Chereads / Rumit (satu pria dua wanita) / Chapter 28 - Bab. 28. Masih Kangen

Chapter 28 - Bab. 28. Masih Kangen

Bab. 28. Masih Kangen

Meski pun Uni kecewa, marah dan tak mau melayani Syakir, dia masih merasa perlu membuatkan Syakir sarapan. Namun, karena belum ada perabot yang bisa Uni pakai, dia pun keluar pagi-pagi sekali, bahkan sebelum Syakir bangun untuk membeli makanan di luar sana.

Cuaca pagi yang masih dingin dan segar membuat Uni memeluk dirinya sendiri. Lalu berjalan menyusuri halaman sebelum akhirnya keluar dari gerbang. Tak jauh dari sana, Uni melihat seorang ibu-ibu menjinjing keranjang.

Menghampirinya, orang yang dilihat Uni itu memang seorang pedagang yang menjual banyak sekali makanan. Mulai dari yang asin, sampai yang manis. Karena ingin menghidangkan sarapannya dengan secangkir kopi, Uni pun membeli beberapa bungkus kue.

Namun, sebelum dia kembali, ponselnya berdering nyaring.

"Wiliam?" tanyanya pada diri sendiri, setelah merogoh ponsel dari saku daster." Ngapain nelepon pagi-pagi begini?"

Mumpung masih di luar, Uni pun mengangkat telepon tersebut. "Halo?" sapanya lebih dulu. "Kamu ngapain nelepon aku pagi buta begini?"

"Dih! Beluk juga ngomong udah diomelin." Lelaki yang baru dikenalnya itu tertawa di seberang telepon.

"Ya, lagian. Ngapain coba?"

"Aku cuman mau mastiin kalau kamu itu masih hidup."

"Ya, Allah. Kata-katamu!" Uni merasa kesal, tetapi juga senang mendengar candaan teman barunya itu.

"Bercanda. Aku cuman mau mastiin kalau kamu baik-baik saja atau nggak. Gitu. Eh, malah diomelin."

"Ya, maaf. Aku, kan cuman nanya."

"Ya, dah. Nggak apa-apa. Kamu lagi ngapain emang? Suamimu pasti belum bangun, 'kan. Halah. Emang dasar resek laki kek begitu," cerocosnya, masih sambil tertawa-tawa. Dan, bahkan sukses membuat Uni tertawa juga.

"Bisa aja," timpalnya.

"Emang iya. Udah mah tukang selingkuh, nggak pernah salat juga. Apaan? Kamu, kok, betah, sih?"

"Hei ... nggak usah ngatain orang. Kamu aja belum tentu bener, loh!"

"Ya, iya. Tapi aku tak sebajingan dia tentunya."

Wiliam kian menertawakan Syakir, karyawan di restorannya sendiri. Sekaligus menertawakan kebodohan Uni yang mau-maunya menerima kelakuan Syakir. Padahal, dia pikir, dia jauh lebih baik daripada suami teman barunya itu.

Berpikir seperti itu, tiba-tiba dia mengernyit. "Kenapa pula aku mikirin dia?" batinnya.

"Dahlah. Aku udah mau sampe kontrakan, nih."

"Eh, tunggu!" sela Wiliam, membuat Uni batal memutuskan panggilan.

"Apa lagi?"

"Emang kamu lagi di mana?"

"Aku di luar, abis beli kue buat sarapan suami tercinta. Puas?" cerocos Uni, sambil menahan tawa.

"Ahaha! Ya, dah. Sana kasih makan dulu kucingmu. Nanti kutelepon lagi, boleh, ya?"

"Terserah!" timpal Uni sebelum menekan tombol merah di layar ponselnya.

Membuka gerbang, Uni langsung melihat Syakir di halaman depan kontrakan. Dia pikir, Syakir pasti mencarinya yang tak ada di rumah. "Sungguh, kata-katamu itu memang benar, Wil. Aku memang bodoh. Tapi, akan jauh lebih bodoh kalau aku meninggalkannya tanpa membalaskan dendam terlebih dulu," batinnya.

"Dek!" teriak Syakir begitu mendapati Uni mendekat. "Astaga! Kamu bikin aku kaget tau nggak? Dari mana, sih?" tanyanya.

"Nih!" Uni mengangkat kantong keresek yang dipegangnya itu setinggi dada. Menunjukkannya pada Syakir. "Aku abis beli kue."

"Hm. Aku pikir kamu pergi." Syakir menyengir. "Ya, sudah. Kalau gitu kita sarapan, yuk!" ajaknya.

Namun, belum sempat Uni menjawab, ia melihat Nur berdiri di ambang pintu. Temannya itu memerhatikan dengan raut wajah kesal sedari tadi. Cemburu, melihat kedekatan pasangan suami-istri di hadapannya itu.

"Nur?" Uni menyunggingkan selengkung berwarna merah mudanya itu. "Baru bangun?"

"Eh, Uni. Iya, ini baru bangun. Kamu dari mana?" Nur melangkah sedikit lebih maju, seraya menahan perasaan kesalnya.

"Abis beli kue. Mau?"

"Um, nggak. Aku jarang sarapan. Malah hampir nggak pernah sarapan jam segini."

Syakir yang muak melihat keakraban istri dan selingkuhannya itu langsung mencolek pinggang Uni. Lantas mengajaknya bergegas dengan alasan lapar.

