Chereads / Rumit (satu pria dua wanita) / Chapter 21 - Bab. 21. Prasangka Buruk

Chapter 21 - Bab. 21. Prasangka Buruk

"Ada apa, sih?" tanya Gea, saat Hani masuk dan duduk di angkot bersamanya. Sebagai yang paling bawel di antara mereka, teman-temannya pun menganggap Gea sebagai ratunya kepo.

"Auk, tuh si Ali. Ngebet banget nyuruh aku naik ke motornya. Orang nggak mau juga!" Hani pun merutuk sambil menumpukan tas selendang merah mudanya di lutut. Lalu, menumpukan tangannya juga di sana.

"Loh, kenapa nggak mau? Semalam aja kalian jalan, 'kan?" Kali ini Mika yang menanyainya, dengan raut wajah keheranan tentu saja. Ia tak kalah kepo dengan Gea. Pasalnya, baru pertama kali mereka melihat Ali terpesona oleh teman satu pekerjaan mereka.

"Ya,nggak apa-apa. Semalam aku mau karena nggak enak nolak. Tapi, ya bukan berarti aku harus mau terus dong?" Tatapan Hani kemudian seolah mencari dukungan dari Gea, Mika dan Ema tentang pendapatnya itu. Sekaligus meyakinkan, kalau pendapatnya itu memang nggak bisa diganggu gugat. Ia bukan tipe wanita yang suka dipaksa-paksa juga.

"Iya, sih." Ema mengangguk, menanggapinya. "Tapi, kenapa ada aksi tarik-menarik? Meski pun dah kelamaan menjomblo, nggak mungkin juga Ali sampe kek begitu. Dia itu biasa santui, kalem, cuek, jutek, dan banyak lagi deh. Komplit!"

"Ada masalah dikit, sih. Tapi ya bukan sesuatu yang penting buat dibahas juga!" Hani berdecak, menyadari dirinya yang sudah keceplosan bicara, dan mungkin akan membuat semuanya kian kepo tentang masalah yang dikatakannya barusan.

Beruntung, tiga temannya itu tak lagi menanyakan apa pun. Mereka hanya mengangguk, seiring dengan bibir mengerucut. Lalu kembali sibuk dengan ponselnya masing-masing sambil menunggu angkot berhenti, di tempat tujuan.

Hani pun bernapas lega sambil bersandar. Lalu, kepalanya beralih menghadap kaca jendela untuk melihat lalu-lalang kendaraan lain di luar. Sejurus kemudian, yang dia lihat di sana adalah Ali dan Jimi, dengan motornya yang melaju cepat melewati angkot.

Buru-buru, Hani memalingkan wajah dan kembali menatap lurus ke depan dengan bibir mengerucut. Berusaha cuek, meskipun sebenarnya kesal pada Ali dan jimi. Dua lelaki yang baru saja dilihatnya itu begitu menyebalkan baginya, untuk sekarang ini.

"Kalau bukan karena takut ketahuan sama Mayang, ingin rasanya aku berkata jujur pada semua orang, bahwa aku ini adalah kekasih Jimi!" Akhirnya Hani merutuk dalam hati sambil melilit-lilit ujung baju yang dipakainya dengan kedua tangan. Sementara bibirnya berulang kali jengkel berkali-kali.

"Tapi, liat aja kalau dia sampai berbuat macam-macam lagi!" rutuknya lagi, kali ini sambil mendengkus jengkel. "Bukan hanya kubongkar pada mereka. Pada Mayang juga!"

Gea yang melihat tingkah laku aneh dari temannya itu pun langsung mencolek Ema sambil berbisik dan tertawa-tawa tanpa suara, kalau Hani sudah seperti orang gila. "Astaga!" desisnya, "aku nggak yakin kalau dia sehat!"

"St!" Ema menyikut pinggang Gea untuk membuatnya berhenti bicara. "Jangan sembarangan ngomong kamu!" lanjutnya pelan. Sangat pelan.

"Ya, lagian ngapain coba mulutnya komat-kamit begitu?" Gea terap bersikap usil dan kepo. Padahal, dirinya pun tidak mencerminkan seseorang yang sehat. Sebab, gaya makannya yang persis orang kesetanan.

"Dia lagi kesal sama Ali, 'kan? Wajar kalau menggerutu. Orang otaknya lagi ngeheng gitu," tambah Ema, yang seketika langsung disikut Mika.

"Kamu ini. Sama aja kalau begitu!" Mika berbisik tepat di telinga Ema sambil menggeleng. "Usil banget, sih kalian? Udah bilang Hani nggak sehat, bilang otaknya ngeheng pula. Nggak sekalian bilang dia stres juga? Ahaha!"

Mika langsung menangkup mulut, tetapi Hani yang duduk di kursi belakang dengan posisi sejajar dengannya itu terlanjur mendengar tawa dari mulutnya. "Kenapa?" tanyanya, heran.

"E-enggak apa-apa, Han. Tadi liat orang di pinggir jalan bikin ngukuk," jawabnya, penuh kebohongan.

"Astaga!" rutuknya dalam hati, seraya menarik wajah dan kembali melihat lurus ke luar mobil. "Mereka semua sama menyebalkannya dengan Ali dan Jimi!"

