Turun dari mobil Wiliam, Uni langsung bergegas masuk ke gang di mana kontrakan Syakir ada di belakang kontrakan wanita dengan gerbang berbeda. Dilihat Syakir baru saja keluar dari gerbang, untuk menjemput istrinya di jalan.
Namun, mendapati istrinya sudah masuk ke gang, betapa lega hati Syakir yang seketika langsung memeluk Uni. Namun, Uni merasa jijik saat sentuhan tangan Syakir mengusap-usap pundaknya.
"Aku khawatir banget semalam, setelah ibu memberitahu kepergianmu sejak sore." Syakir berucap lirih. "Kamu kok nggak bilang mau nyusul aku ke sini, sih? Tapi, sebentar. Lebih baik kita ngobrol di dalam. Di sini udah mulai panas," katanya.
Uni yang hanya tersenyum-senyum sambil mengangguk itu pun mengikuti Syakir ke dalam. Lalu, karena tak mau mengganggu teman-temannya yang masih tidur setelah bekerja malam, keduanya duduk di kursi yang ada di teras depan.
"Ceritakan, dengan siapa kamu ke sini?" Syakir memegangi jemari Uni dengan erat.
"Sendirilah. Sama siapa lagi?"
"Berani?" Syakir mengernyit heran, mengetahui istrinya bisa seberani itu. Padahal, seandainya dia tahu, Uni melakukan itu karena dorongan batin yang memberinya firasat-firasat aneh setiap malam.
"Kalau nggak berani, mana mungkin aku ada di sini?"
"Iya, juga. Tapi serius, aku nggak percaya. Cubit dong," pintanya.
Namun, alih-alih mencubit, Uni justru menampar pipi suaminya itu sekeras yang ia mau untuk melampiaskan kekesalannya sekalian. "Sakit nggak?"
"Astaga! Ini lebih dari sekadar sakit, Dek. Kenceng banget, sih? Kek lagi balas dendam itu mah."
"Emang!" batin Uni sambil tertawa sumbang.
"Malah ketawa. Kamu lapar nggak, Dek. Aku belum makan BTW."
"Aku udah sarapan roti tadi di jalan. Tapi udah lapar lagi, sih ini."
"Ya, sudah. Kita makan aja sekarang. Aku beli di depan dulu, ya. Tunggu di sini. Jangan ke dalam, karena di dalam ada yang lagi pada tidur."
"Ok!" Uni mengiyakan peringatan Syakir sambil meraih ponsel dari tasnya, yang ternyata ada satu chat masuk.
"Nomor baru?" gumamnya, seraya membuka isi pesannya. "Wih, Wiliam ternyata. Hm ... aku save dulu, deh nomornya."
Tanpa membaca isi pesannya dulu, Uni langsung menyimpan nomor tersebut. Barulah setelah itu ia mengernyit heran, karena tiba-tiba, Wiliam mengetahui nama suaminya.
"Maaf telat balas. Tapi, kamu kok tau kalau suamiku itu Syakir? Kamu dukun, ya?"
Dalam hitungan detik, Wiliam sudah membacanya. Bahkan, dia sedang mengetik untuk membalas pesan Uni.
"Iya. Dukun beranak!"
"Dih! Orang serius juga. Kamu tau dari mana coba kalau suamiku itu namanya Syakir? Kamu kenal suamiku?"
"Kenal, sih enggak. Tapi aku tau banyaklah tentang dia." Emoticon ngakak berbaris, setelah pesannya.
"Serius?"
"Iya, dong. Dan, sekarang aku nggak heran kalau kamu tiba-tiba keluar dari bar."
"Hilih. Paling juga sok tau!" Uni tergelak, saat mengetik pesannya itu.
"Dia itu tukang selingkuh, 'kan? Hayoloh. Aku berani bilang, karena yakin kalau kamu juga sudah tau."
"Ish! Apa, sih? Dah, dululah. Suamiku dah balik, nih!"
"Balik? Balik dari mana?" tanya Wiliam.
Namun, Uni tak membalasnya. Dia lebih memilih menghapus pesannya itu agar tak ketahuan Syakir, yang baru saja datang dengan satu kantung keresek di tangan. Dia membeli kuah kupat dua cup. Lantas mengeluarkan dan menyimpannya di meja samping Uni.
"Kamu harus coba ini, Dek. Rasanya enak, loh."
"Serius?"
"Huum." Syakir mengangguk seraya membuka satu per satu cupnya.
"Enak mana dengan selingkuh?" Uni tertawa sumbang, sambil menyinggung Syakir. Suaminya itu seketika terbatuk dan mendongak menatapnya.
"Ya, enak inilah. Selingkuh itu bikin pening sebenarnya." Syakir berdalih. "Tapi, kenapa tiba-tiba kamu bilang begitu, Dek? Jangan-jangan kamu masih curiga aja sama aku?"
