Di Dalam Kamar
Nyonya Andine masih terisak dalam tangis. Dia berfikir nampaknya Deny juga tidak mungkin akan mengganggunya dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin Deny akan menyusulnya ke kamar nyonya Andine mengingat kejadian tadi di ruang tamu.
Namun hal itu tidak membuat nyonya Andine harus bernafas lega karena dirinya jadi memiliki waktu sendiri untuk bisa tenang, justru nyonya Andine takut Deny akan pergi untuk menemui Dini lagi.
"Apa aku tadi tidak keterlaluan sama Deny ya? Aku tau dia salah, tapi tidak seharusnya aku menamparnya. Ya Tuhan, apa yang telah aku perbuat padanya. Setelah ini pasti Deny tidak akan perduli lagi dengan omonganku, dia pasti akan membantah aku terus. Ini semua pasti karena wanita itu yang telah membuat Deny jadi seperti ini, tapi Deny bilang dia tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Dini. Ini sungguh sulit dipercaya, jika memang benar, lalu siapa wanita yang sering di ajak tidur Deny di kamar dan berapa banyak wanita itu?" pikir nyonya Andine.
"Enggak, ini pasti cuma akal-akalan Deny aja untuk menutupi semua hal tentang hubungan mereka. Apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan Deny dari hal gila ini? Untung saja semua itu aku yang mengetahuinya, gimana kalau pak RT ... pasti semua warga bakalan marah dan perbuatannya Deny dapat mencoreng namanya sendiri. Andai saja Dini bukan berstatus istri orang, pasti sudah aku tuntut untuk menikah dengan Deny. Tapi Deny ...."
Nyonya Andine mengelap pipinya dengan tissue.
"Kenapa Deny tadi bisa bicara soal papanya. Ya Tuhan, padahal rahasia itu sudah lama ku pendam. Selama ini siapapun tidak ada yang tau, bahkan kejadian itu jauh dari sini, tepatnya saat aku dan Deny masih hidup di Kalimantan. Tapi Deny kenapa bisa tau? Dulu dia juga belum mengerti apa-apa karena usianya masih 7 tahun."
Nyonya Andine kembali bersedih harus mengenang kembali masa dimana dirinya dan Deny harus menghadapi terpaan dan cobaan setelah suami nyonya Andine meninggal karena overdosis obat kuat pria bersama dengan selingkuhannya. Wanita itu seolah tidak tau apa-apa saat suami nyonya Andine meninggal. Padahal jelas-jelas suami nyonya Andine sedang bersama dirinya di sebuah hotel.
Tapi nyonya Andine bukan tipe pendendam. Dia memaafkan kesalahan wanita selingkuhan suaminya dan memohon agar tidak membicarakan tentang masalah itu di luar sana. Biarlah suaminya meninggal dengan nama baik. Wanita itu pun setuju saja.
Nyonya Andine tidak berniat untuk mengenal siapa namanya, dimana rumahnya, dan berapa lama mereka berhubungan. Semua itu serasa tidak begitu penting untuk dikoreksi terlalu jauh karena suaminya juga sudah meninggal, jadi terasa percuma saja. Dengan meninggalnya suami nyonya Andine, itu berarti setelahnya wanita itu tidak akan lagi ada di hidupnya.
Setelah acara pemakaman suaminya, nyonya Andine memilih meninggalkan rumah di Kalimantan dan memulai semuanya di Jakarta untuk melupakan semua kenangan pahit di sana.
Sesekali nyonya Andine menengok rumah di Kalimantan, sebab rumah itu sudah lama di tempati nyonya Andine sewaktu masih kecil. Nyonya Andine tidak berniat untuk menjualnya karena rumah itu adalah warisan orang tuanya.
Hanya ada seseorang yang memang diminta oleh nyonya Andine untuk mengurus rumah miliknya. Dia Husen, tetangga rumahnya sekaligus teman masa kecilnya dulu.
Deny sendiri tidak pernah di ajak ke sana lagi, nyonya Andine ke sana sendirian. Nyonya Andine memang ada rasa takut jika mengajak Deny, khawatir Deny akan menanyakan yang tidak-tidak soal almarhum papanya.
"Apa jangan-jangan selama ini Deny ke Kalimantan dan bertemu dengan Husen, lalu .... tidak, tidak mungkin Husen bercerita pada Deny. Husen juga tidak tahu masalah ini dan dari mana Deny tau alamat rumahku di Kalimantan? Hal ini benar-benar tidak mungkin."
