Keluar dari lingkungan kontrakan, Nur mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Malam sudah semakin pekat, tapi cahaya yang dipendarkan lampu di sepanjang jalan membuatnya merasa aman dari gulita.
Lalu-lalang kendaraan, juga banyaknya orang meski tak satu orang pun yang dikenali Nur, mereka membuatnya berani berjalan jauh dari kontrakan. Seorang diri, sampai akhirnya mendapati Syakir di perempatan jalan.
Betapa senang dirinya, karena lelaki yang akhir-akhir ini sering membuatnya merasa takut dan sekaligus geram, benar-benar ada di hadapan. Menunggu, dengan raut wajah tak sabaran.
Tak seperti saat di restoran, bertemu tanpa sengaja saja membuat Syakir langsung menghindar, dengan alasan takut ketahuan. Terlebih lagi, Syakir tahu kalau Ali menyukai Nur.
Mendapati Syakir melihat ke arahnya, Nur langsung mengangkat tangan. Lantas melambai sambil berlari-lari di pinggir jalan. Syakir menyambutnya dengan raut wajah bahagia yang dipaksakan. Lantas memeluk Nur, begitu kekasihnya itu menghambur.
"Aku kangen, Bang. Astaga! Lega rasanya, karena bisa memelukmu sebebas ini." Nur terisak pelan, meski bibirnya itu tersenyum senang.
"Aku pun. Itu kenapa, aku mengajakmu jalan. Tapi, maaf kalau nggak bisa lama. Aku butuh banyak waktu untuk beristirahat soalnya." Sambil mendorong tubuh wanitanya itu, Syakir pun mencium kening Nur.
"Nggak apa-apa. Usah bisa ketemu sama kamu gini aja aku udah seneng." Nur kembali memeluk Syakir. Dan dengan tanpa merasa ragu ataupun malu, dia langsung mencium bibir Syakir barang sekejap.
"Ih, udah berani nakal di luar ya sekarang?" Syakir menggoda.
"Karena nggak bakal ada yang kenal kita di sini." Nur menyunggingkan bibirnya lebar, sambil meraih jemari Syakir. "Jadi, mau ke mana kita?"
"Makan. Aku lapar soalnya." Syakir pun mulai melangkah yang langsung diikuti Nur. Berjalan santai di sepanjang trotoar.
"Sama. Tapi, makan apa ya yang enak?" Pandangan Nur mengedar, melihat-lihat ke sekeliling.
"Nasi goreng? Ketoprak? Soto? Atau ... pecel lele?"
"Hm ... soto aja gimana? Keknya enak tuh, dingin-dingin begini makan soto Lamongan yang hangatnya kek pelukan kamu."
Syakir tertawa begitu mendengar gombalan Nur seraya mengiyakan pilihannya itu. Dia pun ikut merasa senang, meski hati dan pikirannya tetap menginginkan perpisahan. Berhubungan dengan Nur, benar-benar tanpa kepastian. Karena Nur memang tak pernah menuntutnya.
Namun, meski begitu, tak menutup kemungkinan kalau hubungannya itu tak kan tercium oleh Uni. Karenanya, sebelum ketahuan, Syakir ingin membuat Nur lepas dari kecanduan dan kecintaannya terhadap dirinya.
"Btw, si Ali gada gangguin kamu lagi?"
Seraya mengangkat sebelah tangan, meminta waktu untuk menyeberang di tengah-tengah lalu-lalang kendaraan, Syakir menanyakan perihal Ali. Karena temannya itu selalu saja membicarakan kecantikan Nur.
"Ada, sih. Malahan, sebelum kamu, Ali meneleponku duluan. Untungnya, pas dia ngajak jalan, aku tolak. Kalau nggak, kan bisa bentrok."
Ali mengernyit. "Mengajaknya jalan? Tau gitu, nggak bakal aku ngajak Nir ke luar," batinnya.
"Dia mau ngajak jalan ke mana emang?" tanyanya.
"Katanya, sih ... nonton bioskop. Tapi akunya lagi malas."
"Loh, kalau malas kenapa mau keluar sama aku?" Syakir menyikut pundak kekasihnya itu, menggoda.
"Kalau sama kamu, ya, Beda. Lagi sakit aja, sering aku bela-belain, 'kan? Apalagi kalau cuman pura-pura malas?" Nur balas menyikut.
"Asek. Pacar sapa, sih ini?"
"Dih! Ahaha. Dahlah. Kang jual sotonya udah kelihatan, tuh."
