Nyonya Andine menengadah, matanya terpejam kuat. Setelah cukup sekian lama, nyonya Andine kembali pada posisi semula.
Nyonya Andine memasukkan kembali KTP milik Dini ke dalam dompetnya.
"Ohh ya ... ponsel, ponsel mana ponselku," gumam nyonya Andine, dia berusaha untuk mencari keberadaan ponselnya.
"Secepatnya aku harus mencoba untuk menghubungi Deny lagi, aku harus tahu di mana sekarang Deni berada. Pasti dia masih bersama dengan wanita itu," tebak nyonya Andine sambil tangannya mengacak-acak isi tasnya namun tidak ditemukan ponselnya.
Sudut ekor matanya menangkap ponselnya berada di sampingnya, di atas ranjang.
"Astaga ... ini dia aku harus menelponnya."
Menunggu untuk beberapa waktu hingga batas panggilan berakhir, nyonya Andine mencobanya lagi.
Tidak juga diangkat. Tak terasa kerongkongan nyonya Andine terasa kering, akibat melakukan perjalanan pulang tadi dan sedikit membersihkan kamar Deny yang masih belum beres.
Nyonya Andine melangkah menuju ke arah dapur, namun matanya tetap menatap layar ponsel.
"Deny, kamu benar-benar buat mama khawatir. Apa mama nanti akan sanggup menatap kamu dengan wanitamu itu, bisa-bisanya kamu memiliki hubungan yang serumit itu. Istri orang!"
Tangan nyonya Andine membuka daun pintu kulkas, dia pun menggeleng pelan. Sungguh berantakan, banyak makanan dan minuman yang tumpah.
"Ini mungkin Deny biasanya cuek dan tidak perduli dengan isi kulkas, tetapi Agus dan Udin ngapain sih gak mau ngontrol," gerundel nyonya Andine.
Diambilnya botol berisi air mineral dingin, kemudian dia menutup pintu kulkas itu kembali.
"Huft, capek juga pulang kerja niatnya bisa santai di rumah tapi malah kaya gini," kata nyonya Andine.
Nyonya Andine merasa pusing juga, di rumah tidak ada pembantu. Pembantu di rumah meminta cuti dan itu sudah nyonya Andine izinkan melalui telepon tiga hari yang lalu, saat nyonya Andine masih mengurus pekerjaan.
Ditariknya kursi di meja dapur, nyonya Andine segera duduk dan membuka tutup botol lalu meminumnya.
Kerongkongannya sudah terasa normal kembali.
"Sepertinya aku harus mencoba menghubunginya kembali," pikir nyonya Andine.
Nyonya Andine meletakkan botolnya di sebelahnya kemudian dia lekas sibuk dengan ponselnya kembali.
"Semoga kali ini, panggilanku mendapatkan jawaban dari Deny," harap nyonya Andine.
Kepalanya menengok, matanya mencari-cari ke arah sumber suara ponsel yang tidak jauh dari pendengarannya.
"Ponsel Deny!"
Nyonya Andine pun berdiri dari duduknya, ternyata ponsel Deny berada tidak jauh dari tempatnya nyonya Andine berada. Buru-buru nyonya Andine mengambil ponsel Deny dan mematikan panggilannya tadi.
"Ekh ... ini kenapa ponsel Deny malah ada di dapur, kemana dia?" gumamnya. Nyonya Andine memandang sekeliling.
"Hoaaah ..."
Suara jeritan nyonya Andine begitu nyaring setelah melihat apa yang dia lihat barusan. Kedua tangannya sempurna menutupi seluruh wajahnya setelah dirinya terbelalak menemui bercak darah tercecer di mana-mana.
Badannya sedikit gemetar, dia mulai membayangkan hal-hal yang tidak diinginkannya terjadi.
"Deny, ka-kamu kenapa ini? Kamu di mana ...." Nyonya Andine tidak mampu berkata-kata.
Tanpa dimintanya, dengan cepat nyonya Andine berfikir kemungkinan Deny telah menjadi korban perampokan di rumahnya sendiri.
"Dan Udin, Agus. Apa mereka bertiga menjadi korbannya."
"Nyonya Andien ...."panggil seseorang dari arah belakangnya.
Nyonya Andine membuka wajahnya kemudian langsung menengok, ternyata didapatinya Udin sudah berdiri di belakangnya bersama Agus.
"Kalian berdua ... Dari mana kalian semua? Di mana Deny, anakku?" tanya nyonya Andine panik.
