Hendra tertawa di sepanjang perjalanannya, dia merasa bahagia karena dia tidak perlu memikirkan soal hutangnya yang entah kapan dia akan bisa membayarnya karena sekarang ini istrinya sedang mencicil hutang sebesar 20 juta kepada Deny. Ditambah lagi Hendra bertemu dengan Lilis dan Hendra diberi uang.
Dua hal itu yang membuat Hendra merasa bahagia.
"Perut udah kenyang dan dompet pun sudah terisi. Sebaiknya aku segera pulang, aku ingin meneruskan tidurku. Karena ini masih terlalu pagi untuk aku pura-pura mencari pekerjaan. Kalaupun Dini nanti cerewet dan menanyakan soal itu, biarlah nanti aku berbaik hati memberikan selembar uang yang diberikan Lilis padaku nanti buat tutup mulut Dini."
Motor yang membawa Hendra kini sudah sampai di pelataran rumahnya. Dia pun memarkirkan motornya dengan sangat rapi.
"Haduh, begini nih yang namanya hidup enak. Tidak perlu bekerja untuk mendapatkan uang, tetapi uang yang akan datang dengan sendirinya kepadaku."
Tangan Hendra memegang handle pintu lalu membuka pintu tersebut.
"Wah, lama juga ya Dini di sana. Jam segini belum pulang, padahal aku cukup lama jalan-jalannya. Tapi dia belum juga balik, tapi biarlah bukankah aku memiliki kesempatan untuk tidur lagi. Masa bodo tentang Dini yang tidak juga pulang, ya semoga saja ada kabar baik dari Deny jalau pelayanan Dini sekalian sampai selesai. Jadi aku tidak perlu repot-repot mencari alasan lagi, aku yakin Deny bakalan suka dengan Dini. Hah ...."
Hendra menepuk-nepuk perutnya yang sedikit buncit, langkah kakinya menuju kamarnya kembali.
Sebelum itu, Hendra memeriksa ponselnya dan mendapati panggilan tidak terjawab sebanyak 19 kali dari Deny.
"Deny? Mau apa dia? Apa jangan-jangan Dini tidak ke rumahnya? Tapi tidak mungkin. Kalau Dini tidak ada di rumahnya, tidak mungkin Deny akan menelponku karena aku tidak mengatakan kapan Dini akan berangkat ke sana. Ini pasti ada sesuatu," gumam Hendra.
"Apa aku telepon balik aja ya," lanjut Hendra sambil menimbang-nimbang ponselnya.
Hendra pun memutuskan untuk menghubungi Deny balik. Ditempelkannya ponsel pada telinganya.
"Lho, kok gak diangkat?" celetuk Hendra yang kini sudah kembali memandang layar ponselnya.
Sekali lagi Hendra mencoba untuk menghubungi Deny lagi lagi tidak ada jawaban.
"Ini orang kemana ya. Bodo amatlah, aku tinggal tidur dulu."
Hendra meletakkan ponselnya di atas nakas, lantas dia mulai berbaring untuk mengambil posisi tidur yang paling nyaman untuk dirinya.
Tidak butuh waktu lama Hendra pun terlelap kembali.
***
Dalam Mobil
"Ma, kenapa Mama harus menyita ponsel Deny? Itu tadi ponselnya berdering, mana tahu itu nanti penting, Ma," protes Deny sambil menyetir.
Nyonya Andine tersenyum sinis.
"Penting apa? Mama udah bisa nebak, ini pasti telepon dari Agus atau dari Udin yang hanya akan mengganggu waktu kamu saja untuk bersama mama. Pokoknya Mama tetap akan sita ponsel kamu, biarlah ponsel kamu ini berada di dalam tas mama terus dan kamu jangan berani-berani untuk mencoba mengambilnya tanpa seizin mama," tegas nyonya Andine sambil jari tangannya menunjuk ke arah Deny.
Deny hanya bisa menggeleng dan masih tidak mempercayai apa yang sedang menimpanya saat ini. Apapun alasannya dan apapun masalahnya menurut Deny, mamanya tidak seharusnya memperlakukan Deny seperti anak kecil dengan cara menyita ponselnya karena ponsel itu sangat penting untuk komunikasi Deny dengan orang di luar sana.
Nyonya Andine merasa dia masih bisa untuk menguasai Deny, meskipun Deny menurut nyonya Andine sudah kelewatan dengan perbuatannya. Namum terlihat sekali Deny masih menghargai nyonya Andine dan tidak nekat untuk melawannya.
