Chereads / Ratapan Istri / Chapter 14 - Keputusan

Chapter 14 - Keputusan

Deny berjalan menyusuri koridor rumah sakit, dia hendak menuju bagian administrasi rumah sakit untuk menyelesaikan tagihan biaya Dini.

"Ini bener-bener gawat, terlalu rumit. Mama udah balik dalam keadaan yang tidak tepat, setelah ini pasti mama ngamuk dan mungkin itu akan membuatku dalam kesulitan. Dini ... wanita itu seharusnya bisa menjalani hidup bahagia dengan suaminya yang dulu. Tapi karena aku, dia jadi harus ditakdirkan menjadi seperti sekarang ini. Aku memnang tidak tau bagaimana kepribadian suaminya, tapi aku yakin dia lebih baik dari Hendra. Soal Hendra ... aku akan segera menghubungi keparat itu," batin Deny.

Deny elah menginjakkan kaki di depan bagian admisitrasi.

"Selamat pagi, Sus," sapa Deny.

"Iya, Pak. Ada yang bisa kami bantu?" tanya suster yang sedang bertugas di sana.

"iya, Sus. Saya ingin membayar biaya perawatan atas nama Dini yang dua jam lalu masuk IGD," sahut Deny.

"Sebentar ya, Pak. Saya carikan datanya dulu," sahut suster.

"Iya, Sus."

Deny menunggu dengan perasaan yang bercampur aduk tidak karuan.

Deny tampak melihat suasana pagi yang amat sibuk, banyak yang wira-wiri berjalan di lantas dasar itu.

"Pasien atas nama Dini?" ucap suster itu membuat Deny mengalihkan pandangan matanya kembali pada suster.

"Iya benar, Sus. Berapa yang harus di bayar?" tanya Deny.

Suster tersebut tampak melihat komputer yang ada di depannya.

"Untuk biaya pasien atas nama Dini, biaya sementara 7 juta dulu, Pak. Biaya ini hanya biaya awal saja, Pak. Untuk biaya total belum ada informasi lagi karena pasien masih dalam perawatan dan penanganan rumah sakit," terang suster.

"Iya, Sus. 7 juta ya?" ulang Deny.

"Iya betul, Pak. 7 juta," sahut suster.

Deny mengeluarkan uang 6 juta yang berada di dalam sakunya, uang itu yang semula Deny kira sudah raib dibawa Dini. Masih kurang 1 juta, akhirnya Deny mengambil kartu debit dari dalam dompetnya.

"Ini ada 6 juta, Sus. Sisanya pakai kartu ya," ucap Deny.

"Iya, Pak. Mohon tunggu sebentar ya."

Suster itu dibantu dengan organnya menghitung ulang uang yang disodorkannya dan juga melakukan transaksi yang masih kurang.

"Pak, ini kartunya dan juga kuitansinya."

Deny menerimanya.

"Terima kasih, Sus."

Suster mengangguk ramah.

Deny berjalan pelan menjauh.

"Tak apalah kalau aku sekarang keluar uang banyak. Ini merupakan bentuk tanggung jawabku, aku harus bersabar."

Deny merasa bingung, mana yang harus dia dahulukan. Bertemu dan menghadapi nyonya Andine atau menelpon Hendra karena keduanya harus segera dilakukan.

Deny meneliti sekeliling, tidak ada Agus ataupun Udin. Deny juga tidak melihat adanya nyonya Andine.

"Kayaknya aman, mereka tidak mengikutiku. Aku bisa menelepon Hendra sebentar," pikir Deny.

Deny bergegas mengotak-atik ponselnya.

"Untung aja ponselku aku ambil juga bersama dompetku. Kalau masih dibawa sama Agus atau Udin, aku bisa gagal menghubungi Hendra sekarang."

Untuk beberapa saat Deny terdiam, dia mendengar suara nada sambung dari ponsel Hendra yang menurut Deny terlalu lebay seperti anak remaja saja.

"Angkat ... angkat," desah Deny yang merasa dirinya tidak sabaran.

Berkali-kali Deny mencoba menelepon Hendra namun tetap tidak diangkat juga membuat emosi Deny memuncak.

"Sial! Kemana perginya Hendra. Kenapa dia tidak angkat telepon dariku? Awas saja kalau sampai aku bertemu dengannya."

