Mengaktifkan ponsel dan data setelah sedari magrib menonaktifkannya, notifikasi chat dan panggilan langsung memenuhi jendela pemberitahuan. Dari siapa lagi kalau bukan dari Hani, yang bawelnya sudah melebihi Mayang, istri sah Jimi sendiri.
Membacanya satu per satu, jelas kalau Hani marah karena Jimi tak kunjung aktif. Namun, bibirnya hanya menyungging tipis menanggapi kemarahan kekasih gelapnya itu. Bahkan, Jimi seolah tak lagi mengambil pusing, karena ada Ali yang akan dia dukung untuk mendekati Hani.
"P. Bang. Dih! Nggak aktif. Ke mana, sih? Astaga! Kesel!"
Jimi tertawa-tawa begitu membaca pesan dari kekasih gelapnya itu di dalam hati. Belum lagi pesan yang isinya emoticon air mata berderai, juga sticker lempar kapak, ulekan dan kancut. Itu membuatnya kian terpingkal karena lucu habis.
"Sayang, aku ketiduran saking capek dan kantuknya. Ponsel lupa dicas, sampe mati sendiri. Kamu nggak marah, 'kan?" tanyanya, dalam pesan balasan yang seketika itu juga langsung dibaca Hani. Sementara tawanya masih cekikikan, meski sudah ditangkup tangan.
"Nggak kalau emang Abang beneran tidur. Kalau nggak, awas aja!" balas Hani, penuh ancaman.
Ujung-ujungnya pasti santet, pikir Syakir, masih sambil terpingkal. Bahkan, teman satu kosannya yang baru terbangun langsung menggeleng. Dikira, Jimi beneran gila. Karena mengantuk, buru-buru ia pun kembali tidur.
"Bener, dong. Ngapain coba aku bohong? Orang capek banget kok hari ini. Barusan, kalau nggak kebelet pipis, aku nggak bakal bangun, kok." Tentu saja Jimi berbohong. Karena lebih dari setengah jam lalu, dia ada di bawah kuasa gejolak hasrat.
"Ya, bagus. Tapi, sekarang akunya ngantuk." Emoticon cemberut pun memenuhi laman pesan.
"Tidur dong kalau ngantuk. Kamu juga pasti capek, kan, abis jalan-jalan sama si Ali?" tanya Jimi, sengaja memberitahu Hani sebagai strategi pertama untuk menjauhinya.
"Dih! Kok, tau? Gara-gara Abang, nih. Kenapa coba ngasih tau mereka kalau Abang udah nikah. Aku kan jadi harus pura-pura nggak kenal Abang. Makanya, pas Ali ngajak jalan, aku juga nggak bisa nolak!" omel Hani, yang justru balik menyalahkan Jimi.
"Kok, nyalahin Abang, sih? Kalau emang nggak mau, tolak aja!" balas Jimi.
Hani merutuk saat membaca pesan dari kekasih gelapnya itu. Dia nggak nolak ajakan Ali karena memang ingin mengorek informasi tentang Jimi. Meski ujung-ujungnya, tak sekali pun dia bertanya perihal Jimi karena sudah pasti, Ali akan mencurigainya.
"Ya, sudah. Nanti-nanti aku tolak, deh. Nggak seru juga jalan sama dia. Kaku, kek kulkas!" Emoticon cemberut membredel setelahnya.
"Ahaha. Serius kaku? Dia emang nggak pernah pacaran, sih selama kerja bareng denganku."
"Pantes." Kali ini, emoticon ngakak yang bertebaran di bawah pesan balasannya.
"Eh, tapi ... kalau emang jalan sama dia nggak seru, kamu kok nyium bibirnya menghayati banget?"
Jimi kembali mengulang pesan yang dikirimkannya. Berharap, Hani akan gelagapan saat membalas. Sementara itu, Hani yang sedang duduk bersandar di ruang depan kontrakannya pun langsung duduk tegak begitu membaca pesan Jimi. Tau dari mana dia? Tanyanya dalam hati.
"Maksudnya?" Hani langsung pura-pura bego. Barangkali, Jimi hanya memancing.
"Dih! Masa lupa? Atau, emang pura-pura lupa? Orang si Ali cerita sendiri sama aku. Aku cemburu tau!"
"Hah?! Ahaha!" Hani senang, kalau ternyata, Jimi justru cemburu. Bukan marah. Ia pikir, artinya, Jimi sangat mencintainya.
"Iya, 'kan? Ngaku, deh. Tapi ... ya, nggak apa-apa, sih. Asal nggak sekali-kali lagi. Kamu jangan marahin dia juga. Bisa kebongkar nanti hubungan kita kalau kamu tiba-tiba marahin Ali, gara-gara ngasih tau aku."
Padahal bukan karena itu. Melainkan takut, kalau Ali sampai berkata jujur bahwa dia memang tak memberitahunya.
"Dih! Ya, nggak bisa gitu dong. Dia wajib dimarahin karena maen ngasih tau orang aja. Lagian, aku tuh nggak sengaja tadi." Hani membantah. Karena dia memang tak sengaja mencium Ali.
"Nyium kok nggak sengaja? Aneh kamu. Dahlah! Sana tidur! Aku mau tidur juga soalnya." Jimi pun tergesa-gesa saat mengetik dan mengirimkan balasannya itu.
