Seraya menginjak pedal gas, sesekali lelaki yang baru saja menabrak seorang wanita itu menoleh ke sebelah kiri. Dilihatnya sekilas, wanita bergaun warna kuning selutut itu masih tak sadarkan diri. Dia menelan ludah dengan susah payah sebelum akhirnya memutuskan untuk menelepon temannya.
"Halo, Klara!" Napasnya tersengal dan memburu seraya fokus ke arah depan. Belum sempat wanita yang diteleponnya itu menjawab, dia kembali bicara. "Ke rumahku sekarang juga! Bawa peralatan medismu sekalian. Jangan sampai ada yang tertinggal."
"Eh, ada apa? Suaramu kek lagi panik gitu?"
"Nanti aku jelaskan. Aku lagi di jalan bawa orang hamil pingsan."
Panggilan langsung terputus, setelah ia menekan tombol hijau di layar pintarnya itu sebelum Klara sempat menjawab lagi. Ia tak peduli. Yang dipikirkannya sekarang adalah bagaimana agar wanita di sampingnya itu siuman.
"Astaga! Bisa gawat kalau sampai dia meninggal," rutuknya, seraya memukul setir.
Beruntung, jarak dari tempat kejadian menuju rumah hanya membutuhkan waktu sekitar empat puluh menit. Bahkan bisa saja berkurang, kalau laju kendaraannya secepat laju mobil yang dibawa olehnya sekarang ini. Setengah jam saja, dia pasti sampai di rumah.
Dan itu memang benar, dia akhirnya sampai di depan rumah setelah menempuh setengah jam yang menegangkan. Untungnya lagi, Klara sudah lebih dulu sampai di sana dengan motor matic-nya.
"Klara, bantu aku cepat. Tolong buka pintunya!" Lelaki yang memakai pakaian setelan hitam itu membopong tubuh Uni sampai bersihadap dengan Klara. "Kuncinya di saku jasku."
"Ok, ok!" Klara pun merogoh saku jas lelaki di hadapannya itu dengan perasaan sama panik.
"Cepat Klara!" serunya, saat Klara baru saja akan memasukkan kunci ke lubang pintu.
"Astaga, sabar! Jangan bikin aku ikut panik dong."
"Sorry. Tapi, gue emang panik serius."
Klik. Pintu pun langsung didorong Klara sampai terbuka sepenuhnya. "Lagian, yang kamu bawa itu siapa? Kenapa? Dan—"
"Jangan banyak bertanya. Sebaiknya kamu tangani dulu saja dia!" timpalnya seraya membaringkan tubuh Uni di kursi ruang tamu.
"Astaga! Jangan di sini. Bawa dia ke kamar cepat."
"Ya, elah. Berat, Ra!"
"Ish! Buruan! Di sini susah."
"Ok!" Dia pun kembali membopong tubuh Uni, sampai akhirnya tiba di kamar tamu. Lantas membaringkannya di ranjang perlahan-lahan. "Periksa dia Klara! Selamatkan dia!" lanjutnya sambil menghela napas panjang. Lalu berjalan mundur dan menjatuhkan diri di kursi sambil meremas rambut.
Klara, temannya yang berprofesi sebagai dokter itu langsung memeriksa keadaan Uni. Mulai dari detak jantung, nadi, dan juga perut. Tak mendapati luka apa pun, Klara mengernyit heran.
"Kenapa dia pingsan?"
"Aku menabraknya!"
"Dia nggak ada luka sedikit pun, kecuali bengkak di bagian mata." Klara menimpalinya, seraya memasang infus karena tubuh Uni memang memerlukan cairan itu.
"Memang. Karena dia hanya hampir tertabrak."
"Astaga! Berarti, dia pingsan karena terkejut?"
"Bisa jadi!"
"Ok. Tenanglah. Dia pasti kembali sadar, kok." Klara pun selesai memeriksa wanita yang dibawa temannya itu. "Tapi, bisa tolong ambilkan air ke dalam baskom?"
"Sebentar!"
"Sekalian handuk kecil!" tambah Klara saat temannya itu mencapai pintu.
"Ok!"
Klara menggeleng, setelah untuk pertama kali melihat temannya itu bersikap panik. Tak seperti biasanya yang selalu dingin menyikapi apa pun. Bahkan, dia hanya peduli dirinya sendiri, setelah mencapai kesuksesan sebagai pemilik dari beberapa restoran di tiap-tiap kota.
Mungkin karena wanita yang dibawanya ini sedang hamil, pikir Klara mengingat ibu temannya itu meninggal dalam keadaan hamil beberapa tahun yang lalu.
"Kasihan sekali sebenarnya," batin Klara, begitu tak sengaja mengingat kisah hidup temannya yang menyedihkan. Bahwa dia, lahir dari keluarga yang jauh dari kata harmonis.