Nyonya Andine berpikir dia harus ke kamar mandi untuk membersihkan mukanya yang terlihat habis menangis karena keadaannya kini sudah agak tenang, untuk itu Nyonya Andine segera bergegas menuju kamar mandi.
Langkahnya yang mantap membuat dirinya kini sudah menginjakkan kaki di depan wastafel, lantas dia pun menyalakan kran air.
Kedua tangannya mengambil air dan membasuhkannya ke seluruh wajahnya. Sudah terasa lebih mendingan dibandingkan beberapa menit yang lalu. Matanya yang terasa begitu berat ini berangsur-angsur lebih ringan.
Nyonya Andine menatap wajahnya di pantulan cermin di depannya, dipandanginya wajah dirinya yang terlihat begitu lelah akibat dirinya yang belum juga istirahat sejak semalam menempuh perjalanan sendirian dari luar kota karena urusan pekerjaan.
Namun bagaimana bisa dirinya akan istirahat sedangkan keadaan rumah sedang tidak baik, tentu saja Nyonya Andine tidak bisa setenang itu tidur di atas kasurnya yang empuk untuk berbaring dan bermimpi indah.
Nyonya Andine berfikir, secepatnya dia harus mengambil tindakan sebelum semuanya terus berlanjut. Setelahnya dia pun segera keluar kamar mandi dan mengambil handuk untuk mengelap wajahnya.
"Sebaiknya aku keluar dan memeriksa keadaan Deni. Semoga saja Deni tidak keluar dan masih ada di rumah," batin nyonya Andine.
Nyonya Andine membuka pintu kamarnya lalu menutupnya kembali, lantas dia pun berjalan hendak menuju ruang tamu sambil sesekali matanya melihat ke arah sekeliling. Siapa tahu dirinya akan menemukan sosok Deny tanpa harus langkah kakinya menginjak sampai di ruang tamu, tetapi sampai langkah kakinya jauh meninggalkan pintu kamarnya dia tidak juga menemukan Deny.
"Deny ternyata sudah tidak ada di ruang tamu, apa dia pergi ke kamarnya ya? Sebaiknya aku pergi saja ke sana deh. Kalau perlu aku akan meminta maaf kepada Deny nanti," gumam nyonya Andine.
Nyonya Andine menaiki anak tangga menuju kamar Deny.
Setelah sampai di depan pintu kamar Deny, nyonya Andine merasa sedikit ragu ingin mengetuk pintu kamar anaknya.
Takut jika kehadirannya tidak akan diterima oleh anak semata wayangnya itu. Nyonya Andine menghela nafas pelan, seperti sedang mengumpulkan tenaga.
"Den ... Deny ...."
Nyonya Andine memanggil. Namun tidak terdengar sautan dari dalam, nyonya Andine pun tanpa pikir panjang membuka pintu kamar Deny.
Tidak terlihat sama sekali Deny ada di dalamnya, nyonya Andine pun memutuskan untuk masuk ke kamar dan memeriksa kamar mandi.
Kosong!
"Jangan-jangan Deny sudah pergi lagi, sebenarnya apa yang Deny pikirkan? Kenapa dia tidak pernah mau berpikir bagaimana nantinya jika dia terus melakukan hal itu. Ternyata kemarahanku tadi tidak berarti untuk Deny," desah nyonya Andine merasa kecewa.
Buru-buru nyonya Andine keluar kamar dan menuruni anak tangga. Kini dirinya sudah berada di ruang tamu, dilihatnya tas di atas meja sudah berubah posisi.
Bahkan isinya nyaris berantakan, keluar dari dalam tas miliknya.
"Deny ternyata sudah mengambil ponselnya tanpa seizinku, aturan yang dulu pernah aku terapkan pada Deny benar-benar sudah tidak lagi berlaku lagi sekarang. Apa mungkin Deny pergi ke rumah sakit lagi?" tanya nyonya Andine pada diri sendiri.
Tok ... Tok ...
Nyonya Andine menengok ke arah pintu yang terbuka. Netranya menangkap seseorang tengah berdiri dan menatapnya.
Buru-buru nyonya Andine menemuinya.
"Maaf, kamu siapa ya? Cari siapa dan ada keperluan apa?" tanya nyonya Andine.
"Selamat pagi, Bu. Saya Hendra, teman Deny. Saya mau cari Dini, istri saya," sahut Hendra.
"Suami Dini?"
Nyonya Andine membungkam mulutnya kuat.