Bab. 27. Jijik
Memikirkan apa yang dikatakan Wiliam tak membuat Uni berubah pikiran. Dia tetap memilih untuk bertahan demi anak dalam kandungannya. Namun, tentu saja dengan perasaan yang jauh lebih berbeda.
Mungkin, memang masih ada cinta di hatinya. Tapi, itu tak lagi sebesar dulu, sebelum Syakir benar-benar menyakiti jiwa dan raganya. Bahkan, dia akan berterus-terang perihal apa yang dia lihat semalam di waktu yang tepat.
Hari baru saja beranjak malam, tapi Uni masih betah mengobrol dengan Nur setelah beberapa hari tak bertemu. Temannya itu tampak lebih kurus, padahal, baru beberapa hari bekerja.
"Kamu beneran nggak melihat keanehan Syakir selama kerja dan tinggal di lingkungan yang sama?" tanya Uni sekali lagi. Barangkali, temannya itu berbohong karena takut oleh ancaman Syakir.
"Sepenglihatanku sih nggak. Memangnya dia ada macem-macem lagi?"
Uni mengangguk.
"Serius? Kamu tau dari mana? Syakir kan jauh?" Tiba-tiba Nur merasa cemas. Takut, kalau yang dimaksud Uni adalah dirinya sendiri. Membuatnya seketika salah tingkah.
"Aku melihatnya sendiri semalam."
"Semalam? Maksudmu?" Nir menelan ludah, karena dirinya keluar bersama Syakir semalam. Semakin takut membuat tubuhnya bergetar hebat. Dia pun tiba-tiba berkeringat di tengah cuaca sejuknya malam.
"Iya. Itu kenapa aku jatuh pingsan di jalan. Tapi, aku belum membicarakannya dengan Syakir."
"Kenapa?"
"Nanti sajalah, menjelang tidur. Karena Aku ingin mengatakan sesuatu yang pantas untuknya."
"Waw!" Nur tertawa sumbang sambil mengangguk-angguk heran. Karena Uni tak kunjung membahas siapa wanita yang bersama Syakir semalam. "Tapi, kamu yakin melihat Syakir?"
"Huum. Di bar."
"What? Di bar?" Nur menelengkan wajahnya, tak percaya. "Jam berapa?"
"Entahlah. Aku nggak sempet liat jam, Nur. Tapi, aku mengikutinya begitu dia keluar dari gang depan." Uni tertawa sumbang. "Sumpah, sebenarnya aku jijik banget. Tapi, aku nggak mungkin biarin anak ini lahir tanpa ayah."
Dalam hati, Nur merutuk. Tak menyangka kalau dirinya benar-benar kecolongan. Dia pikir, malam kemarin, Syakir langsung pulang ke kontrakan. Tahunya, kekasih gelapnya itu keluar untuk menemui wanita lain.
"Uni, maaf. Aku, kok tiba-tiba mules." Nur beralasan. Padahal, dia benar-benar kesal setelah mendengar penjelasan Uni tentang wanita yang bersama Syakir semalam.
"Oh. Kalau gitu, aku pulang aja nggak apa-apa. Udah malam juga kok ini. Kamu pasti capek, 'kan?" Uni pun bangkit dari duduknya. "Malam, Nur. Besok kita ngobrol lagi, ya? Aku nggak ada temen soalnya "
"Siap, Uni."
***
Melangkah pulang menuju kontrakannya, Uni malas menemui Syakir yang sudah pasti menunggunya untuk meluapkan rasa rindu. Dia masih merasa jijik mengingat ada wanita lain yang duduk di pangkuan Syakir kemarin malam.
Apalagi setelah dengan bodohnya Uni memberi satu kesempatan dengan rasa dan kepercayaan penuh, betapa kecewa dan patah hatinya dia begitu tau kalau kesempatannya itu sama sekali tak membuat Syakir jera.
Suaminya itu justru semakin gila, karena sudah berani bermalam dengan wanita bayaran. Padahal, Uni pikir, apa yang kurang dari pelayannya setiap kali Syakir pulang? Sampai suaminya itu seperti orang kehausan, selama berada jauh dari istri.
Lalu sekarang, mengingat dirinya yang tak bisa membuat anak dalam kandungan lahir tanpa ayah, Uni terpaksa memberinya kesempatan lagi dan lagi. Namun, tentu saja Syakir harus membayar setiap luka dalam hatinya.
"Serius kamu kangen aku, Bang?" tanya Uni, begitu mendapati cumbuan mesra dari Syakir.
Suaminya itu mengangguk seraya mengeratkan pelukannya terhadap Uni. Namun, begitu sadar kalau sekarang inilah waktu yang tepat, Uni pun membuat ancang-ancang dengan menghela napas panjang sebelum menarik diri dari pelukan Syakir.
