"Ma, tolong jangan hadapkan Deny dengan pertanyaan yang ...."
"Kamu tinggal menjawabnya saja, Den. Mama tau kalau selama mama pergi, kamu berkelakuan gak bener di rumah. Sekarang kamu jujur sama mama, sudah berapa banyak kamu tidur dengan Dini itu?" lontar nyonya Andine sedikit menjerit.
"Engg-enggak, Ma. Kenapa mama bisa berfikir kalau aku macam-macam selama mama tidak di rumah? Semuanya itu gak bener, Ma. Mama jangan berfikir macam-macam dan soal Dini ... aku dan dia tidak pernah melakukannya, Ma," jelas Deny.
"Enggak, Deny. Kamu tolong jujur sama mama, selama ini mama tidak pernah meminta apapun dari kamu. Mama cuma minta kali ini saja kamu berkata jujur sama mama," rengek nyonya Andine yang merasa dirinya telah gagal mendidik anak semata wayangnya.
Di pelupuk matanya masih sangat jelas netranya menemukan bekas kondom yang lumayan banyak di bawah ranjang kamar Deny.
Hati nyonya Andine merasakan sakit, sakit karena dia tidak mengetahui apa yang selama ini anaknya lakukan.
Tak terasa air mata nyonya Andine meleleh. Sebagai seorang ibu, nyonya Andine merasa terpukul mengetahui kejadian itu.
"Ma, Mama kenapa nangis?" tanya Deny yang kini berdiri dan duduk di samping nyonya Andine.
Untuk sesaat, nyonya Andine tidak bisa berkata apa-apa. Dia masih dikuasai dengan kesedihan.
Deny telah dewasa, dia sudah melakukan perbuatan terlarang yang mungkin terjadi berulang kali di rumahnya. Dan celakanya nyonya Andine baru tau sekarang. Mungkin pembantunya lebih tau, namun selama ini nyonya Andine merasa tidak mendapatkan laporan apapun.
Tangan Deny menghapus air mata mamanya, Deny merasa sedih juga jika harus menyaksikan mamanya terisak dalam tangis di depan mata kepalanya sendiri.
Deny meraih tangan nyonya Andine dengan gerakan lembut, kemudian menggenggamnya erat.
"Ma, Mama jangan nangis ya. Mungkin di mata Mama saat ini Deny masih anak kemarin sore. Tapi Deny sadar, Ma. Sadar dengan apa yang Deny lakukan. Jadi Mama tidak perlu terlalu memikirkan aku, aku sudah memikirkan resiko apa yang akan Deny dapat," ujar Deny.
"Kamu ... mama tidak bisa menerima semua ini begitu saja, Deny. Mama tidak bisa terima dengan apa yang kamu perbuat, ini sungguh sudah sangat keterlaluan. Mama bisa marah sama kamu, kamu ...."
Nyonya Andine merasa tidak dapat mengungkapkan apa yang ingin di katakannya.
Hanya air mata yang terus keluar dari pelupuk matanya.
"Ma, sudahlah. Mama tenangin diri dulu, Mama kan belum tau siapa Dini. Aku dan Dini itu tidak ada hubungan apa-apa, dia itu datang ke sini cuma mau cuci bajuku. Dia itu tukang cuci gosok dan dia baru pertama kalinya ke rumah ini. Mama jangan berfikir yang enggak-enggak tentang hubungan kami," jelas Deny pelan.
Nyonya Andine menggeleng pelan tanda tidak percaya.
"Kenapa, Ma? Mama gak percaya? Mama bisa cek ke belakang, di sana pakaianku yang di cuci Dini tadi masih basah di jemuran. Gak mungkin kan kalau Deny atau Agus atau Udin yang nyuci," urai Deny.
"Deny, akan ada banyak alasan untuk seseorang yang berbohong dan ingin bersembunyi dari kebohongannya. Saat ini mama tidak bisa percaya begitu saja denganmu. Mama menemukan banyak sekali bekas kondom di kamar kamu dan juga botol minuman beralkohol. Jika selama ini kamu minta kepercayaan pada Mama, sudah mama berikan pada kamu, Deny. Tapi kamu ... kamu sudah membuat mama kecewa. Sadar gak sih, Deny. Kamu udah bikin hubungan kita rusak. Mama sudah kehilangan papa. Papa sudah meninggalkan mama untuk selama-lamanya. Mama gak mau itu terjadi sama kamu," pekik nyonya Andine.
