Bab. 18. Sesuatu yang Tersembunyi
Masuk ke bar, hal pertama yang dilihat Jimi adalah banyaknya orang di dalam sana. Pria dan wanita ada di satu ruangan gelap, dengan hanya menggunakan lampu kerlip sebagai penerangnya. Ada yang duduk-duduk sambil menikmati alkohol sambil merokok. Ada pula yang menari-nari tak jelas karena mabuk di tengah-tengah ruangan, yang sengaja dikosongkan dari kursi dan meja.
Jimi melangkah maju sambil mengirim pesan pada Anita. Memberitahu gadisnya itu, bahwa dia sudah masuk dan ada di antara orang-orang yang tak dikenalnya sama sekali. Anita langsung membalas, dan menyuruh Jimi untuk terus masuk dan duduk di salah satu kursi.
Menuruti apa yang dikatakan Anita, Jimi pun mencari tempat kosong dengan meraba-raba. Karena selain minim cahaya, dia pun tak mengetahui seluk-beluk ruangan di bar yang baru diinjaknya selama bekerja di Jakarta.
Lain halnya dengan hotel-hotel murah yang tak begitu jauh dari lokasi kontrakannya, Jimi tau beberapa di antaranya karena sering membawa kekasih gelapnya itu ke sana untuk melepas hasrat.
Menyebutkan kursi dengan nomor tiga puluh di mejanya dalam pesan, Anita pun datang menghampirinya dalam dua menit. Gadis berhidung bangir dan beralis tebal itu membawa dua minuman yang di atasnya dipenuhi buih sambil menyunggingkan senyuman hangat.
Namun, bukan itu yang membuat Jimi menganga sambil melongo. Melainkan pakaian Anita yang hanya menutupi bagian dada dan mahkotanya saja. Dia terlihat begitu seksi. Bahkan jauh lebih seksi jika dibanding dengan penampilannya sewaktu bertemu di mall.
Jimi menelan ludah. Tergoda untuk melumat habis setiap apa yang dia lihat. Namun, tentu saja, semuanya butuh proses untuk sampai ke tahap itu. Membuat Jimi akhirnya menarik diri dari lamunan, lalu menyambut kedatangan Anita untuk duduk di sampingnya.
"Nggak susah, kan, nyari barnya?"
Anita duduk, sekaligus menyimpan minuman yang dia bawa di meja. Lalu, dengan sengaja duduk menghadap Jimi sambil membusungkan dadanya yang montok. Sebelah dari tangannya bertumpu pada sandaran kursi sambil menopang kepala. Sementara sebelah tangan yang lain memegang tangan Syakir.
"Nggaklah. Bar ini kan udah terkenal. Aku nanya orang-orang di jalan juga pada tau." Jimi berbalik badan, menghadap Anita juga agar dia merasa enak dengan posisinya. Pun dengan telapak tangan yang dipegang Anita, dia balas memegang tanpa ragu.
Meski jantung dan hatinya berdebar karena apa yang Jimi lihat, dia tak mau kalau sampai terlihat lemah dan gugup. Dia memang tergoda, tetapi dia tetap berusaha menjaga wibawa juga sikapnya agar tak tampak tergesa-gesa.
"Syukurlah. Aku dah khawatir saja tadi," kata Anita yang kemudian meraih gelasnya di meja. "Minum dulu, Bang. Ini minuman paling enak di sini soalnya."
"Benarkah?" Jimi pun mengambil gelas bagiannya. Lantu melakukan tos sebelum mereka benar-benar meminumnya. Dan ternyata Anita memang benar, minuman itu terasa segar di mulut Jimi.
Seraya menikmati alunan musik di tengah kerlip lampu, Jimi meminumnya lagi dan lagi dengan kepala mengangguk-angguk sesuai iramanya. Melihat ke sekeliling, orang-orang—khususnya lelaki—kebanyakan sedang duduk berdua dengan wanita berpenampilan tak jauh beda dengan Anita. Hanya memakai bra dan rok yang hanya menutupi pantat dan kemaluan. Sementara paha hampir terlihat seutuhnya.
Jimi menunduk, mencuri pandang terhadap apa yang ada di hadapannya. Kaki Anita begitu jenjang, mulus dan montok. Padahal, tubuhnya begitu ramping. Tidak ada yang namanya tumpukkan lemak di mana-mana seperti Mayang.
Membandingkan perempuan di hadapannya dengan Mayang, jelas istrinya itu kalah telak.
