"Apa mungkin Dini mengenalku? Jika dia mengenalku, apakah dia akan menerimanya jika aku telah menyebabkan suaminya meninggal? Tapi ... tidak, tidak mungkin dia mengenaliku karena sejak tadi dia tidak menyinggung soal itu. Aku harus bagaimana sekarang? Kejadian itu sudah bertahun-tahun yang lalu, tetapi kenapa ketakutan itu muncul kembali."
"Aku tidak mungkin bisa terus-terusan begini, aku akan selesaikan masalah ini secepatnya dengan Haris. Kalau perlu aku akan merelakan hutang Haris sebesar 20 juta itu demi tidak berhubungan dengan Dini. Haris benar-benar kurang ajar karena dia telah mempertemukan aku dengan wanita ini, aku tidak akan pernah memaafkannya! Awas aja nanti jika aku bertemu dengannya. Apalagi kalau sampai aku melihat dia main lagi, aku pastikan akan aku berikan pelajaran untuknya apalagi jika hutangnya belum dia bayar," pikir Deny.
Deny melihat ke arah pintu, tidak ada tanda-tanda bahwa Agus dan Udin berada di depan sana. Deny pun memutuskan untuk keluar ruang ICU.
Deny menengok kanan dan kiri, serta sekitarnya.
"Ternyata benar, mereka belum juga ada di sini. Lama sekali mereka pergi, benar-benar tidak bisa dihandalkan," gerundel Deny.
Deny kembali duduk di kursi tunggu, di depan ruang ICU.
"Arrrggghhh ...."
Deny berteriak sekencang-kencangnya, untuk menumpahkan kekesalannya pada dirinya sendiri. Sudah dua kali dia mencelakai dan merebut kebahagiaan dan kebebasan Dini.
Deni tidak bisa mengerti akan hatinya sekarang, apakah Deny merasa kasihan ataukah Deny justru merasa kesal?
Deny menunduk, lama sekali dia berdiam diri untuk menenangkan dirinya dan mencoba meredam kegelisahannya.
"Deny ...." panggil seseorang. Deny menengadah, dilihatnya di hadapannya sekarang mamanya sedang menatapnya tajam.
"Ma-Mama ...." Deny langsung berdiri dari tempat duduknya.
"Mama kok sudah balik?" tanya Deny.
"Deny! Kamu ini benar-benar keterlaluan ya. Mama sejak tadi telepon kamu tapi ponsel kamu tidak kamu bawa dan kamu ngapain di sini? Mama kira kamu sakit tapi ternyata kamu baik-baik saja," celoteh nyonya Andine.
"Enggak, a-aku gak kenapa-kenapa, Ma. Tapi kok Mama sudah ...."
"Ohh jadi kamu merasa tidak senang jika Mama ada di rumah dan bisa pulang cepet begitu maksud kamu?" potong nyonya Andine cepat.
"Ya bukannya begitu, Ma. Tapi aku cuma kaget saja, enggak nyangka kalau Mama bakalan pulang cepet. Kalau Mama bilang pasti aku akan jemput Mama," sahut Deny.
"Enggak, bukan itu maksud kamu. Mama yakin kamu seneng kan kalau Mama pergi lama-lama. Karena dengan itu kamu bisa senang-senang di rumah, kamu bisa seenaknya di rumah, iya kan?" ucap nyonya Andine bertubi-tubi membuat kepala Deny semakin pening.
"Haduh, Ma. Mama itu ngomong apa sih. Gimana bisa aku seneng-seneng di rumah jika tidak ada Mama. Mama sudah salah nuduh," kelit Deni.
"Apa kamu bilang, Deny? Nuduh? Mama gak pernah berbicara tanpa landasan. Lihat ini ...." Nyonya Andine merogoh tasnya hendak mengeluarkan sesuatu.
Deny menatap ke arah Agus dan Udin yang sejak tadi setia berdiri di belakang nyonya Andine dengan tatapan menusuk. Menyadari bahwa sang Boss sedang memandangi mereka, mereka pun menunduk.
"Deny, lihat ... mama menemukan sebuah KTP wanita di rumah. Nih coba kamu baca, kamu mau menyangkal apa lagi? Dan wanita itu berstatus istri orang. Sekarang coba jujur sama mama, sebenarnya apa yang kamu dan dia lakukan di rumah? Kenapa sekarang dia ada di rumah sakit?" tanya nyonya Andine.
"Ternyata benar, mama sudah mengetahui tentang hal itu," batin Deny. Deny merasa takut jika dia mengatakan hal yang sebenarnya maka mamanya akan murka.
