Bab. 30. Hanya Ingin Bicara
Heri, manajer yang begitu dipercaya oleh William ini berusia tiga puluh sembilan tahun. Beranak dua, dan dua-duanya berjenis kelamin pria. Sayangnya, sejak sepuluh tahun lalu dia sendiri. Tak pernah terpikir untuk menikah lagi setelah kematian istri tercintanya karena melahirkan.
Namun, beberapa bulan lalu perasaannya jatuh pada seorang gadis desa yang baru saja masuk, sebagai pelayan. Heri begitu menyukai wanita itu karena keluguan dan kepolosannya. Tak pernah neko-neko, sampai akhirnya dia keduluan Syakir yang memang jauh lebih muda.
Namanya, Silpi. Bodohnya, gadis yang dia sukai itu memilih orang yang salah. Orang yang jelas-jelas sudah beristri. Sampai akhirnya, begitu ketahuan oleh semua rekan, gadis yang disukainya itu merasa malu sendiri. Lantas memilih mengundurkan diri, tanpa diketahui yang lain.
Itu kenapa, saat Wiliam memberinya tugas untuk memperhatikan Syakir, betapa senang hati Heri karena bisa sekalian membalaskan rasa kesal. Yang Heri mau sekarang, Syakir ditendang karena kesalahannya.
Harus benar-benar memerhatikan Syakir dari jauh membuat Heri sering kali ke luar dari ruangannya. Lantas mengintip demi untuk melihat kesalahan Syakir yang sedang bekerja di dapur. Namun, sampai beberapa hari sejak Wiliam mengutusnya untuk jadi mata-mata, Heri tak menemukan kesalahan apa pun.
Syakir tak lagi pernah datang terlambat. Dia pun bekerja semakin giat dan terampil meski terkadang terlihat sedih dan murung. Ternyata, sampai saat ini, Uni belum juga memberi hati untuknya. Atau, mungkin memang tak kan lagi memberinya hati.
Wanita yang mulai senang memakai daster selutut itu masih mendiamkan Syakir. Setiap hari Uni melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Masak dan membereskan rumah, terutama bekas tidur. Namun, tidak dengan melayani Syakir.
Dia bilang, "Aku mengikhlaskanmu untuk pergi ke bar jika memang mau melakukan hubungan badan. Karena aku lahir dan batinku belum siap melayanimu . Atau, bahkan mungkin tak kan lagi siap melayanimu." Membuat Syakir kiar membatin, benar-benar merasa bersalah dibuatnya.
"Tapi, Dek ... please, jangan hukum Abang terlalu lama. Allah sudah benar-benar menghukumku dengan membuatmu tahu semuanya. Tidak cukupkah selama sepekan ini mendiamkanku?" Syakir memelas, memohon maaf lagi dan lagi seraya duduk bersila di belakang Uni yang sedang berbaring.
"Permintaan maafku ini bukan karena semata-mata ingin bercinta. Tapi, aku ingin memperbaiki semuanya sekarang. Please!" lanjutnya
Namun, tanpa Syakir tahu, Uni yang kemarin sudah merasa sedikit iba karena kecuekannya, tiba-tiba kembali marah dan enggan memberi hati untuk Syakir karena kedatangan Anita ke kontrakannya.
Wanita yang bersama Syakir di bar benar-benar nyata. Bukan khayalan, atau salah melihat orang setelah wanita itu menemui Uni secara terang-terangan. Dia bilang, "Suamimu itu memang brengsek! Berani-beraninya dia memblokir setiap akses denganku hanya gara-gara kamu datang menyusul. Padahal, sebelumnya, dia selalu bilang kalau dirinya tak merasa takut sedikit pun terhadapmu!
"Sebenarnya, kalau Syakir tidak meniduriku dengan gratis, aku tak kan semarah ini saat dia pergi! Tapi, karena aku menyukainya, aku tak mungkin membiarkannya bersenang-senang meski bersama istrinya sekali pun!
"Kamu ataupun Syakir harus merasakan apa yang aku rasakan sekarang!" lanjutnya.
Uni tertawa sinis. "Aku nggak salah dengar?" tanyanya, benar-benar meledek wanita di hadapannya yang memakai pakaian super seksi. Kaos putih ketat dan berlengan pendek. Juga rok setengah paha.
"Jelas tidak!" timpal Anita yang berlagak songong dengan melipat kedua tangannya mulus dan putihnya itu di dada.
"Tapi, mana mungkin seorang pelacur mempunyai perasaan terhadap pelanggannya?"
Terkejut dengan ucapan Uni, kemarahan Anita seketika langsung naik pitam. Kedua tangannya melerai, sebelum akhirnya mendorong Uni. Untungnya, tangan Uni sigap berpegang pada kusen pintu. Sehingga dia tak jatuh, dan malah membuat Anita terjengkang dengan tendangannya.
"Astaga!" Anita merasa kesakitan.