Begitu pandangannya naik ke pusatnya seorang perempuan, sesuatu yang menjadi pusat dalam dirinya pun menegang. Bahkan menari-nari dalam benaknya, seandainya Anita mau melakukan hubungan badan dengannya.
Sadar kalau dirinya tengah di perhatikan, Anita pun menyimpan minumannya di meja. Lalu kembali fokus pada lelaki yang diundangnya itu. Sebenarnya, sudah sejak lama Anita hanya berpikir soal uang. Tak peduli setampan apa seorang pria, kalau nggak berduit buat apa? Pikirnya.
Namun, saat bertemu Jimi di mall, uang dan ketampanan sama pentingnya. Dia suka lelaki di sampingnya itu. Karena selain sudah pasti berduit, Jimi pun memiliki wajah rupawan. Beda dari pelanggannya yang kebanyakan Om-om. Bahkan tak memiliki tampang sedikit pun.
Ingin membuat Jimi terkesan, Anita pun beringsut mendekati Jimi yang baru melihat keseksiannya saja sudah begitu kelabakan. "Apa yang membuatmu datang ke sini?" tanyanya, sambil bersandar di pundak Jimi. Lalu mendongak dengan tatapan manja.
Sebagai jawaban, Jimi pun meraih dagu Anita dengan sebelah tangan. Lantas mencium bibir tipis dengan pewarna merah merona itu sampai luntur. Anita membalasnya, bahkan tak kalah liar.
Sembari memperhatikan orang di sekelilingnya, mereka tampak cuek dan masing-masing meski pun orang di sebelahnya melakukan hubungan badan. Ruangan itu gelap, dan hanya sesekali tersorot lampu kerlip. Mungkin itu yang membuat mereka bebas beraksi, pikir Jimi.
Namun, untuk memastikannya, Jimi lebih memilih bertanya langsung pada Anita. "Apa yang membuatmu mengundangku datang ke sini?"
"Aku ingin bercinta denganmu!" Anita mendesah saat Jimi melepas ciumannya.
"Di tempat ini?"
"Ya!" Anita menjawabnya dengan sungguh-sungguh sebelum akhirnya mencium Jimi lebih dulu. Bahkan tangannya sengaja membimbing tangan Jimi untuk meremas dadanya yang berdenyut-denyut.
Ini gila, tetapi ini mengasyikkan. Begitulah yang sekarang ada di benak Jimi. Namun, untuk melakukan hubungan badan di tempat umum seperti ini, Jimi belum terbiasa. Ada rasa malu, kalau sampai ada yang memperhatikannya.
"Jangan malu!" Anita menarik diri sebelum berbisik. Seolah tahu, tentang apa yang dipikirkan Jimi. "Mereka tak kan sempat memperhatikan orang lain selagi dipuaskan oleh teman-temanku."
"Benarkah?" Jimi menunduk seraya menatap kemolekan Anita dalam remang.
"Percaya saja padaku!" timpal Anita seraya membuka kancing celana jeans yang dipakai Jimi.
Jimi bersandar sambil mendongak, lantas menarik dan membuang napas panjang, saat jemari Anita sampai di bagian tubuh paling sensitifnya. Apa lagi saat sentuhannya itu terasa naik-turun, dia pun menelan ludah dengan susah payah.
Anita merapatkan tubuhnya ke tubuh Jimi, lalu melihat dalam jarak begitu dekat raut wajah Jimi yang seketika berubah tegang. Lelaki di hadapannya itu terpejam sambil mendesah, tanpa menyadari senyum Anita yang saat itu mengembang karena memperhatikannya.
"Mau yang lebih enak dari ini?" tanya Anita.
Jimi pun seketika membuka mata, dan mendapati Anita sedang memperhatikannya. "Demi Tuhan, ini gila!" jawabnya sambil mengecup bibir Anita. "Tapi, aku suka!"
Anita pun seketika beringsut mundur, lalu menunduk untuk mencium bagian tubuh sensitif Jimi. Membuat Jimi kian merasa geli sambil meremas rambut Anita, seraya mendorong dan menariknya kuat-kuat sampai benar-benar mencapai klimaks.
Sudah biasa, Anita pun menelan cairan yang keluar dari apa yang dikulumnya, sebelum menarik diri dan bersandar di sandaran kursi dengan mata terpejam. Sementara itu, setelah merasakan hasrat yang baru saja tersalurkan, Jimi mendekatinya.
"Giliranmu!" bisiknya, seraya turun dari kursi tempatnya duduk. Lalu mengangkat kedua kaki Anita sampai menapak di kedua sisi kursi. Jimi terbelalak, karena apa yang tersembunyi di balik rok, ternyata tanpa celana.