"Ih ... bentar dulu. Aku serius, Bang. Tadi, tuh ... berasa jalan sama kamu. Jadi, aku kelepasan nyium dia," balasnya seraya bangkit dari duduk. Lantas beranjak menuju kamar.
Centang satu, karena Jimi memang langsung mematikan data ponselnya lagi setelah mengirim pesan terakhir. Jimi pikir, tak penting juga berlama-lama chat dengan Hani. Sekarang, ia sudah mempunyai tambatan hati yang baru.
"Astaga! Benar-benar dia! Udah mah dari tadi nggak aktif-aktif, eh ... sekarang nggak aktif lagi. Nyebelin!" Hani merutuk sambil melempar tubuh ke ranjang, lalu menyusupkan wajah ke sela-sela bantal dan guling. Juga ponselnya yang seketika meredup.
Malam sudah sedemikian larut, teman-temannya yang lain pun bahkan sudah terlelap sedari isya. Namun, tiba-tiba suara dengkuran keras keluar dari mulut Gea. Membuat Hani melempar wajah temannya itu dengan bantal karena merasa terganggu.
"Nggak lagi bangun, nggak lagi tidur, berisik!" umpatnya seraya menutupi kepala dengan bantal.
***
Kesal perihal ciumannya semalam, Hani tak membalas satu pesan pun yang dikirim Ali sejak pagi. Bahkan, saat Ali berusaha mengajaknya bicara di restoran, ia sengaja menghindar dan memberi jarak. Dia benar-benar malas berbaik hati pada orang yang tak bisa menjaga rahasia. Membuat Ali berpikir, bahwa Hani merasa malu sendiri karena sudah menciumnya. Padahal, sebagai lelaki yang terlalu lama menjomblo, Ali merasa teramat senang begitu mendapatkan ciuman.
"Kenapa, sih?" cegahnya saat Hani baru saja keluar dari restoran, tak menyerah meski wanita di hadapannya itu menolak setiap kali diajak ngobrol. "Aku ada salah sama kamu?"
"Nggak. Tapi, maaf ... aku bisa ketinggalan teman-teman kalau berhenti di sini!" jawabnya sambil melengos, melewati Ali yang berdiri di hadapannya.
Tanpa menjawabnya lagi, Ali pun menarik tangan Hani dari belakang. Lantas menariknya sampai Nir kembali berbalik, meski Nur meronta, Ali pun mengajaknya ke parkiran untuk diantar pulang. Tak peduli dengan Jimi yang masih mengganti pakaiannya di dalam. Karena dia lebih memilih memperjuangkan perasaannya terhadap Hani.
"Lepasin nggak?!" bentak Hani, tanpa berhenti menarik-narik tangannya dari cengkeraman tangan Ali. Matanya yang belo menatap tajam, dengan seringai galak dari wajahnya itu
"Nggak! Sebelum kamu bicara, apa yang membuatmu menghindariku?" tanya Ali, seraya berbalik menghadap Hani. Langkahnya pun terhenti, tepat di samping motornya. "Secara, aku nggak punya pacar. Jadi, nggak mungkin kalau sampai ada yang melabrakmu gara-gara semalam kita jalan. Atau, kamu udah punya pacar?"
"Dih! Apa, sih?" Mata Hani langsung menyipit, menanggapi omongan Ali yang tak jelas itu. Ia pikir, mau Ali punya pacar pun tak masalah. Ia bahkan tak peduli.
"Kamu yang apa? Buruan naik!" titahnya, tak memedulikan seringai Hani yang galaknya melebihi ibu kontrakan.
"Nggak!" Hani tetap menolak.
"Naik!" titah Ali kembali.
"Ih ... aku bilang nggak ya nggak! Lepas!" serunya, sambil menarik tangan. Cengkeraman Ali berhasil lepas, membuat Hani seketika berlari meninggalkan lelaki tampan berpenampilan necis itu. "Dasar gila! Baru juga jalan sekali, udah berani nyuruh-nyuruh," omelnya dalam hati.
Hani tak peduli meski Ali terus memanggil-manggil namanya dari parkiran. Ia benar-benar malas berurusan dengan lelaki lain, kecuali Jimi.
"Astaga! Keras kepala banget, sih tuh cewek? Nggak jelas pula!" Ali menggeleng seraya naik ke motor. Lalu menyusul Hani, dan melewatinya begitu saja.
Dia pikir, biarkan saja sampai Hani benar-benar merasa tenang, kalau seandainya wanita itu memang sedang ada masalah. Memaksanya juga percuma. Paling-paling, Hani akan mengamuk dan meronta melebihi tadi.
Namun, begitu motornya melesat keluar dari parkiran, Jimi memanggil. Membuat Ali berhenti dan seketika menepuk kening. "Astaga! Sori, Bang. Gue lupa bawa buntut!" teriaknya sambil menoleh.
Sementara itu, Hani sudah masuk ke angkot bersama teman-temannya.
"Astaga! Lu bener-bener pokoknya." Jimi pun berlari, tergesa-gesa menghampiri temannya itu sampai terengah-engah.
"Bener-bener ganteng, yekan?" Ali pun sok kecakepan.