"Kenapa?" tanya Syakir. "Kamu nggak kangen aku, Dek?"
"Aku kangen, Bang. Tapi jujur, aku jijik setelah melihatmu bercumbu mesra dengan seorang wanita bayaran di bar." Dengan lantang dan lugas, Uni langsung memberitahu Syakir perihal apa yang dilihatnya.
"Di bar?" Syakir menelan ludah dengan susah payah. "Apa maksudmu, Dek? Aku nggak ngerti sumpah!"
Uni menggeleng seraya berdecak kesal. "Cobaan apalagi ini, Tuhan?" batinnya, seraya terpejam barang sesaat. Dia benar-benar merasa kacau.
"Dek?" Syakir kembali meraih tubuh Uni, seraya mengguncang kedua bahu istrinya itu.
"Jangan pura-pura lupa, Bang. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Itu kenapa semalam aku pingsan di depan bar. Beruntung, seseorang menolongku."
Syakir menggeleng. "Aku nggak pergi ke mana-mana semalam. Kamu salah lihat kalu? Lagian, kenapa kamu pergi ke bar? Kenapa nggak ke kontrakan?"
"Aku ke kontrakanmu, Bang. Tapi, belum sempat aku masuk ke gang, kamu keluar dari sana. Dan, tanpa kamu ketahui, aku mengikutimu dari belakang." Uni tertawa, tapi air dari matanya terus mengalir. Sesekali, ia mengusap perut. Memberi kesabaran untuk dirinya, sekaligus bayinya. "Tanpa kamu ketahui juga, aku melihatmu berhubungan badan dengan wanita lain!"
"Demi Allah. Aku yakin kamu salah orang, Dek. Semalam aku ada di rumah." Syakir bersikukuh dengan kebohongannya. Karena dia memang tak mau kalau Uni sampai meminta cerai.
"Aku yakin itu kamu, Bang. Mataku ini masih normal. Mana ada aku salah melihat?" Kali ini Uni meraih kedua pipi Syakir seraya menatapnya dengan seringai penuh kebencian. "Tapi, sebelum kamu meminta maaf, aku akan memaafkanmu, Bang. Bukan karena aku tak sakit hati. Tapi, ini demi anak yang aku kandung sekarang. Dia harus memiliki ayah ketika lahir nanti, meskipun ayahnya itu adalah seorang lelaki jahanam!"
"Astaga, Dek. Kamu bicara apa? Aku benar-benar nggak paham." Syakir meraih kedua tangan Uni yang masih menempel di pipinya. Lalu menggenggamnya seraya menurunkannya ke pangkuan.
"Sudahlah, Bang. Aku mau istirahat. Perjalananku benar-benar melelahkan." Uni kembali menarik diri. Lalu beringsut mundur sebelum membaringkan dirinya di kasur lantai, membelakangi Syakir.
Namun, detik berikutnya, dia menoleh. "Soal hasratmu yang kurasa over itu, salurkan saja pada wanita mana pun. Terserah! Karena mulai sekarang aku tak lagi mau atau peduli. Selamat malam!"
"Tapi, Dek."
"Aku nggak mau mendengarkan penjelasan apa pun juga. Apa yang aku lihat kemarin itu susah cukup jelas, Bang!" selanya, yang seketika membuat Syakir bungkam dan memutar ingatannya tentang kejadian semalam.
Dia memang pergi ke bar, dan lagi-lagi bercinta dengan Anita. Namun, ia benar-benar tak tahu kakau Uni sampai mengikutinya. "Sial!" Syakir membatin, seraya mengepalkan kedua tangan. Ia ingin menonjok sesuatu, tetapi takut sakit.
Kesal karena keputusan Uni memang tak bisa diganggu gugat, Syakir pun tidur di belakang Uni sambil merutuk, menyesali keteledorannya sendiri.
"Lagi pula, kenapa Uni sampai berani, sih?" batinnya seraya menutup mata. "Dulu , kan, dia penakut! Jangankan pergi jauh sendiri. Tidur dalam ruangan gelap saja dia nggak mau."
Sementara itu, Uni justru tersenyum sinis meski h8atinya benar-benar terluka. Dia pikir, daripada meninggalkan Syakir yang sudah pasti akan langsung melupakannya, bahkan melupakan anak dalam kandungannya, dia memilih untuk bertahan.
Setidaknya, selain bisa membuat Syakir merana karena sikap dingin dan acuhnya, Uni pun masih bisa mendapatkan hak atas uang yang dimiliki Syakir. "Kita lihat, Bang. Sejauh mana kamu bisa bertahan tanpa menyentuhku!" batinnya.