Chereads / Rumit (satu pria dua wanita) / Chapter 19 - Bab. 19. Kecupan Pertama

Chapter 19 - Bab. 19. Kecupan Pertama

Bab. 19. Kecupan Pertama

Seperti apa yang dilakukan Anita terhadapnya, Jimi pun melumat habis bagian tubuh paling sensitif wanita di hadapannya itu sampai Anita bergelinjang keasyikan. Membuat bagian tubuh sensitifnya kembali bangun, apalagi saat Anita membimbing tangannya untuk berpegang pada kedua bagian tubuh sensitif lain.

Karena apa yang Jimi minum mengandung sedikit obat perangsang, Anita yakin kalau hasrat lelaki di hadapannya itu sudah membuat kepunyaannya kembali menegang. Membuat dia akhirnya menarik Jimi sampai kembali duduk di kursi, lalu dia sendiri beranjak bangun untuk mendudukinya.

Bersamaan, keduanya pun terpejam begitu dua bagian tubuh sensitif menyatu sama dengan yang lain perlahan-lahan.

"God!" Rifki mendesah, saat dengan lihainya tubuh Anita bergerak-gerak. Bahkan dia sampai menepuk pelan bokong Anita sebelum meremas dan mendorongnya dalam-dalam.

"Apa yang kamu rasakan, hah?" tanya Anita, di tengah-tengah aksinya yang liar.

"Sudah kubilang ini gila. Tapi, aku suka!" Jimi kian mendesah. Apalagi saat Anita bergoyang dengan lincah. Tak diragukan lagi, wanita di hadapannya itu memang sudah ahli dan terbiasa.

Bahkan, tak dapat dihitung jari, berapa kali dia melakukannya setelah masuk dan bekerja di bar tersebut sejak tiga tahun yang lalu. Mungkin ratusan, atau bisa jadi sudah mencapai ribuan kali. Secara, Anita kerap melakukannya bersama tiga orang berbeda dalam semalam.

Sama halnya dengan Jimi. Hanya saja, Anita melakukannya dengan sembarang pria. Sementara dia hanya dengan beberapa wanita yang sama.

***

Selesai memuaskan hasrat masing-masing, Jimi dan Anita duduk bersandar sambil terpejam. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Jimi harus segera pulang. Karena kalau nggak, gerbang akan dikunci oleh pemilik kontrakan, tepat pukul sebelas nanti.

Memberitahu Anita bahwa dirinya harus segera pulang, wanita itu memberitahunya juga perihal tarif yang harus dibayar. Jimi tercengang, karena dia tak mempunyai uang sampai sebanyak itu. Kalaupun ada, uang itu khusus untuk biaya sehari-hari sampai bertemu tanggal gajian lagi

"Kenapa malah diam? Ada duitnya nggak?" desak Anita, dengan sebelah alis terangkat. Curiga, kalau lelaki yang dipuaskannya ini tak berduit. Ia juga menggeleng, seandainya apa yang dipikirkannya itu benar.

Dengan perasaan malu dan juga takut, Jimi terpaksa menggelengkan kepala. Dia sudah punya istri. Otomatis, lebih dari setengah gajinya itu selalu ia kirimkan ke kampung. Lebih-lebih, Mayang sedang dalam keadaan hamil sekarang.

"Astaga! Jadi, kamu pikir, minuman dan pelayananku tadi itu gratis?" Anita berkacak pinggang. Namun, suaranya tetap sepelan tadi. Ia tak ingin membuat keributan.

"Untuk minuman, sebenarnya aku bisa bayar. Sekalian sama punyamu juga." Jimi pun merogoh dompet dalam saku celana bagian belakangnya. "Tapi, untuk itu—"

"Ya, sudah sini. Bayar minumannya aja kalau memang nggak ada!" serobot Anita, sambil merebut dompet Jimi dari tangannya. Lalu mengecek isinya yang hanya terdapat dua lembar uang seratus ribuan.