Deny menyimpan ponselnya. Deny menghembuskan nafas dengan pelan.

"Aku harus bersikap tenang. Aku tidak mau karena sikapku seperti ini akan semakin menunjukkan kejelekanku di mata mama. Aku harus siap dengan berbagai pertanyaan dari mama nanti. Huft, baiklah aku akan segera ke sana. Pasti mama sudah menungguku untuk kembali."

Deny kembali berjalan menelusuri koridor-koridor rumah sakit menuju tempat dimana Dini berada bersama dengan mamanya dan juga kedua anak buahnya.

Deny memandang wajah mamanya dari kejauhan yang tampak duduk dengan gelisah.

"Rupanya mama masih ada di luar. Apa mama belum masuk ke dalam untuk menengok Dini?"

Agus dan Udin yang menyadari kehadiran bossnya itu, kini saling menyenggol lengan mereka satu sama lain.

"Boss ...."

Nyonya Andine yang mendengar suara Udin memanggil Deny, kini nyonya Andine berdiri setelah matanya memandang anak semata wayangnya berdiri di sudut koridor.

"Deny, kamu sudah selesai mengurus administrasi wanita itu? Kalau sudah ah Mama minta kamu pulang sama mama sekarang dan kamu jelasin apa yang terjadi di rumah," tegas nyonya Andine.

Deny menggeleng pasti mendengar permintaannya nyonya Andien itu.

"Deny nggak bisa, Ma. Deny nggak mungkin ninggalin dia di sini sendirian, dia terbaring di sini itu karena Deny yang menyebabkannya. Sampai sampai keadaannya kritis seperti sekarang ini," tolak Deny.

Nyonya Andine menutup mulutnya yang menganga. Meskipun dirinya tidak tahu apa penyebab utamanya tetapi secara garis besar, nyonya Andine mempercayai bahwa penyebab semua ini adalah Deny, anaknya sendiri. Sampai-sampai Deny ngotot seperti itu yang tidak mau pulang.

"Ap-apa? Kritis?" ulang nyonya Andine.

"Iya kritis, makanya Deny mau tetap di sini untuk temenin dia sampai dia sadarkan diri dan bangun dari kritisnya. Tolong, Mama mengerti aku sedikit saja," pinta Deny.

Nyonya Andine berjalan mendekati Deny.

"Kamu sekarang kasih alasan kenapa mama harus menyetujui permintaan kamu? Enggak mungkin kan, dia gak punya keluarga. Sekarang mama minta sama kamu, kamu hubungi keluarganya. Suruh mereka datang ke sini untuk urusin wanita itu," perintah nyonya Andine lagi.

"Ud-udah, Ma. Cuma pasang aku hubungi keluarganya tadi, mereka tidak ada respon. Makanya Deny akan tetap di sini untuk menjaganya, hanya itu yang bisa Deny lakukan sekarang," sahut Deny.

Nyonya Andine seperti tidak mempercayai pendengarannya sendiri dengan apa yang Deny ucapkan barusan.

"Deny, keluarganya saja masa bodoh lalu kenapa kamu harus repot-repot di sini untuk mengurusnya sampai-sampai kamu membayar biaya rumah sakitnya. Sampai sekarang mama belum mengerti jalan pikiran kamu dan apa yang terjadi diantara kalian. Jika kamu berpikir ingin menutupi semuanya dari mama, berarti saat ini kamu salah besar. Mama berhak tahu dan secepatnya kamu harus menjelaskannya pada mama. Kita pulang sekarang dan urusan dia, kamu minta Agus dan Udin untuk menungguinya. Bisa kan?" tanya nyonya Andine.

Deny terdiam, dia berfikir sejenak. Nyonya Andine telah memberikan izin pada Deny untuk menjaga Dini melalui Agus dan juga Udin. Untuk itu, mau tak mau Deny pun menyetujuinya dari pada nanti tidak ada sama sekali yang menjaga Dini.

Dengan adanya Agus dan dan Udin, Deny dapat mendengar kabar apapun tentang perkembangan keadaan Dini nanti melalui ponselnya.

"Oke, Ma. Kita akan pulang sekarang tapi biarlah Agus dan Udin berada di sini," ucap Deny akhirnya.

Nyonya Andine pun mengangguk. Deny memutuskan untuk mengalah dulu.