Chereads / Rumit (satu pria dua wanita) / Chapter 23 - Bab. 23. Tampak di Depan Mata

Chapter 23 - Bab. 23. Tampak di Depan Mata

Pulang setelah mengikuti Syakir dan Nur, Ali tak dapat memejamkan matanya. Berulang kali dia coba terpejam, tapi lagi-lagi membuka mata seraya duduk bersila di antara teman-temannya.

"Si Syakir terus ke mana lagi? Harusnya kan dia udah ke sini?" gumamnya⁰ sambil melirik jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. "Masa iya dia keluar lagi? Atau ... ah, iya. Dia pernah memintaku untuk tidak memberitahu siapa pun kalau dia mau keluar. Hm, itu pasti karena dia takut kalau aku memberitahu Nur.

"Dan, itu kenapa Nur marah padaku karena dia pikir alu yang memberitahu Syakir tentang Nur saat tak sengaja menciumku. Padahal, Syakir sendiri yang melihatnya. Astaga!"

Ali menggeleng, tak menyangka sama sekali kalau Nur sudah berhubung dengan Syakir, jauh sebelum kerja di restoran tempatnya bekerja juga.

"Ah, tapi aku harus memastikannya lagi. Jangan sampai, kalau semua ini hanya perkiraanku semata!" batinnya, sebelum kemudian kembali tidur telentang.

Kali ini, matanya sudah semakin mengantuk. Sementara pikirannya tak lagi terlalu memikirkan Nur dan Syakir. Ali terpejam, lalu terlelap sampai mengorok. Lelah setelah bekerja seharian membuatnya tertidur pulas.

Waktu terus berputar, sampai akhirnya tiba pada pukul sebelas malam. Syakir yang baru saja pulang dalam keadaan mabuk berat, langsung tersungkur di kasurnya bersama yang lain. Tak peduli bau alkohol, juga bau keringat bekas bercinta dengan Anita. Yang ingin dilakukannya sekarang adalah beristirahat. Agar besok tubuhnya itu kembali sugar-bugar.

Sementara jauh dari tempatnya tidur, Uni kembali terbangun dari tidurnya. Dia mengerjap hebat seraya duduk, membuat dadanya naik-turun seiring helaan napas memburu.

Setiap lekuk tubuhnya lagi-lagi basah oleh keringat. Uni menyapu wajah sampai ke lehernya yang basah sambil terpejam. Mimpi tentang perselingkuhan Syakir membuatnya benar-benar merasa muak.

"Ini nggak bisa dibiarin!" serunya, seraya memikirkan apa yang pernah dikatakan Syakir beberapa waktu lalu.

Suaminya itu berkata benar, Uni pun memaksakan hati dan juga diri untuk melakukan apa yang dikatakan Syakir. Walau mungkin, itu sudah kadaluwarsa dalam ingatan Syakir, pikirnya.

***

Esok pagi, Uni langsung membenahi pakaiannya ke dalam tas. Lalu berangkat menuju rumah nenek dan kakeknya terlebih dulu, sebelum pergi ke rumah mertuanya menggunakan motor. Karena selain pamit, dia pun ingin menitipkan kuda besinya itu di sana. Awalnya, Hesti dan Danang tak mengizinkan Uni pergi. Tapi, menantunya itu memaksa.

Dia bilang, "Aku pasti baik-baik saja kok di jalan. Dulu kan pernah ikut Abang ke tempat kerjanya, Yah, Bu."

"Udah izin sama nenek dan kakekmu juga?" Hesti memastikannya.

"Sudah, Bu. Sebelum ke sini, aku ke rumah nenek dulu soalnya. Aku juga udah bilang ke Bang Syakir. Dia bakal jemput aku di Kampung Rambutan nanti."

"Oh. Ya, sudah kalau gitu. Kamu biar ayah antar sampai terminal, ya? Nunggu bus di depan sana nggak yakin bakal dapat bus cepet-cepet."

"Uni ikut gimana baiknya aja, Yah," jawabnya yang seketika membuat Hesti mendekat dan memeluk Uni. Sementara Danang langsung pergi ke kamar untuk memakai jaket.

"Kamu hati-hati di jalan, Sayang."

"Pasti, Bu."