Namanya Wiliam, seorang anak yang kerap menonton sebuah adegan kasar yang dilakukan ayahnya terhadap ibunya sendiri. Bahkan, begitu dewasa, dia harus menyaksikan perselingkuhan ayahnya yang juga membuat ibunya seketika terkena serangan jantung, sampai meninggal dalam keadaan hamil.
"Ada lagi?" tanya Wiliam begitu kembali dari dapur.
"Oh, nggak." Klara mengerjap, setelah beberapa detik tenggelam ke dalam sebuah ingatan tentang temannya itu di masa lalu. "Sini, biar kukompres dia. Suhu tubuhnya sedikit tinggi soalnya."
"Tapi, kamu yakin kalau dia baik-baik aja?"
"Insya Allah. Berdoa saja, Wil."
***
Lebih dari setengah jam lamanya, wanita yang dia bawa masih tak sadarkan diri. Dia tergolek lemah di ranjang, di bawah sinar lampu, dengan raut wajah terlihat begitu lelah. Dilihatnya semakin dalam, wanita yang ditatapnya itu begitu cantik dan manis meski tanpa riasan.
Masih menatapnya, Wiliam pun tiba-tiba tergerak untuk menyentuh wajah gadis di hadapannya. Terutama di bagian hidung dan bibir. Sebagai seorang pejantan, lebih lagi hidup di dalam dunia liar, ada gejolak yang kemudian tubuh di hatinya.
Namun, semakin lama menatap wanita di hadapannya itu, tiba-tiba dia merasa tak enak hati. Bahkan merasa bersalah, karena sudah menelanjangi meski dalam pikirannya sendiri.
"Sadarlah," gumamnya yang kemudian menarik tangan. Lantas menakutkannya sambil menumpukan dagu di atas kepalan tangan. "Jangan membuatku kian merasa bersalah."
Hening.
Suasana malam, apalagi tak adanya orang lain di rumah itu, membuat suasana kian mencekam. Hanya berulang kali terdengar suara jarum jam, di tengah-tengah kesunyian. Wiliam melihat jam di dinding. Waktu pun sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Klara pasti sudah sampai di rumah sejak lama, pikirnya. Dia pun sudah pasti sedang beristirahat sekarang. Wiliam yang tadinya mau menelepon Klara pun urung karena takut mengganggu.
Mengingat dirinya yang juga membutuhkan istirahat, dia pun beranjak bangun dari duduk di kursi. Lalu berjalan gontai menuju kamar utama yang lumayan jauh dari kamar tamu. Karena khawatir, dia justru kembali ke kamar tamu sebelum sampai di kamarnya sendiri.
"Sebaiknya aku memang tidur di sini," batinnya seraya menutup pintu. Lalu berjalan menuju kursi untuk merebahkan tubuh lelahnya itu di sana.
"Argh ... leganya!" seru Wiliam begitu tubuhnya merebah dengan nyaman di kursi. Namun, baru saja matanya itu terpejam, Uni siuman.
Mengedarkan pandangan, mata Uni menyipit karena tak tahu di mana dia sekarang. Lantas berusaha bangun dari tidurnya perlahan-lahan sambil memegangi kepala dengan sebelah tangan. Karena pusing dan berat, Uni urung melanjutkan usahanya.
"Di mana aku? Ke-kenapa bisa ada di tempat seperti ini?" gumamnya parau. "B-bukannya tadi aku di jalan? Ah, apa aku ketabrak? Tapi perasaan nggak, deh."
Mendengar suara orang bicara, Wiliam yang belum sepenuhnya tertidur pun kembali duduk seraya melihat ke arah ranjang. "Aih, kapan sadarnya dia?" batinnya yang kemudian berdiri.
"Syukurlah. Akhirnya kamu sadar," ujar Wiliam yang seketika membuat Uni terkejut, bahkan sampai mengerjap bangun.
"Kamu siapa?" Uni balik bertanya, seraya menelaah dirinya. Barangkali, dia telah diculik dan diperkosa seperti dalam film-film yang selalu ia tonton. Untungnya, baju yang ia pakai masih utuh dan melekat di tubuhnya.
"Nggak usah takut. Aku nggak ngapa-ngapain kamu, kok." Wiliam melangkah maju, mendekati ranjang. Membuat Uni seketika beringsut mundur. "Aku Wiliam. Aku yang hampir menabrakmu di jalan. Maaf karena aku nggak membawamu ke rumah sakit."
"Kenapa?"
"Karena aku ada dokter keluarga."
"Oh," timpal Uni yang kemudian sadar, kalau di tangannya itu memang ada jarum infusan. "Makasih. Tapi, sebaiknya aku pergi."
"Pergi?" tanya Wiliam yang seketika menghentikan gerakan Uni.
"Iya. Aku ada urusan."
"Urusan?"
"Iya. Kenapa kepo, sih?" Uni mengerucutkan bibirnya kesal, sambil beringsut ke tepi ranjang.
"Bukan begitu. Tapi ini udah malam banget. Jangankan angkot, ojek aja nggak bakal ada kayaknya. Kamu mau jalan kaki?"
"Hah?"