuka pintu, pikirnya. Kalau tidak, apa boleh dikata? Syakir harus kembali menginap di kontrakan lamanya.

"Buruan, Bang. Udah siang ini." Ali meneriaki temannya yang sedang berganti pakaian dari luar. Lalu bergegas menyalakan motornya yang baru saja dikeluarkan.

Sejurus kemudian Syakir keluar dengan pakaian Ali yang kekecilan di tubuhnya. Tergesa-gesa sampai lupa membawa ponsel yang ia cas sebelum mandi. "Jalan, Li!" katanya.

***

Pukul tujuh pagi, Uni membuka pintu kontrakannya untuk menghirup udara segar. Lantas mengedarkan pandangan, melihat ke sekitar, barangkali Syakir datang untuk mengganti pakaian. Sayangnya, dia tak melihat siapa pun kecuali Nur dan teman-temannya yang baru saja hendak berangkat kerja.

Namun, temannya itu tak melihat adanya Uni. Sehingga tak menyapa, dan Uni pun enggan menyapa lebih dulu. Dia lebih mengkhawatirkan Syakir, meskipun yakin kalau suaminya itu menginap di kontrakan lama. "Tapi, kenapa dia tak pulang untuk mengganti baju?" batinnya.

Meski kesal, tetap saja Uni khawatir. Karena walau bagaimana pun, Syakir masih suami juga ayah dari calon anaknya. Merogoh ponsel dari saku daster yang ia pakai, Uni pun berniat untuk menelepon suaminya itu. Namun, satu sampai tiga kali memanggil, Syakir tak mengangkat telepon darinya.

"Dih! Kok, nggak diangkat, sih?" rutuknya, seraya kembali melakukan panggilan yang ke empat kali. Namun, tetap saja Uni tak mendapati jawaban. "Duh ... jan-jangan dia kenapa-kenapa lagi? Ya, Allah. Gimana ini?"

Kalut, Uni pun akhirnya menelepon Wiliam. Teman baru yang hampir semalaman menemaninya begadang karena takut sendirian. Namun, temannya itu justru tertawa dan mengolok-olok kekhawatiran Uni.

"Kamu ini gimana, sih? Katanya mau menghukum Syakir. Tapi, kok cemas gitu? Udah biarin aja. Paling-paling masih tidur dia. Kan, semalam abis jalan-jalan sama cewek!"

"Ish! Malah ngeledekin. Cup-cupin, kek."

"Um, kaciaaan! Istri sapa sih ini?" goda Wiliam yang seketika membuat Uni terbahak. Bahkan lupa dengan tujuannya menelepon. Ini memang hari ke tujuh sejak pertemuannya tempo malam, tetapi Uni sudah sebegitu nyaman saat mengobrol dengan Wiliam.

Meski pun tak sedikit pun terbersit untuk membalas perselingkuhan Syakir dengan perselingkuhan lagi, tetap saja, yang Uni butuhkan sekarang adalah perhatian dari seseorang. Tak peduli seandainya Syakir akan mengetahui pertemanannya dengan Wiliam, toh ... Uni tak merasa menyelingkuhi suaminya.

"Istrinya Kang Selingkuh. Puas?" Uni masih tergelak.

"Belum. Orang aku belum ngapa-ngapain."

"Emang mau ngapain?"

"Mau macarin kamu!"

"Dih!?"