"Emang. Karena biasanya, orang akan melakukan kesalahan yang sama saat jauh dari istrinya."
"Nggaklah. Awas aja kalau nyinggung-nyinggung begitu lagi!" serunya, seraya melahap suapan pertama.
"Ya, semoga aja kamu nggak lagi-lagi biar aku nggak julid, nyinggung-nyinggung kamu terus." Uni pun ikut melahap kuah kupat yang dibelikan Syakir. Lantas memakannya sampai benar-benar habis. "Beneran enak ternyata," katanya.
"Apa kubilang." Syakir tersenyum senang. "Tapi, kamu beneran mau tinggal bareng alu di sini?"
"Iyalah! Biar bisa mantau kamu terus."
"Kalau gitu, kita temui Bu Anggi dululah. Nggak mungkin dong kita seatap sama teman-temanku?"
"Ya, sudah. Ayo!" Uni pun berdiri lebih dulu sambil menyelendangkan tasnya. "Aku mau tiduran soalnya. Capek."
***
Beruntung, saat Syakir menemui pemilik kontrakan, masih ada dua kontrakan yang baru saja dikosongkan. Uni memilih yang dekat dengan kontrakan khusus wanita, agar bisa bertemu Nur setiap hari.
Omong-omong soal Nur, temannya itu menghubunginya juga sejak semalam. Bahkan mengirim puluhan chat, karena menghawatirkan Uni. Namun, setelah Uni membalasnya, Nomor Nur tidak aktif.
"Sama seperti kontrakan lain, yang ini pun memiliki ruang depan, kamar, dapur dan kamar mandi. Semoga betah, ya." Bu Anggi langsung menyerahkan kuncinya setelah membuka pintu kontrakan.
"Iya, Bu. Makasih sebelumnya," timpal Syakir yang kemudian menggiring Nur untuk masuk ke dalam. "Kita belum punya apa-apa di sini. Otomatis, mau makan ya harus beli," lanjutnya pada Uni.
"Nggak apa-apa. Banyak yang dagang ini, 'kan?" Uni masih bersikap seolah tak terjadi apa-apa semalam. Namun, dia akan mengungkitnya nanti.
"Ya, iya, sih. Kamu bener juga. Tapi, gajian nanti, kita beli perabot seperlunya dulu aja, ya?"
"Terserah kamu aja, Bang." Uni meletakkan tasnya di lantai. Lalu berjalan, mengitari ruang demi ruang. "Tapi, kita butuh alas untuk tidur."
"Kalau itu ada di kontrakanku. Aku ambil sekarang, ya? Biar kamu bisa beristirahat," katanya.
"Boleh." Uni mengangguk tanpa mengalihkan tatapan dari ruangan yang dilihat-lihatnya. "Sekalian beli air buat minum, Bang. Takutnya, nanti haus."
"Siap, sayangku!" timpalnya, seraya melengos meninggalkan Uni di dalam.
"Sayang-sayang palamu peang!" batin Uni sambil menelan ludah. Lalu menyusul Syakir ke luar untuk melihat-lihat halaman. "Kalaupun memang sayang, kamu nggak mungkin tidur dengan wanita lain."
Karena padat, halaman yang dilihatnya hanya bisa dimasuki motor. Selain sempit, tempat itu pun minim cahaya matahari langsung. Kembali merogoh ponsel dalam tasnya, Uni mengintip nomor Wiliam. Lelaki yang hampir menabraknya itu sedang aktif.
"Mbah dukun, tebak ... sedang di mana aku?" tanyanya, dalam pesan yang baru saja dikirimkan.
Wiliam langsung membalas. "Di kontrakan, 'kan?"
"Huum. Tapi, aku nggak tinggal di kontrakan Syakir yang lama."
"Nyari kontrakan baru buat tinggal berdua?"
"Huum. Masih satu pemilik sih sama kontrakan dia yang kemarin. Soalnya, nggak mungkin dong aku tinggal sama teman-temannya juga?"
"Baguslah. Aku ikut senang."
"Huum. Tapi, soal apa yang kamu ceritakan tentang Syakir memang benar. Dan, kenapa aku tiba-tiba keluar dari bar ... itu, karena aku sudah memergokinya dengan seorang pegawai bar."
"Serius? Aih, kok kamu masih bisa santai gitu? Nggak marah?"
"Wanita mana yang nggak bakal marah kalau tau suaminya bermain gila dengan wanita lain? Nggak ada. Tapi, aku bingung."
"Loh, kenapa harus bingung. Tinggalin aja, sih!" Wiliam memang geram terhadap orang yang gemar menyelingkuhi pasangan.
"Kamu nggak bakal ngerti."
"Karena kamu hamil? Terus kamu takut anakmu hidup tanpa ayah? Oh, astaga! Kalau itu benar-benar menjadi alasanmu tetap bertahan, kamu ... bodoh!"