Anita tertawa lucu. Dia pikir, Jimi itu orang berduit. Secara, yang ia tahu, gaji koki ataupun asisten koki itu lumayan besar. Tapi nyatanya zonk. Lebih mengejutkan lagi, saat Anita melihat status kawin di KTP Jimi. Pantas, batinnya.

"Serius nggak apa-apa?" tanya Jimi, tanpa berniat merebut dompet dari tangan Anita yang sedang melihat-lihat KTP-nya. "Satpam di depan nggak bakal ngejar aku, 'kan?"

"Nggak! Tapi, tentu saja ada syaratnya!" Anita menyerahkan dompet tersebut pada pemiliknya, setelah mengambil selembar uang yang ada di dalamnya.

"Apa?" Jimi tampak tak sabaran.

"Puaskan aku seperti tadi, lagi dan lagi!"

Sebagai pemuas nafsu para lelaki hidung belang, Anita memang jarang mendapat perlakuan khusus seperti apa yang dilakukan Jimi padanya. Kasarnya, memuaskan tapi tak dipuaskan. Mendapatkan penawaran seperti itu, siapa yang akan menolak? Tentu saja, jimi ataupun lelaki lain akan menyanggupinya. Secara, apa-apa di zaman sekarang ini serba bayar.

Jimi mengangguk mantap. Lantas memasukkan dompetnya lagi ke dalam saku celana sambil berdiri. "Tapi, untuk sekarang aku harus pulang," katanya, diiringi tatapan mengedar ke sekeliling.

"Kenapa? Istrimu sudah menunggu, ya?" Anita berdecak kesal. Karena ia benar-benar masih ingin bersama Jimi untuk malam ini.

"Bukan! Istriku ada di kampung, kok." Terlanjur terbongkar, akhirnya Jimi mengaku tentang dirinya yang sudah beristri itu.

"Lalu, kenapa harus terburu-buru? Kamu kan bisa bermalam bersamaku di sini." Sebisa mungkin, Anita pun membujuk lelakimu itu. Bahkan, ia sampai bergelayut manja di kedua tangan Jimi.

"Nggak bisa, Ta. Besok pagi aku harus kembali kerja. Tentu saja, aku harus berangkat dari kontrakan agar bisa bersiap-siap, 'kan?" Jimi menarik kedua tangannya itu dari pegangan Anita. Kemudian ia menyapu puncak kepala wanitanya itu sambil tersenyum. "Besok, aku pasti ke sini lagi!" sambungnya, meski itu hanya omong-kosong. Ya, tentu saja. Nalam ini, uangnya habis digasak oleh Anita.

"Hm. Ya, sudah. Biar kuantar kamu sampai ke depan." Anita pun ikut berdiri meski hatinya sedongkol batu.

"Eh, nggak usah repot-repot. Ntar bosmu marah, loh. Udah ... aku bisa jalan sendiri, kok. Makasi atas undangannya, ya. Besok-besok, aku pasti datang lagi." Jimi menolak, dengan alasan takut kalau bos wanitanya itu akan memarahi Anita. Padahal, ia hanya cemas karena takut ketahuan Hani. "Aku pergi dulu, ya. Bye!" sambungnya.

Menuruti apa yang dikatakan Jimi, akhirnya, Anita memilih pergi ke kamar mandi. Dia memang harus membersihkan bagian tubuh sensitifnya itu agar pelanggan selanjutnya tak merasa jijik.

Sementara itu, Jimi pun langsung melesat meninggalkan bar untuk mencari ojek di depan. Dia harus segera pulang. Sama halnya dengan Ali dan Hani yang sepanjang tadi berjalan-jalan di mall, mereka pun baru saja hendak beranjak pulang.

Sebab malam sudah semakin larut, membuat rasa dingin seolah menyergap tubuh Hani yang hanya memakai kaos biru tua berlengan pendek. Dia pun menyilangkan kedua tangannya itu di pangkal lengan, lalu menggosok-gosokkannya agar mencipta hangat.