***
Usai mengajak Nur makan malam, Syakir kembali mengantarkannya sampai ke depan gerbang. Dan, begitu Nur sudah benar-benar masuk ke dalam, Syakir kemnali berbalik arah untuk segera menemui Anita di bar.
Namun, tanpa disadari keduanya, Ali membuntuti mereka sejak sedari Nur berangkat sampai kembali pulang. Sebenarnya, Ali sudah menduga kalau temannya itu akan mengincar Nur juga. Akan tetapi, kali ini ia berpikir lain.
"Dari gaya dan sikap keduanya, nggak mungkin kalau mereka baru kenal. Hm, apa mungkin kalau mereka itu memang ada hubungan sejak lama?" Ali mengusap-usap dagunya dengan telunjuk, berpikir, apakah yang dipikirkannya itu benar atau salah.
Hanya saja, sebelum mendapatkan banyak bukti, Ali tak kan memergoki mereka.
Sementara itu, Syakir yang sudah ditunggu Anita sedari tadi langsung menaiki angkutan umum. Dalam hitungan menit dia pun sampai di depan bar. Buru-buru dia pun masuk, lalu memesan sebotol minuman untuk dinikmatinya bersama Anita.
"Lama banget, sih, Bang? Udah aku tungguin dari tadi juga." Anita yang baru saja duduk sambil meletakkan minuman Syakir pun mengomel. Lantas bergelendot di dada Syakir yang masih terengah-engah karena capek. "Deg-degan gini dadanya. Pasti karena ketemu aku, 'kan?"
Dengan PD-nya Anita memuji diri, lalu menyapu selengkung merah kehitaman yang dimiliki Syakir menggunakan telunjuknya. Membuat Syakir seketika terpejam, terbuai oleh sentuhan lembut dari jarinya.
"Sayangnya, pertemuan kita kali ini pasti sebentar." Anita kembali menyusupkan wajahnya di dada Syakir. Namun, kali ini tangannya turun perlahan sampai tiba di pangkuan Syakir.
Syakir ingat, dia memang tak mungkin pulang lebih dari pukul sebelas. Sementara sekarang sudah mencapai pukul sembilan lebih. Itu artinya, dia hanya punya waktu satu jam untuk memuaskan Anita, seperti keinginan wanita itu sendiri kemarin malam.
Tak ingin membuang waktu, Syakir pun langsung melakukan aksinya setelah meminum minumannya terlebih dulu.
***
Seperti sebuah firasat, hati seorang wanita akan selalu peka terhadap sesuatu yang menyangkut anak dan suaminya. Pun dengan Uni, yang sejak keberangkatan Nur je6 Jakarta justru kian tak keruan.
Setiap malam Uni selalu merasa resah, tak nyenyak tidur karena selalu saja terbangun oleh mimpi-mimpi aneh dalam tidurnya. Kadang melihat Syakir berlalu. Kadang melihat Nur tertawa puas. Bahkan, tak jarang Uni melihat Syakir dan Nur menertawakannya.
Seperti malam ini, saat lagi-lagi Uni bermimpi buruk. Setiap lekuk dari tubuhnya basah oleh keringat. Sementara jantungnya berdegup hebat. Sambil menghela napas panjang, Uni menyapu wajah. Lantas beringsut turun dari ranjang, untuk mengambil segelas air dari dapur.
Tenggorokannya itu terasa kering. Ia butuh sesuatu yang dingin untuk membasahinya.
"Kenapa perasaanku semakin parah begini, ya? Bukankah seharusnya, aku merasa tenang karena ada Nur di sekitar Syakir?" batinnya begitu sampai di dapur. "Ah, mungkin aku hanya trauma atas kejadian tempo hari. Bang Syakir kan udah minta maaf. Masa dia mau begitu lagi? Nggak mungkin, deh. Dia, kan sudah bersumpah demi anaknya sendiri."
Buru-buru Uni menenggak air yang baru saja dituangkannya ke dalam gelas, lalu kembali ke dalam kamar untuk melanjutkan tidurnya yang terjeda. Tak lupa, dia pun meyakinkan dirinya terlebih dulu sebelum tidur. Bahwa Syakir tak mungkin berbuat yang aneh-aneh lagi.
Padahal, jauh dari tempatnya tidur, Syakir tengah memuaskan seorang perempuan demi kepuasannya sendiri. Bahkan, suaminya itu lupa akan setiap janji yang sudah diucapkannya.
Lanjut? Kuy, komen dan subscribnya.