***

Senja hampir habis setelah suara azan berhenti terdengar dari pendengaran, berganti malam diiringi semilir angin yang seketika menyelimuti setiap orang, termasuk Mayang yang baru saja berdiri dari duduk santai di teras depan. Istri dari lelaki bernama Jimi itu memeluk diri, seraya menggosok-gosok tubuhnya dengan kedua telapak tangan sambil berjalan masuk ke rumah.

Dalam benaknya, terpikir tentang Jimi tanpa jeda. Setiap hari, setiap waktu, bahkan di setiap detik. Hani yang berada di sisi Jimi untuk mengontrol setiap suaminya pun tak membuat Mayang merasa tenang. Tetap saja, perasaannya gundah di setiap hari maupun malam.

Apakah lelakinya itu tak lagi bermain gila? Apakah ayah dari calon anaknya itu tak lagi mengkhianatinya? Apakah suami yang masih saja dicintainya itu benar-benar menepati janji, untuk tidak selingkuh lagi?

Mayang berdecak jengkel dengan pikiran-pikiran busuknya tentang Jimi, karena itu benar-benar mengganggu bermacam hal dalam dirinya. Susah tidur, nggak enak makan, dan lain hal. Sebalnya, pikiran busuk itu tak lekas pergi, meski ia sudah memastikan keberadaan jimi dengan meneleponnya sebelum azan magrib berkumandang.

"Ya, Rabb ...," desahnya, seraya menarik dan membuang napas panjang. Perutnya belum sebuncit wanita hamil pada umumnya. Akan tetapi, kehamilannya sering kali membuat ia kerap merasa begitu sesak.

Berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudu, Mayang berdoa agar Tuhan mau memberinya ketenangan, meski hanya selama melakukan salat. Sebab, dalam salatnya sekali pun, pikiran-pikiran busuk tentang Jimi kerap mengelebat, dan seketika membuatnya tersedu-sedan sampai selesai salat.

Sementara itu, jauh dari tempatnya berdiri, Jimi justru sedang menikmati secangkir kopi di teras depan kontrakan, setelah membersihkan diri. Masih belum tergerak, tak sedikit pun hatinya itu terenyuh untuk melakukan salat seperti teman-temannya yang lain.

Diisapnya sebatang rokok yang terselip di antara kedua jari sambil terpejam, lalu menghembuskan asapnya perlahan-lahan dengan bibir membulat. Seketika, asap yang keluar dari mulutnya pun serupa bulatan-bulatan kecil di udara. Melayang, menjauh, sebelum akhirnya menghilang tanpa bekas.

Ingat akan kejadian semalam saat bersama Anita di sebuah bar, bibirnya menyungging tipis. Merasa lucu sendiri, karena dia tak memiliki uang untuk membayar wanita yang jelas-jelas mau bermain seks karena uang.

Untungnya, Anita tak mempermasalahkan itu saat di bar. Membuat Jimi akhirnya percaya diri, kalau wanita itu sama tergoda oleh pesonanya, seperti kebanyakan wanita yang selama ini rela bermain di atas ranjang. Apalagi setelah mendapati pesan dari Anita sedari pagi, percaya diri atas pesonanya kian menggunung.

Bahkan, apa yang dirasakannya sekarang membuat Jimi tak peduli dengan keberadaan Hani di sana. Karena Hani yang tak bisa mengakui hubungannya di depan semua orang membuat Jimi bebas dari ancaman.

Meski, tetap saja Jimi harus waspada dari mata dan telinga Hani yang sudah pasti menjadi kaki-tangan Mayang di kampung. Dia tak boleh lengah, apalagi ketahuan jika sedang keluar bersama Anita.

Seperti sekarang ini, setelah Anita kembali meminta Jimi datang ke bar, ia benar-benar memikirkan alasan untuk terbebas dari serentetan pertanyaan, seandainya ia tak mengangkat satu panggilan saja dari Hani.

Dilihatnya jam di ponsel, waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih dua puluh lima menit. Masih ada banyak waktu untuk mencapai pukul sembilan malam nanti. Oleh karenanya, ia pun memutuskan untuk mengajak Hani keluar barang sebentar hanya untuk menghirup udara segar di malam hari.

Buru-buru Jimi pun bangkit seraya menelepon Hani. Begitu di angkat, ia langsung mengatakan inti dari niatnya menelepon, bahwa dia akan menunggu Hani di perempatan jalan untuk berjalan-jalan sebentar.

Hani yang sedari pagi merasa kesal langsung bersiap-siap. Lantas beranjak pergi, setelah memberitahu teman-temannya kalau dia akan keluar barang sebentar. Dia pikir, lelakinya itu masih Jimi yang dulu. Jimi yang selalu bisa membuatnya kembali tersenyum.

Sebenarnya Gea curiga, tetapi lelah yang merajai tubuhnya membuat ia malas untuk merecoki Hani, ke mana dan dengan siapa temannya itu pergi. Dia pikir, paling-paling bersama Ali lagi.

"Aku pergi dulu. Bye!" pamitnya, tergesa-gesa. Membuat Hani tak mendengar jawaban dari teman-temannya sama sekali. Dia tak peduli itu, karena yang ada dalam benaknya sekarang ini hanya bertemu Jimi.

Seandainya bisa, dia pun ingin memuaskan lelakinya itu kembali.