Uni pun pamit, lalu meninggalkan Nur di kontrakannya seorang diri. Sedikit lebih jauh dari Nur, Uni menepis tangan Syakir yang menggandengnya. Lantas berjalan lebih dulu untuk menyeduh kopi.

"Eh, kan belum ada kompor!" Uni mendengkus. "Halah, bodolah. Biar dia sarapan kue doang aja!" lanjutnya.

***

Tak menemani Syakir sarapan, Uni lebih memilih berbaring-baring di kasur lantai sambil bermain Facebook. Masuk ke salah satu grup kepenulisan, ia pun anteng membaca sebuah cerbung dengan judul Suami Bajingan.

Merasa persis dengan cerita dalam pernikahannya, Uni pun kian semangat sampai membacanya secara maraton. Namun, baru setengah jalan, Syakir yang merasa kesal karena ditinggal seorang diri tanpa kata sudah berdiri di sampingnya. Lalu duduk bersila, menghadap Uni.

Uni tak peduli. Persisnya, pura-pura peduli.

"Dek. Masih marah, ya?" tanyanya, sambil mesem-mesem.

"Masih marah?" batin Uni tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Jelas! Bahkan nggak cuman marah. Aku juga benci kamu, Bang!"

"Jawablah, Dek. Jangan mendiamkanku kayak begini!" Syakir memelas, sambil menangkupkan kedua tangannya di dada. Dia memohon. Berharap, Uni mau memaafkan kesalahannya.

"Aku diam. Aku nggak mau tau. Aku nggak mau dengar." Uni membatin lagi, tanpa menoleh.

"Dek ... please! Jawab aku, sebelum aku berangkat kerja. Atau, setidaknya, beri aku barang seulas senyum."

Uni menoleh, lalu memaksakan bibirnya untuk menyungging. "Udah! Sana pergi! Aku nggak mau liat mukamu lama-lama!"

"Ish!" desisnya, seraya menjawil dagu Uni. Merasa gemas, meski istrinya itu sedang merutuk. "Makasih, Sayang. Aku berangkat dulu, ya. Mmu—"

"Ih! Mau ngapain nyosor gitu?" Uni langsung mendorong bibir Syakir yang tiba-tiba menyosor.

"Mau ngecup, Dek. Masa nggak boleh?" Syakir langsung memelak pinggang, dengan kedua kaki hendak berdiri.

"Nggak ada cium-cium. Sana pergi!" titahnya, sambil membelakangi Syakir. Tanpa rasa bersalah, Syakir justru menepuk tubuh montok bagian belakang Uni sebelum berlari terbirit-birit.

"Astaga!" Uni berdecak. Dulu, ia begitu menyukai candaan seperti ini bersama Syakir. Tapi sekarang, ia merasa benar-benar jijik. "Menyebalkan sekali dia!" rutuknya, seraya kembali fokus pada cerita yang sedang ia baca.

Namun, lagi-lagi Uni terganggu. Bukan Syakir memang. Tapi, yang mengganggunya kali ini adalah chat dari Wiliam. Teman lelaki yang baru dikenalnya itu menanyakan keberangkatan Syakir

"Dia baru aja berangkat. Kenapa? Mau minta jajan?" bakas Uni sambil tertawa-tawa. Setelah mengenal Wiliam, dia memang merasa jauh lebih bersemangat menjalani hidupnya yang kacau-balau karena ulah Syakir.

"Bukan. Tapi, aku mau minta nenen." Emoticon ngakak berjejer setelah pesannya Uni baca.

"Astaga! Ini orang," gumamnya seraya mengetik pesan balasan. "Minta nenen ke cowok? Iwh! Kamu cucok, ya?"

"Dih! Bukannya cucok. Tapi, minta sama kamu juga nggak bakal dikasih. Iya, 'kan?"

"Ahaha! Apa, sih? Malah bahas begituan. Btw, kamu nggak kerja? Santui mulu perasaan."

"Kerja, dong. Mantau doang tapi. BT, tau. Makanya, temenin aku, ya?" pintanya.

"Hm ... bolehlah. Ahaha. Aku juga BT. Di sini, kan, belum ada barang-barang apa pun. Mo masak, gada kompor. Mo nonton TV, gada TV. Hadeuh!"

"Kesian ... kamu belum makan, dong? Aku kirim nasi Padang mau?" tanyanya.

"Um ... mau nggak, ya?"

"Dah, aku pesenkan bentar, ya. Kamu jan ngilang."

Uni menggeleng-geleng sambil tersenyum-senyum. Lalu mengelus perutnya yang sudah mulai buncit itu, karena memang sudah merasa lapar. Tiga bungkus kue yang dia makan tadi benar-benar tak mengganjal perutnya sama sekali.

Ting! Pesan kembali masuk.

"Aku dah pesen. Bentar lagi pasti datang. Kamu makan yang kenyang, ya. Jangan disisa-sisa. Biar sehat juga bayinya. Aku ada urusan bentar. Jadi ... nggak bisa nemenin kamu makan. Bye."

"Aih?" Uni mengernyit begitu selesai membacanya. "Tadi katanya jangan ngilang. Eh, malah dia yang ngilang. Dasar!" Bibirnya seketika mengerucut. "Padahal, aku masih kangen. Halah! Apa, sih? Ahaha."