Dewa dan Dewi sedang sibuk mengganti seragam sekolah milik mereka dengan pakaian bebas, di dalam kamar mereka.
"Kak Dewa. Kenapa ya om tadi jahat banget, kasihan papa," ucap Dewi membuka percakapan.
"Kakak juga tidak tau, Dek. Tapi kita berdoa saja semoga om tadi tidak pukulin papa lagi ya, papa sampai memar begitu wajahnya," sahut Dewa.
"Om itu pasti akan masuk neraka kalau udah meninggal, dia jahat sih," celetuk Dewi yang merasa tidak terima dengan perlakuan Deny terhadap Hendra.
"Astaghfirullahaladzim, Dek. Kita tidak boleh mendoakan yang jelek tentang orang. Justru kita harus doakan yang baik agar om itu sadar dengan apa yang dia lakukan, bahwa perbuatan itu adalah salah," nasehat Dewa.
"Tapi, Kak. Orang yang jahat kan tempatnya di neraka," timpal Dewi.
Dewa tersenyum mendengar perkataan Dewi.
"Iya memang, orang jahat tempatnya di neraka. Tapi orang jahat akan mendapatkan ampunan dari Allah bila dia bertobat dan mereka akan memiliki kesempatan untuk masuk surga seperti orang baik," jelas Dewa.
Kedua mata Dewi berkedip-kedip saat rambut poninya menutupi hingga batas alisnya. Lalu tangannya menyikap poni tersebut.
"Ohh gitu ya, Kak. Berarti kita harus doakan agar om itu bertobat ya," simpul Dewi.
"Iya, Dek. Kurang lebih seperti itu. Kamu udah selesai gantinya kan? Kita makan sekarang yuk, Kakak udah laper banget," ajak Dewa.
"Ayo, Kak," sambut Dewi. Keduanya pun keluar kamar dan menuju ke dapur.
"Kak, kita ajak papa makan ya. Kita makan bertiga," usul Dewi.
"Iya boleh, Dek. Kakak panggil papa dulu ya, kamu tunggu sini," pinta Dewa.
"Siap, Kak," sahut Dewi. Dewa pun berjalan ke ruang tamu. Tidak ada siapapun.
"Pa, Papa ...." panggil Dewa. Dewa keluar rumah, di emperan motor Hendra sudah tidak ada di tempatnya.
"Lho, papa kemana? Kok gak kedengaran motornya pergi," gumam Dewa. Dewa dan Dewi harus menelan kekecewaannya untuk kesekian kalinya. Mereka kehilangan kebersamaan bersama papanya.
"Kak, kenapa sih papa selalu sibuk? Apa papa tidak sayang sama kita? Kenapa gak ada waktu buat kita?"
Terlihat sekali kesedihan terpancar dari wajah Dewi.
"Sabar, Dek. Papa dan mama itu sangat sayang sama kita, buktinya mereka selalu berusaha untuk menasehati kita dan memperhatikan kita. Apa kamu pernah di marahin mama atau papa?" tanya Dewa.
Dewi menggeleng pasti.
"Nah, itu berarti mereka itu sayang sekali sama kita," lanjut Dewa.
"Begitu ya, Kak."
"Iya, Dek. Mendingan sekarang kita makan lalu istirahat."
"Ayo, Kak."
***
RUMAH SAKIT
Deny memandangi seluruh peralatan medis yang melekat di tubuh Dini.
Deny berjalan dan mendekati kursi, lalu menyeretnya di dekat ranjang Dini. Deny duduk dan matanya terus memandang wajah Dini yang tenang seperti tanpa beban.
Sangat berbeda sekali dengan Dini yang berada di rumah Deni.
"Dari awal, kamu sudah memberikan kesan buruk kepadaku. Sampai-sampai aku kasar terhadapmu, Dini."
(Deny teringat bagaimana dia mendorong Dini hingga terjengkang di lantai rumahnya dan Dini merintih kesakitan, namun Deny membiarkannya saja tanpa menolong Dini).
"Tapi ternyata justru aku yang telah salah mengartikan kamu. Kamu tidak pantas mendapatkan perlakuan itu dari siapapun, terutama dariku. Seharusnya kamu tidak menerima nasib buruk yang berkelanjutan sejak kejadian itu. Dini ... apa saat kamu bangun nanti, kamu bisa menerima aku ada di sini dan berbesar hati untuk memaafkan aku?"