"Deny tau, Ma. Papa meninggal karena kelebihan dosis obat kuat saat hendak berkencan dengan selingkuhannya kan? Bukan karena kanker? Tapi Mama jangan pernah samakan Deny dan papa, Ma.
Plak!
Kali ini bukan hanya Dini saja yang sudah berani menampar Deny, bahkan nyonya Andine yang selama ini bersikap lemah lembut sudah berani menampar Deny.
Deny kira, Dini akan menjadi satu-satunya manusia yang menyentuh pipi Deny dengan kasar. Ternyata mamanya pun juga melakukannya.
Deny terdiam, dia tidak percaya mamanya telah melakukannya. Nyonya Andine berdiri dan berlarike arah kamarnya.
"Mama ...." desah Deny pelan.
Mata Deny sudah terasa panas. Untuk pertama kalinya, Deny menangis karena mamanya.
"Aku baru sadar, aku tidak pantas berbicara begitu dengan mama. Walaupun aku memaksa mama untuk mengakui bahwa aku sudah dewasa, tapi nyatanya aku masih seperti anak kecil. Bahkan aku sampai menangis hanya karena masalah seperti ini. Tapi mama ... sampai kapan mama akan menyembunyikan identitas buruk tentang papa di hadapanku? Aku sudah tau semuanya meskipun papa dulu meninggal ketika aku masih kecil . Namun jejak perjalanan hidupnya dapat aku korek kembali. Mama selalu saja memberikan cerita yang indah-indah tentang papa."
Deny mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan mencoba menetralkan ingusnya yang sudah terdengar.
"Hati mama pasti terluka banget gara-gara aku tau yang sebenarnya, tapi bukan saatnya untuk aku menemuinya sekarang. Sebaiknya aku pergi saja ke rumah Hendra. Semoga saja mama bisa tenangin diri tanpa ada aku."
Deny berdiri dan sekali lagi mengusap wajah dan matanya. Deny melihat tas nyonya Andine masih berada di atas meja. Deny segera menggeledah isi tas tersebut untuk menemukan ponselnya.
"Sorry, Ma. Aku ambil ponselku tanpa izin dari mama, tapi mama harus tau ... aku akan berusaha selesaikan masalah ini secepatnya," gumam Deny.
Setelahnya Deny berjalan keluar rumah. Secepatnya dia harus bertemu dengan Hendra. Hendra harus bertanggung jawab dengan apa yang terjadi pagi ini, begitu pikir Deny.
Deny berlari menuju mobil yang masih ada di luar pintu gerbang. Mobil milik nyonya Andine!
Deny berfikir, untuk semenara ini nyonya Andine tidak mungkin akan pergi ke luar rumah. Deny pun memakainya karena mobil Deny ada di rumah sakit.
Deny menstarter mobilnya dan mobil itu pun bergerak dengan cepat.
"Hendra benar-benar sudah menyepelekanku, berkali-kali aku menghubunginya tapi tidak ada respon," geram Deny. Tangan Deny menyetir dan memeriksa ponselnya.
"Ohh, rupanya tadi yang menghubungi aku adalah Hendra. Bukan Agus atau Udin. Aku memang tidak bisa menjawabnya karena ponselku di sita mama. Tapi lihat saja nanti kalau aku sudah bertemu dengannya," gumam Deny.
Deny meletakkan ponselnya di rak mobil, kemudian menambah kecepatan laju mobilnya. dia ingin segera sampai dan menemukan Hendra.
Di perjalanan, Hendra menerjang jalan bergeronjal dan berlubang. Tubuhnya sampai terobang ambing karena harus menyeimbangkan dengan pergerakan mobil yang di kendarainya. Para pejalan kaki dan pengendara yang melintas di jalanan yang sempit itu memilih menyingkir. Mereka mengalah untuk memberikan jalan pada Deny dengan alasan takut tertabrak.
Tulang-tulang dalam tubuhnya terasa seperti rontok. Entah kenapa jalanan menuju kampung Hendra begitu rusak.