"Boss ada di rumah sakit saat ini, Nyonya," sahut Udin datar.
Nyonya Andin menangkap kedua wajah pegawainya yang direkrut oleh Deny itu tampak bersikap tenang, dengan gelagat kedua orang itu membuat nyonya Andine sedikit tersinggung dan marah.
"Kenapa kalian bisa-bisanya setenang itu, apa yang terjadi dengan Deny? Kenapa kalian pulang tidak bersama Deny dan malah meninggalkannya di rumah sakit? Coba kalian jelaskan dengan hal ini juga," kata nyonya Andine sambil menunjuk bercak darah yang berceceran di lantai.
Mereka hanya terdiam dan menunduk, tidak ada jawaban yang nyonya Andine dapatkan dari keduanya atau salah satunya.
"Sudahlah, kalian itu hanya membuang-buang waktu. Sekarang aku ingin bertemu dengan Deny, antar aku ke rumah sakit," pinta nyonya Andine.
Sebetulnya bisa saja nyonya Andine berangkat sendiri, akan tetapi dengan kondisinya yang sekarang membuat Andien berpikir tidak mungkin dia kan bisa sampai di rumah sakit dengan selamat.
Bisa-bisa nyonya Andine malah juga ikut celaka hanya gara-gara dia tidak konsen menyetir.
"Baiklah, Nyonya. Saya akan mengantar Nyonya ke rumah sakit bertemu dengan boss Deny. Tunggu sebentar ya, Nyonya."
Udin beralih memandang Agus.
"Kamu ambil dompet boss di kamar," kata Udin pada Agus.
"Kenapa kalian harus mengambil dompet Deny?" tanya nyonya Andine tidak mengerti.
"Maaf, Nyonya. Ini merupakan perintah dari boss Deny yang menyuruh kami mengambilkan dompet dan ponselnya. Ponsel boss Deny sudah ada pada Nyonya kan?" sahut Agus.
Nyonya Andine tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi namun dia tidak ingin membuang-buang waktu hanya untuk meminta penjelasan pada kedua pegawainya itu, yang terpenting adalah dia harus bertemu Deny secepatnya. Dia harus melihat keadaan Deny. untuk memastikan keadaannya baik-baik saja.
"Iya, ponsel Deny sudah aku bawa," jawabnya, kemudian nyonya Andine melangkah keluar rumah bersama Udin.
Sedangkan Agus mengambil dompet Deny.
"Udin, coba katakan sekarang juga padaku. Aku ingin dengar dari kamu," pintanya.
Udin yang berjalan di belakangnya pun menanggapi permintaan nyonya Andine.
"Apa tidak sebaiknya tunggu sampai Nyonya mendengar sendiri penjelasan dari boss Deny nanti, Nyonya?"
"Apa bedanya jika kamu yang menjelaskan dengan Deny yang menjelaskan jika intinya sama, Udin?"
"Maaf, saya tidak ingin terjdi kesalahpahaman itu saja, Nyonya." Mendengarkan jawaban dari Udin, nyonya Andine pun berhenti berjalan dan menengok.
"Jangan-jangan ... apa ini ada hubungannya dengan wanita yang Deny aja ke sini?" tebak nyonya Andine.
Udin sedikit kaget dengan pertanyaan nyonya Andine.
Dalam hati Udin bertanya:
"Kenapa nyonya bisa berbicara seperti itu? Apa nyonya Andine tau jika selama ini Bos Deny sering membawa wanita ke dalam rumah selama dia bertugas di luar. Tapi bagaimana nyonya bisa tau?"
"Maaf . Sekali lagi mohon maaf, Nyonya. Sebaiknya masalah ini kita bahas nanti di sana, setelah kita bertemu dengan boss Deny. Nyonya bisa tanyakan semuanya. Kalau begitu marilah segera kita berangkat ke rumah sakit, Nyonya," ajak Udin yang malah mendahului nyonya Andien menuju mobilnya.
Tanpa berkomentar lagi, nyonya Andine ikut menghampiri moobilnya.
***
RUMAH SAKIT
Deny masih terpaku menatap wajah Dini dari sejak beberapa menit yang lalu, Deni masih belum percaya jika wanita yang ada di hadapannya saat ini adalah orang yang pernah memiliki suami sebelum Haris, suaminya yang pernah Deny celakai hingga mati pada tragedi kecelakaan dulu.