Tiba-tiba Deny merasa begitu khawatir dengan keadaan Dini.
"Jangan-jangan tadi Agus atau Udin ingin mengabarkan tentang kondisi Dini yang memburuk. Astaga, tetapi aku tidak boleh berpikir terlalu buruk. Aku sangat yakin Dini akan baik-baik saja karena Dini sudah mendapatkan darah yang dia butuhkan, yang meskipun itu adalah darahku. Darah dari seorang bajingan," batin Deny.
"Aku sangat percaya dengan rumah sakit itu, pasti mereka akan menyembuhkan Dini. Dokter tadi bilang, Dini sudah melewati masa kritisnya."
Nyonya Andine memperhatikan Deny yang tampak melamun.
"Kasihan Deny, dia pasti sekarang merasa dilema. Tapi aku sebagai orang tuanya harus tegas, walaupun wanita itu mungkin adalah kekasih Deny namun aku akan berusaha untuk menjauhkan mereka. Bukan karena aku jahat tetapi karena wanita itu adalah istri orang," batin nyonya Andine.
Mobil telah sampai di depan pintu gerbang rumah keluarga Deny.
Deny segera keluar mobil, dia tidak membuka gerbang untuk jalan mobil masuk. Nyonya Andine pun ikut keluar menyusul Deny dan dibiarkan saja mobilnya berada di depan.
Deny berjalan pelan hendak menuju rumah, nyonya Andine pun masih berada di belakang. Tidak jauh dari posisi Deny berjalan.
"Deny," panggil nyonya Andine. Nafasnya sedikit terengah akibat dirinya berusaha untuk berjalan menjajari Deny.
Deny memperlambat langkahnya agar nyonya Andine dapat menjangkaunya.
"Kamu marah sama mama?" tanya nyonya Andine.
Pertanyaan itu, menurut Deny adalah pertanyaan yang terkonyol yang pernah Deny dapatkan dari seseorang yaitu mamanya sendiri.
Bagaimana mungkin, nyonya Andine malah menanyakan hal itu sedangkan saat ini hati Deny benar-benar sedang kalut dan merasa serba salah. Kalaupun Deny dipaksa harus menjawab pertanyaan itu, pastilah dia akan mengatakan bahwa dirinya marah dengan dirinya sendiri.
"Sudahlah, Ma. Kita ngobrol di dalam saja," sahut Deny dengan suara berat dan sedikit bergetar.
Nyonya Andine melirik ke arah Deny yang sudah berjalan di sampingnya.
Sangat jelas nyonya Andine mendengar jawaban Deny yang amat penuh kesedihan.
Deny mendorong pintu rumah mewah miliknya.
Deny melangkahkan kakinya menuju ke ruang tamu. Dijatuhkannya tubuhnya di sofa.
Deny duduk dengan posisi bersandar agar lebih rileks.
Dadanya terasa sesak akibat menahan berbagai macam perasaannya yang sangat sulit untuk ditepisnya.
Nyonya Andine meletakkan tasnya di atas meja, lantas dia pun juga duduk. Nyonya Andine dan Deny duduk berhadapan.
"Deny, mama siap untuk mendengarkan penjelasanmu. Jangan ada yang kamu kurangi dan juga kamu tambahi. Apa kamu juga sudah siap untuk menceritakan semuanya pada mama?" tanya nyonya Andine.
Ragu Deny untuk berkata jujur. Deny berfikir, untuk saat ini bukan saatnya nyonya Andine mengetahui siapa Deny yang sebenarnya.
Deny takut semuanya akan berantakan setelah nyonya Andine mengetahuinya sekarang. Terlebih lagi, Deny harus menyelesaikan urusannya dengan masa lalunya yang pernah membuat suami Dini mati.
"Baiklah aku akan tetap merahasiakan masalahku pada mama," batin Deny.
Deny duduk dengan posisi tegap.
"Memangnya apa yang pengen mama tau dari aku?" tanya Deny membuka dan memulai sesi tanya jawab tersebut.
Nyonya Andine menyilakkan rambutnya yang panjang terurai.
"Mama pengen tau siapa Dini? Dimana rumahnya? Ada hubungan apa antara kamu dengan dia? Kenapa kamu dan dia ada di rumah sakit? Kenapa kamu begitu perduli dengannya sampai-sampai kamu berani membantah mama?"
Mulut Deny menganga mendengar rentetan pertanyaan nyonya Andine hanya dengan satu nafas dan tanpa jeda.