"Tapi ... ibu punya satu permintaan buatmu, Sayang." Hesti menarik diri, lalu memegang kedua tangan Uni dalam pangkuannya, sambil menatap tajam ke arah Uni.

"Apa, Bu?" tanya menantunya itu, merasa aneh dengan Yaya Hesti.

"Ibu tau maksudmu ingin menyusul Syakir, Nak. Tapi ibu mohon, apa pun yang kamu ketahui setelah ini, tolong jangan tinggalkan dia," pintanya, yang kemudian membuat air mata Hesti berjatuhan.

Permintaan yang berat. Karena, Uni rasa dirinya bukanlah orang baik yang akan selalu memaafkan setiap kesalahan suaminya sendiri. Apalagi, masalah ini menyangkut kesetiaan. Jelas, dia tak mau berhubungan dengan orang yang mengumbar isi hati, isi dompet, juga isi celananya pada wanita lain.

Uni menunduk, merasa berat untuk menjawab permintaan ibu mertuanya itu. Dia ingin bahagia. Bahkan berhak merasa bahagia. Tapi, kalau Syakir bahagia dengan kelukan buruknya, bagaimana mungkin Uni bisa ikut bahagia?

"Nak?"

"Eh, iya, Bu. Insya Allah. Doakan saja biar Bang Syakir nggak begitu lagi."

***

Sampai di Kampung Rambutan, Uni menghirup bau yang jauh dari kata asri. Bahkan, udaranya saja terasa begitu gersang. Padahal, hari sudah menjelang malam. Membuat tubuh buncitnya itu kepanasan dan berkeringat. Namun, untuk sampai di kontrakan Syakir, Uni masih harus menempuh perjalanan yang cukup panjang.

Melihat ke sekeliling, Uni mencari angkutan umum. Lantas melambaikan tangannya begitu ada satu angkot yang dia tau menuju ke arah di mana Syakir tinggal. Dengan perasaan campur aduk, Uni pun naik dan duduk di sana bersama penumpang lain.

"Aku udah nggak sabar banget," batinnya sambil mengelus perut. "Tapi, semoga saja perjalananku kali ini tak sia-sia."

Uni berusaha berpikir positif meski hati dan pikirannya tetap saja menaruh rasa curiga. Apalagi, begitu dia hampir sampai, yang dilihatnya adalah Syakir. Suaminya itu sedang berjalan ke arah berlawanan.

"Stop di sini aja, Bang!" kata Uni, tanpa mengalihkan tatapannya dari sosok Syakir karena takut kalau sampai kehilangan jejak suaminya itu. "Makasi, Bang!" lanjutnya, seraya menyodorkan uang pas.

Angkutan umum yang ditumpanginya melaju cepat meninggalkan Uni di pinggir jalan. Membuat Uni seketika bergegas mencari kendaraan yang bisa mengantarnya untuk membuntuti Syakir.

Beruntung, tak jauh dari tempatnya berdiri, Uni melihat tukang ojek. Sehingga dia langsung bisa menyusul saat Syakir menaiki angkot.

"Pelan, tapi jangan sampai ketinggalan, Bang!" katanya, begitu antusias. "Mau ke mana dia malam begini? Bukannya dia selalu bilang capek dan langsung mau beristirahat agar aku tak melulu meneleponnya?"

Perasaan Uni seketika tak enak hati. "Oh, astaga! Awas saja kalau sampai dia masih melakukan hal yang tidak-tidak."

Bahkan, suasana indah yang tercipta dari gemerlap lampu tak membuatnya terkesima. Tatapannya tetap pada satu hal, yaitu Syakir. Lelaki yang masih teramat dicintainya meski sudah ketahuan selingkuh.

"Angkotnya berhenti di depan, Mbak." Abang ojek memberitahunya.

"Ya, dah. Abang berhenti dulu. Kita lihat, mau ke mana dia?" Uni menelan ludah begitu melihat di daerah mana Syakir berhenti.

Namun, bukan itu yang mengejutkannya. Melainkan tempat yang dari luar saja sudah ketahuan, adalah bar yang kemudian dimasuki Syakir.

"Astaga!" batinnya, tak percaya. "Apa-apaan ini? Kenapa dia masuk ke sana?"

