Mobil yang Deny kendarai sudah menepi tepat di depan rumah Hendra. Deny keluar dari dalam mobil dengan cepat. Matanya memandang ke sekeliling.
"Kayaknya bener ini rumahnya," batin Deny. Deny bergeges melangkahkan kaki saat dirinya sudah yakin bahwa rumah yang ada di depannya ditu adalah rumah Hendra. Apalagi di emperan rumah itu ada motor milik Hendra.
Tanpa banyak menunggu, Deny segera menuju pintu.
Tok ... Tok ...
"Hendra! Hendra!"panggil Deny. Tidak ada jawaban.
"Apa dia pergi ya?" tanya Deny pada diri sendiri.
"Hendra, keluar kamu," lanjut Deny. Lagi-lagi tidak ada jawaban. Deny memegang handle pintu dan daun pintu itu di dorongnya.
"Tidak dikunci?" Deny melihat ke arah jalan, tidak ada siapapun yang melihat aksinya. Deny pun memutuskan untuk masuk ke dalam saja. Dia akan memeriksanya apakah Hendra ada di dalam rumah atau tidak.
"Hendra ...."
ruang tamu kosong.
"Hendra ...."
Dapur juga kosong.
"Hen ...."
Deny melihat Hendra yang masih tidur di kamarnya. Seketika Deny merasa emosinya memuncak saat mendengar dengkuran Hendra yang terdengar keras dan mmenuhi kamar.
Tanpa bicara lagi, Deny langsung menghampiri Hendra dan menyeret selimut yang menutupi separuh tubuhnya dengan gerakan kasar.
Hendra yang merasa terusik tidurnya, kini terbangun. Sebelumnya dia tidak pernah mendapatkan perlakuan kasar selama dia berada di rumahnya, tentu saja sekarang Hendra marasa kaget.
Hendra duduk.
Hendra mengerjapkan matanya beberapa kali dan akhirnya dia menggosok matanya dengan punggung jari-jarinya.
"Hah, Deny?" celetuk Hendra. Hendra kaget setengah mati melihat Deny ada di dalam kamarnya, sebelumnya Deny tidak pernah datang ke rumahnya tapi sekarang tiba-tiba Hendra mendapati Deny berada bersamanya, di kamar rumahnya.
"Deny, kamu ...."
"Kenapa?" sela Deny cepat.
"Kamu kok bisa ada di sini? Bukannya kamu dan istriku seharusnya ...."
Deny langsung menarik krah jaket Hendra. Hendra beranjak dari tempat tidurnya saat Deny menariknya hendak keluar kamar.
"Ekh ... sabar, Den Ini ada apa?" tanya Hendra bingung.
Duak ...
"Akh ...."
Satu pukulan keras mendarat di pipi Hendra. Tubuh Hendra terbentur kursi di ruang tamu, sudut bibir Hendra mengeluarkan cairan darah segar.
"Itu satu pukulan dariku untuk membalas tamparan istrimu," dengus Deny.
Mata Hendra membulat mendengar Dini menampar Deny. Belum sempat Hendra bermain dengan pikirannya namun Deny sudah menarik krah jaket Hendra lagi.
"Ayo bangun kau, Hendra!"
Dengan badan terhuyung-huyung, Hendra bangun dari tempat Hendra jatuh.
Duak ...
"Akh ...."
kembali Hendra jatuh ke lantai.
"Itu satu pukulan dariku untuk membalas tamparan dari mamaku akibat ide gilamu," lanjut Deny.
Hendra tidak dapat berbuat apa-apa, dia juga tidak mungkin melawan apa yang telah Deny lakukan padanya.
Tak sampai di situ, Deny kembali membangunkan Hendra dan hendak memukulnya lagi untuk atas namanya sendiri. Namun suara seseorang di depan pintu membuat Deny menghentikan aksinya.
"Berhenti!" teriaknya.
Deny maupun Hendra menengok ke arah pintu yang sejak tadi terbuka lebar.
Dewa dan Dewi datang, mereka baru pulang sekolah.
Kedua bocah itu memandang sosok Hendra yang menjadi papa sambungnya dengan pandangan iba.
Dewa menghambur dan melepaskan cegkraman Deny, sedangkan Dewi menggenggam erat lengan Hendra.
"Kenapa Om pukuli papa kami? Kenapa Om tega sekali pada papa?" tanya Dewa.
"Iya, Om jahat!" sambung Dewi.
Deny tidak berkutik ketika dirinya mendapat teguran dari kedua bocah itu. Entah mengapa wajah mereka mengingatkan wajah almarhum suami Dini.