Sementara Uni buru-buru menutup dan mengunci pintu. Sebenarnya dia merasa puas dengan apa yang baru saja diucapkannya. Namun, tetap saja dia dibuat sedih oleh ucapan Anita. Sehingga saat itu, setelah Uni mengunci pintu, tubuhnya ambruk ke lantai sambil menangis. Bahkan tersedu-sedu.
"Dek!" Panggilan Syakir mengejutkan Uni, sampai menarik ingatan istrinya itu dari lamunan panjang. "Kamu mau kan kembali bersikap normal padaku?"
Masih hening. Uni benar-benar tak mau menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya dari kemarin. Bahwa Uni, tak mungkin kembali bersikap seperti biasanya.
"Kalau kamu memang nggak mau melayaniku, nggak apa-apa. Karena aku akan belajar mengurangi hawa nafsu dari situ. Tapi, please ... jangan bersikap seolah-olah aku nggak ada di sekitarmu."
Alih-alih menjawab, Uni justru berdiri dari berbaringnya yang tak lagi terasa nyaman karena ingin buang air. Lantas, tanpa sepatah kata, ia meninggalkan suaminya itu ke kamar mandi. Membuat Syakir seketika merasa kesal. Benar-benar kesal, sampai memukuli bantal dengan kedua tangan mengepal kuat.
Tahu kalau Syakir berbuat demikian, Uni pun meledeknya. "Percuma memukul bantal. Rasanya tak kan sesakit perasaanku!"
"Ya, Allah, Dek." Syakir Akhirnya diam mematung dengan kedua tangan bersitegang. Lalu, saat Uni menghilang dari pandangan, Syakir memukulkan kepalan tangannya itu ke dinding sampai berdarah.
"Aw!" ringisnya.
Namun, karena merasa percuma atas bujuk dan rayunya terhadap Uni, Syakir pun beranjak gontai dari duduknya. Lantas ia keluar meninggalkan Uni sendirian di kontrakannya. Dia tahu kalau Uni butuh waktu untuk sendiri. Oleh karenanya, dia pun ingin memiliki waktu sendiri untuk merenungi berbagai hal.
Akan tetapi, Nur yang mendapati Syakir keluar dari kontrakan dalam keadaan sedih dan ringkih pun langsung mengikutinya diam-diam. Dia merasa penasaran, takut juga kalau sampai selingkuhannya itu berbuat nekat.
Sebab, semarah-marahnya Nur karena tahu kalau Syakir kembali membohonginya, Nur tak bisa membohongi diri sendiri. Bahwa dia, tetap mencintai Syakir dalam keadaan apa pun.
Tanpa Nur ketahui pula, Ali yang mengintai mereka sejak lama pun ikut membuntuti keduanya diam-diam. Sampai akhirnya Syakir tiba di sebuah kedai kopi yang tak jauh dari lokasi kontrakan.
Dari luar, Nur memperhatikan Syakir terlebih dulu. Sekaligus berpikir, apa dia harus menemui dan menemani Syakir di dalam atau tidak. Namun, saat otaknya berkata 'Ya' langkahnya tiba-tiba terhenti karena cengkeraman tangan Ali.
"Kamu?" Nur terkejut begitu mendapati Ali di belakangnya. "Ngapain narik-narik aku kayak begini? Lepas!"
Ali tak menggubris. Tangannya itu tetap mencengkeram pangkal lengan Nur, sambil menariknya sedikit sampai keduanya berjalan, menjauh dari kedai.
"Lepas tanganku, Li. Astaga!" Nur meronta. Tapi, tatapannya tetap mengarah ke kedai di mana terdapat Syakir di dalamnya. Apalagi setelah ia melihat adanya darah di tangan kekasihnya itu. "Aku harus pergi ke kedai!" lanjutnya.
Ali pun seketika berhenti. "Mau menemui suami orang?' tanyanya, seketika.
"Dih! Apa-apaan, sih? Sudah main tarik, sekarang main tuduh sembarangan!" Nur mengelak. Tentu saja, karena dia memang tak mau ketahuan.
"Jangan bohong! Karena aku sudah mengetahuinya sejak lama," timpal Ali merasa begitu yakin.
"Ok! Kalau iya memang kenapa?" Akhirnya Nur pun jujur. Karena, selain lelah, dia pikir percuma saja menyangkal Ali kalau temannya itu memang sudah mengetahui semuanya. "Suka-suka aku dong! Apa urusannya sama kamu?"
Ali tersenyum sinis. Lantas kembali menarik tangan Nur sampai keduanya tiba di kedai yang lain. Ia membawa Nur masuk.
"Duduk!" titah Ali, setelah melepas tangan Nur dari cengkeramannya yang kuat.
Sambil meringis, Nur mengusap-usap pangkal lengannya itu karena memang terasa begitu sakit. "Maumu apa, sih?" tanyanya, kemudian. "Kenapa bawa aku ke sini? Mau ngapain?"
"Aku hanya ingin bicara. Duduklah!"