"Neng?" Abang ojek memanggilnya.

"Oh, iya, Bang. Saya turun di sini aja kalau begitu. Makasih, ya," katanya seraya menyodorkan selembar uang.

"Sama-sama," timpal lelaki yang tak terlalu muda dan tak terlalu tua itu setelah menerima uang dari Uni. Lantas melesat meninggalkan penumpangnya di sana, di tengah-tengah keramaian lalu-lalang orang di trotoar. Juga kendaraan di jalan.

Uni pun melengos, mengejar Syakir dengan langkah cepat. Namun, begitu sampai di pintu masuk, dia dihadang dua orang satpam yang menjaga setiap keamanan di dalam dan di luar bar.

"Tapi, saya harus masuk! Saya harus memergoki suami saya yang baru saja masuk je dalam!" bentaknya, saat dua satpam di hadapannya tak mengizinkan Uni masuk dengan alasan sedang hamil.

"Bapak nggak kasihan sama saya? Lihat! Saya sedang buncit begini? Tapi suami saya malah enak-enak di dalam!" lanjutnya sambil menangis. Berharap, dua satpam tersebut mau berbaik hati.

Dan, ternyata usaha Uni berhasil.

"Tapi ada syaratnya!"

"Apa?" Uni buru-buru menyapu air matanya.

"Apa pun yang sedang dilakukan suami nyonya di dalam, mohon untuk tidak menyerang pelayan di bar ini. Mereka hanya sebagai pekerja yang tugasnya memang melayani pelanggan."

"Astaga!" Uni membatin. Belum apa-apa, pikirannya sudah ke mana-mana. Dia benar-benar membayangkan Syakir tengah melakukan sesuatu yang enak-enak di dalam. "Ok!" lanjutnya, setelah berpikir cukup lama. "Saya janji. Dan anak dalam kandungan saya ini saksinya."

"Baiklah. Kalau gitu, silakan masuk. Tapi, harap hati-hati karena di dalam tak begitu terang."

Uni mengangguk, sebelum akhirnya masuk dan mencari sosok Syakir dalam ruangan remang-remang. Dia tak langsung menemukannya. Akan tetapi, setelah beberapa menit, barulah suaminya itu tampak dalam jarak yang sangat dekat.

Hanya saja, Uni yakin kalau suaminya itu tak melihatnya dalam remang.

"Bang Syakir?!"

Seperti ada hantaman keras mengenai sekujur tubuh, Uni langsung merasa sakit dan lemas. Bahkan, dia merasa tubuhnya itu sudah sedemikian remuk begitu melihat seorang wanita duduk di pangkuan Syakir.

Dia menggeleng tak percaya sambil menangkup mulut. Tak percaya, tapi apa yang dilihatnya itu adalah nyata. Lelaki yang bersama pelayan itu adalah Syakir. Suami yang juga ayah dari anak dalam kandungannya.

Ingat akan syarat dari Pak Satpam, Uni urung menyerang wanita yang dengan lihainya menggoyang tubuh sampai Syakir merasakan kenikmatan. Kenikmatan yang biasa dirasakan olehnya, kini sedang dirasakan oleh wanita lain.

Uni berbalik dengan air mata membuncah, lantas berlari sambil memeluk tas secepat yang dia mampu sampai keluar dari bar. Namun, karena pandangannya buram oleh genangan air mata, ia tak sadar akan datangnya sebuah mobil dari arah lain.

Orang-orang yang ada di sekitarnya berteriak, karena waktu benar-benar berjalan dengan singkat saat Uni hendak menyeberang. Untungnya, si pengendara mobil langsung menarik rem kuat-kuat sampai mobilnya itu berhenti, tepat mengenai kaki Uni perlahan.

Namun, karena terkejut, Uni pun jatuh pingsan.

"Astaga!" seru seorang lelaki yang ada di dalam mobil seraya turun. "Allahu akbar!" lanjutnya begitu mendapati Uni jatuh di jalan aspal.

Tak ingin dihakimi warga, lelaki tersebut langsung meminta bantuan satpam yang datang untuk memasukkan Uni ke dalam mobil. Dia akan membawanya ke rumah sakit, atau ... paling tidak ke rumahnya.