Deny hendak menyentuh rambut kepala Dini, namun diurungkannya. Deny sadar, Deny bukanlah siapa-siapa Dini dan tentu saja Dini pasti tidak akan pernah menyukai perbuatan Deny itu.
"Kamu cepetan bangun ya, ada anak-anak kamu yang masih membutuhkanmu dan menunggu kedatangan kamu di rumah. Aku tadi ketemu mereka, ternyata mereka itu anak-anak yang pintar. Kamu pasti bahagia memiliki mereka dan begitu juga sebaliknya, pasti mereka bangga punya ibu seperti kamu."
Deny tertawa kecil.
"Kamu tenang saja, aku tidak akan pernah memaksa kamu seperti tadi. Kamu telah menuntut aku untuk menyadari, kalau semua kemauan itu tidak bisa dibeli dengan uang."
"Lihat kamu sekarang, kamu terbaring di sini juga karena aku. Maafkan aku ... maafkan aku."
Deny tertunduk di tempat duduknya dan matanya terpejam. Merenungi nasibnya itu.
"Sttt ... apa barusan kamu juga dengar apa yang dikatakan oleh boss?" bisik Agus pada Udin yang memang mereka berdua sengaja mau melihat keadaan di dalam karena melihat gelagat Deny yang aneh saat masuk tadi, khawatir Deny akan pingsan lagi seperti kejadian setelah Deny mendonorkan darahnya lalu nekat pergi dan masuk ke ruangan Dini dirawat.
Entah apa penyebabnya, tapi yang pasti Deny terlihat lemas sekali. Kemungkinan itu disebabkan karena Deny tidak mau minum obat setelah melakukan donor darah dan menolak untuk istirahat, begitu pikir para suster.
Akan tetapi ketika mereka melihat Deny sedang berbicara sesuatu, maka mereka pun menghentikan niatnya untuk masuk ke dalam.
"Iya, aku rasa pendengaran kita masih normal dan baik-baik saja," sahut Udin dengan berbisik pula.
Dilihatnya Deny yang tadinya menunduk ini menengadah ke langit-langit, hal itu membuat Agus dan Udin saling menepuk satu sama lain untuk mengingatkan agar pergi dari depan pintu IGD. Takutnya Deny terganggu kemudian marah.
Agus dan Udin duduk di ruang tunggu. Mereka masih ingat betul bagaimana Deny tadi berbicara, nampak sebuah penyesalan yang amat dalam sedang mengguncang Deny.
"Apa kamu tadi dengar boss bilang 'seharusnya kamu tidak menerima nasib buruk yang berkelanjutan sejak kejadian itu'. Apa maksudnya?" tanya Udin.
"Iya ini aneh. Apa mungkin sebelumnya boss dan istri Hendra memiliki persoalan yang tidak kita ketahui," tebak Agus.
"Iy-iya mungkin saja. Tapi bagaimana ceritanya boss memiliki masalah dengan istri Hendra, sedangkan tadi saja boss seperti tidak mengenali istri Hendra. Namanya saja dia tidak tau," sambung Udin.
"Sangat sulit diterka. Tapi mungkin bisa saja kejadian itu sudah terlalu lama, makanya boss bisa lupa dengan nama istri Hendra. Tetapi tadi aku juga mendengar kalau boss menyebutkan soal anak-anak Hendra yang menunggu Dini dirumah, mereka anak yang pintar. Itu berarti boss sudah sempat ke rumahnya tadi. Tapi jika memang benar boss sudah ke sana, kenapa boss kembali hanya seorang diri tanpa Hendra? Kemana Hendra?" ucap Agus.
Agus dan Udin tampak memandang ke sekeliling, matanya mencari keberadaan Hendra ya mungkin barangkali masih tertinggal di belakang. Namun mereka tidak juga menemukan batang hidung Hendra.
"Wah, dimana Hendra. Kenapa tidak terlihat?" celetuk Agus.
"Salah enggak sih nanti, kalau kita sekarang hubungi Hendra?" tanya Agus melanjutkan kata-katanya.
"Sebaiknya jangan, segala sesuatu yang akan kita lakukan ... kita harus berdasarkan perintah dari boss. Jangan sampai karena keputusan kita sendiri membuat kita harus menanggung resikonya. Contohnya tadi, boss mempertanggung jawabkan semuanya sendiri tanpa menyalahkan kita," ingat Udin.