Tanpa banyak bicara, Deny pergi keluar dari rumah Hendra. Deny tidak mungkin akan mengatakan ataupun menceritakan apa yang terjadi di depan anak-anaknya. Bisa bertambah repot nanti.
Deny memilih pergi.
Dengan sangat jelas, Hendra mendengar Deny menginjak gas begitukencang meninggalkan halaman rumahnya.
"Papa ... Papa gak papa kan?" tanya dewa yang meneliti keadaan Hendra dengan sangat khawatir.
Hendra menggeleng.
"Papa gak papa kok, Sayang. Kalian gak usah khawatirkan papa. Papa baik-baik saja," sahut Hendra.
"Tapi, Pa. Om tadi siapa? Kenapa om tadi mau pukul Papa?" tanya Dewi.
"Gak tau, Nak. Dia hanya salah alamat, sudah ya ... gak usah kalian pikirkan. Mendingan sekarang kalian masuk kamar dan ganti pakaian lalu makan. Kalian capek kan, jangan lupa istirahat bobok siang ya. Nanti sore tinggal ngaji," nasehat Hendra.
"Iya, Pa," sahut Dewa dan Dewi secara serentak.
Hendra melepas kedua anaknya.
"Untung saja ada Dewa dan Dewi, kalau tidak ... aku bisa habis oleh Deny. Tapi kenapa Deny pergi begitu saja? Kenapa Deny malah datang ke sini? Kemana Dini? Kacau semua rencanaku, aku harus siap-siap dengan segala kemungkinan buruk yang bakalan terjadi padaku yang entah kapan itu," batin Hendra.
***
"Aaarrrggghhh ...."
Deny menggebrak stir mobil yang di kendarainya.
"Benar apa kata anak-anak itu, aku memang jahat." Deny menggaruknya kepalanya yang tidak gatal dengan gerakan kasar.
"Apa yang terjadi denganku hari ini, aku begitu bodoh! Hendra sialan, ini semua karena dia. Semuanya harus terungkap setelah sekian lama aku mencoba melupakan kejadian itu. Dan apa yang akhirnya terjadi? Aku terjebak sendiri di sini, mau tak mau aku harus menghadapinya juga," gerundel Deny.
"Tapi soal anak-anak tu, sungguh nasibnya begitu malang. Mereka mungkin pernah merasakan kesedihan akibat dari perbuatanku. Apa mungkin kesedihan itu sudah mereka lupakan? Apa sekarang sudah merasa bahagia hidup dengan Hendra yang jelas-jelas Hendra hanyalah lelaki bejat? Hendra juga sudah teg menjual ibu mereka padaku. Secara tidak sadar, aku telah merampas masa depan mereka. Aku bingung, aku harus memperbaiki semuanya dari mana," desah Deny.
Deny tidak ingin kembali ke rumah, dia merasa lelah harus berdrama di depan mamanya sebagai anak yang baik, tapi bukankah nyonya Andine sudah tau siapa Deny?
Deny memutuskan untuk kembali ke rumah sakit, di sana dia akan lebih tenang setelah memantau sendiri keadaan Dini.
Deny tidak bisa mengandalkan Agus dan Udin untuk memberitahukan setiap perkembangan Dini. Mau bagaimanapun Deny harus ada di sana agar keadaan Deny sedikit tenang.
"Tapi bagaimana dengan urusn Hendra? Selama anak-anaknya ada di rumah, aku tidak mungkin datang ke sana. Baiklah, nanti saja aku akan menghubunginya."
Tak terasa mobil sudah terparkir dengan sempurna di area rumah sakit.
Deny tidak menyangka, pagi ini dia sudah kemana-mana padahal dirinya belum sempat mandi.
"Boss," sambut Agus dan Udin saat melihat kedatangan Deny.
"Kalian berdua. Gimana, apa sudah ada kabar terbaru dari Dini dari dokter?" tanya Deny.
"Iya, Boss. Dini sempat kritis lagi. Tapi Boss tenang saja, sekarang keadaannya sudah kembali stabil," ucap Udin.
Deny merasa jantungnya sempat berhenti tatkala mendengar kata 'kritis'. Deny tidak bisa membayangkan jika sampai Dini tidak bisa bangun lagi. Tentu saja dosanya akan bertambah banyak.
"Aku masuk dulu," pamit Deny pada kedua anak buahnya.
Agus maupun Udin mempersilahkan Deny.
"Ada apa dengan boss Deny? Kenapa aku melihat kekhawatiran yang amat besar darinya," celetuk Agus yang mendapati Deny sudah tidak terlihat lagi.