Tidak sanggup jika harus mengatakan bahwa Dini datang ke rumah untuk memberikan pelayanan guna membayar hutang-hutang suaminya.
"Kenapa kamu diam, Den? Ayo jawab pertanyaan mama," pinta nyonya Andine dengan penuh selidik.
"Deny?" panggil nyonya Andine lagi. Nyonya Andine menggeleng cepat.
"Kamu itu bener-bener udah kelewatan. Mama nggak pernah ngajarin kamu kayak gini, Deny. Kenapa kamu bisa sesama laki-laki menyakiti, coba kamu bayangkan bagaimana rasanya jika kamu memiliki istri dan istri kamu berselingkuh dari kamu. Apa kamu tidak marah? Apa kamu tidak kecewa? Kenapa kamu tidak memikirkan semua itu, sampai sejauh ini? Coba kamu sekarang pikirkan ucapan mama tadi," celoteh nyonya Andine.
Lagi-lagi Deny terdiam tidak menanggapi. Nyonya Andine menjadi tidak bisa bersabar lagi.
"Deny! Kamu belum jawab pertanyaan Mama. Kenapa kamu ada di rumah sakit? Kamu tidak kenapa-kenapa kan?" kata nyonya Andine untuk yang kesekian kalinya.
Nyonya Andine meraih kedua tangan Deny, lantas menelitinya. Salah satu pergelangan tangannya masih ada handsaplas.
"Deny, ini bekas suntikan apa?" tanya nyonya Andine tidak menyerah.
"Deny, ayo ngomong. Kamu jangan diem aja," lanjutnya.
"Permisi. Mohon maaf, dengan keluarga ibu Dini?"
Tiba-tiba seorang suster menyela perbincangan antara nyonya Andine dan Deny. Mereka pun dengan serentak menengok ke arah suster yang sudah berdiri di samping mereka.
Nyonya Andine melepaskan tangannya, sedangkan Deny menyahut.
"Iya saya, Sus," ucap Deny cepet.
"Apakah biaya untuk perawatan ibu Dini sudah diselesaikan, Pak? Kami hanya ingin mengingatkan untuk segera mengurusnya," kata Suster tersebut.
"Iya, Sus. Saya akan segera mengurusnya, terima kasih," sahut Deny.
"Ya sudah kalau begitu. Saya permisi ya, Pak. Mari, Bu," pamit suster tersebut lalu berlalu meninggalkan Deny dan mamanya serta kedua anak buahnya yang masih berdiri di tempatnya masing-masing.
"Deny, jadi kamu di sini karena wanita yang bernama Dini itu dirawat di sini? Katakan sama mama, apa ini ada hubungannya dengan darah di dapur tadi?" Nyonya Andine memulai percakapan dengan mengajukan pertanyaan kembali pada Deny.
"Ma ... Mama bisa tenang nggak sih? Kalau Mama terus-terusan berbicara. Deny tidak bisa menjawab semua pertanyaan dari Mama. Deby perlu ketenangan untuk berpikir. Tolong, Deny mohon sama Mama. Mama yang tenang ya," pinta Deny sambil menyentuh kedua bahu mamanya.
"Bagaimana mungkin mama bisa tenang. Coba kamu pikirkan keadaan Mama, Deny. Mama bingung dengan pikiran mama yang harus menerka-nerka seperti ini, mama butuh penjelasan kamu. Semua yang selama ini Mama lakukan itu demi kamu, Deny. Dan mama melakukan ini juga karena mama peduli denganmu. Mama tidak ingin kamu kenapa-kenapa, mama hanya ingin kamu berada di jalan yang benar, Nak. Tolong kamu mengertiin mama juga, Please."
"Oke-oke, semua akan Deny jelaskan tapi nantin ya. Setelah Deny menyelesaikan administrasi untuk perawatan Dini di dalam," kata Deny. Tidak ada jawaban dari mulut nyonya Andine.
Deny memahami, sangat memahami jiwa mamanya yang mungkin sedikit terguncang akibat kejadian di depan matanya.
Deny berlalu pergi meninggalkan nyonya Andine. Dia meminta dompetnya dari tangan Agus.
"Aku titip mama," bisik Deny lalu mencuri pandang ke arah nyonya Andine.
"Baik, Boss," jawab Agus dan Udin serentak.
Setelah mendapatkan dompetnya, Deni pun segera bergegas menuju loket pembayaran rumah sakit di bagian administrasi.