Ali yang menyadarinya pun langsung menghentikan laju motor di tepi jalan. Lalu memarkirkannya di sana sampai membuat Hani terheran-heran. Ada apa? Kok, berhenti? Batinnya terheran-heran.

"Kamu pasti kedinginan, 'kan?" Ali pun turun dari motornya. Sementara Hani masih duduk di jok belakang sambil terheran-heran.

"Dikit, sih."

"Pake jaketku kalau begitu." Cepat, Jimi pun melepas jaket dari tubuhnya. Lalu memakainya perlahan pada Hani. "Sekarang pasti hangat."

"Tapi, kamu kan lebih dingin?"

"Nggak apa-apa. Asal jangan kamu aja yang kedinginan," godanya yang seketika membuat bibir Hani menyungging tipis. Lalu, dia pun melepas topinya juga, sebelum memasangnya di kepala Hani. "Sekarang kita otw lagi."

"Baik," timpal Hani sambil tertawa pelan. Ia merasa terkesan, meski tetap, itu hanya sebatas kagum. Ia adalah tipe wanita setia. Bahkan, meski Jimi kerap menduakannya, tetap saja, Hani menjatuhkan perasaannya itu terhadap Jimi.

Melesat membelah jalan, Ali pun membawa Hani sampai ke gerbang kontrakan dalam waktu kurang dari setengah jam. Kemudian ia mengucapkan banyak sekali terima kasih, karena Hani sudah berkenan diajak jalan.

Namun, saat Hani hendak melepas jaket yang dipakainya, Ali menolak dan menyuruh temannya itu untuk memakainya saja. Terkecuali topi, karena Hani tidak terlalu membutuhkannya.

"Untuk makan malamnya, makasih, ya." Karena sudah terbiasa melakukannya saat bersama Jimi, Hani pun kelepasan saat mengecup bibir Ali sekilas. Membuat keduanya seketika bergeming dalam waktu yang singkat. "Duh, maaf. Aku nggak sengaja." Hani pun langsung mengerjap. Ia juga menelan ludah, seiring dengan perasaan bersalah. Takutnya, Ali semakin salah tingkah. Atau bahkan berpikir yang bukan-bukan.

Ali tersenyum senang, walau sebenarnya ia merasa aneh. "Dahlah nggak apa-apa. Kamu buruan masuk, gih. Bentar lagi, gerbangnya pasti dikunci," katanya.

"Gitu? Oh! Ya, sudah atuh. Aku masuk duluan kalau gitu," timpal Hani sebelum akhirnya ia berlari, masuk melewati gerbang dan meninggalkan Ali. Tanpa ia ketahui, kalau Jimi yang baru saja turun dari angkutan umum melihat kecupan yang dilakukan Hani terhadap Ali barusan, dengan begitu jelas pula.

Dan, Jimi merasa senang.

"Keren! Si Ali pinter juga bikin pacarku itu terkesan." Jimi pun bergumam begitu Hani sudah menghilang di balik pintu gerbang. "Karena kalau nggak, Hani nggak mungkin mencium sembarang orang."

Menyusul Ali yang kembali melajukan motornya, Jimi pun berjalan cepat sampai akhirnya tiba di depan gerbang kontrakan khusus pria setelah Ali.

"Baru pulang juga, lu?" tanya Jimi seraya membuka gerbang. Kedatangannya itu sampai mengejutkan Ali.

"Eh, Bang?" Ali yang baru saja memarkirkan motor di sana pun langsung berbalik. "Abang juga?"

"Huum. Tapi sumpah lu keren banget barusan." Jimi menggoda sambil tertawa kecil. Ia juga menggeleng sambil berdecak.

"Maksudnya?" Ali terheran-heran sampai mengernyitkan wajahnya yang tampan.

"Tadi, gue liat si Hani nyium lu, Bro. Ahaha," godanya lagi, seraya melangkah naik ke teras lebih dulu. Ia meninggalkan Ali yang seketika merasa malu sendiri.