Ketika hari mulai malam, Mayang yang baru saja pulang dari bimbel terkejut melihat Chika yang telah menunggunya di teras depan rumahnya. Dia tampak tersenyum simpul memandangi Mayang yang baru saja di bonceng Raymond.
"Ciye-ciye, lo banyak koneksi cowker juga. Andai mau, gimana nih kalau kita buka agent biro jodoh?" goda Chika pada Mayang.
Mayang tertawa mendengar perkataaan Chika.
"Chika, lo ini ada-ada aja deh. Lagian, daripada ngecomblangin (menjodohkan) orang, mendingan bust gue aja. Kan, lumayan juga buat koleksi," balas Mayang dengan tawa ringan.
Kedua sahabat itu tertawa ringan. Mayang langsung mengajak Chika masuk ke kamarnya.
Di dalam kamarnya, Chika melihat banyak sekali koleksi boneka dan manga milik Mayang. Namun, yang menarik perhatianya adalah koleksi manga milik Mayang. Dilihatnya koleksi manga itu. Dia rupanya tertarik dengan beberapa judul manga koleksi Mayang.
"May, manga lo bagus-bagus nih. Boleh gak gue pinjam?" tanya Chika.
"Boleh aja, tapi besok kembali ya. Soalnya ada beberapa yang udah gak terbit. Gue sih sayang banget ama tuh komik," kata Mayang.
Chika tersenyum puas. Namun, dia menundanya karena ujian tengah semester sudah dekat.
"May, gue pnjam buku paket bimbel lo boleh? Gue mau fotokopi nih," kata Chika.
"Boleh sih, lo mau pinjam apa?" tanya Mayang.
"Gue pinjam buku paket lo yang kimia. Soalnya, gue butuh cari alternative rumus untuk mempercepat tugas kimia gue," kata Chika.
Mayang keheranan. Dia rasakan pelajaran kimia untuk kelas XI memang sulit sekali, namun ternyata Chika pun mengalami kesulitan.
"Lho, Chik. Lo juga kesulitan dengan pelajaran kimia? Kan seingat gue nilai kiia lo di kelas X bagus. Dan. Sepertinya lo juga jago dengan pelajaran kimia," kata Mayang keheranan.
Chika tersenyum manis. "Menurut lo mungkin gue sanggup. Padahal sama aja. Gue pingin cari rumus yang lebih moncer (cepat) daripada yang gue terima dari guru," kata Chika.
Mayang manggut-manggut. Dia mengambil buku paket kimia dan memberikannnya pada Chika. Chika membacanya sesaat, dan ternyata yang dia cari ada. Chika begitu senang.
"Wow, bimbel lo beneran keren nih. Rumus ini singkat dan simple banget," kata Chika.
Chika begitu senang membaca buku itu. Setelah puas membacanya, Chika berniat memfoto copy buku itu.
"Eh, May. Anterin gue fotokopi sebentar ya," ajak Chika.
Mayang tersenyum simpul mendengar perkataan Chika.
"Uhm, lo bawa aja buku itu. Besok biar gue ambil ke sekolah lo," kata Mayang.
Chika terperanjat mendengar perkataan Mayang yang begitu santai.
"Tapi, May, loe pasti butuh buku ini. Lagian, tadi gue lihat kayaknya lo ada tugas," kata Chika.
"Udah, tenang aja. Gue tugas bisa ngerayu instruktur gue," kata Mayang dengan santai.
Chika menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Mayang.
"May, loe itu pinter. Ngapain nyuruh orang lain kerjain soal begini? Ayolah, May. Jangan menyerah. Gue gak mau kehilangan Mayang yang pernah gue kenal," kata Chika dengan sedikit kecewa.
Mayang terdiam sejenak. Dia pandangi Chika yang menampakkan raut wajah kecewa. Dia kembali memikirkan perkataan sahabatnya itu.
"Uhm, bener juga Chika. Kalo gue hanya bisa ngerayu, ngapain juga gue ikut bimbel?" bathinnya.
Mayang akhirnya tersadar. Dia kembali tersenyum pada Chika. Dengan lembut, dia sentuh pundak sahabatnya itu.
"Chik, makasih lo udah ingetin gue. Gue janji akan berusaha sendiri," kata Mayang.
"Sudah, May. Gue perduli sama lo. Yuk, anterin gue fotokopi bentar aja. Habis itu, gue langsung pulang buat belajar," ajak Chika.
Mayang hanya tersenyum mengangguk. Mereka berdua segera beranjak dari kamar Mayang dan pergi ke tempat fotokopi di dekat rumah Mayang. Rupanya, di sana tengah antre. Sambil menunggu giliran, Chika yang penasaran dengan Raymond iseng bertanya pada Mayang.
"Eh, May. Tadi cowok yang nganterin loe pulang itu siapa? Koq perasaan gue berlum pernah lihat dia?" tanya Chika.
"Oh, dia Raymond, anak SMA Putra Bangsa," kata Mayang.
Chika sempat terperanjat. Dia menatap Mayang seolah tak percaya. Chika ingat benar bagaimana reputasi SMA Putra Bangsa.
"Hah?! Bagaimana Mayang bisa berteman dengan anak SMA Putra Bangsa? Bukannya di sana adalah tempatnya siswa buangan?" bathinnya.
Chika teringat dengan ocehan tetangganya mengenai siswa sma itu. Belum lagi, nama SMA itu sering muncul di surat kabar sebagai lokasi persembunyian bandar narkoba sekaligus sebagai cluster peredaran narkoba yang cukup terkenal. Belum lagi, beberapa siswi di sma itu kedapatan sering menjajakan dirinya pada pria hidung belang.
"Eh, Chik. Koq loe bengong?" tanya Mayang yang melihat Chika bengong.
Chika menatap Mayang. Raut wajah cemasnya tampak.
"May, lo gak di apa-apain kan ama tuh cowok?" tanya Chika.
Mayang tesenyum manis. "Ya enggak, lah. Malahan, tuh cowok baik lho. Memang, gue tahu bagaimana reputasi smanya dia. Tapi, Chik. Lo musti tahu, ada temen sekolah lo yang justru akrab sama dia."
"Oh ya? Siapa, May?" tanya Chika keheranan.
Percakapan mereka terputus setelah pegawai fotokopi itu memanggil Chika. Mereka buru-buru mendatanginya, dan membayar sejumlah uang. Setelah itu, mereka berdua kembali ke rumah Mayang. Sesampainya di sana, Mayang kembali mengajak Chika ke kamarnya. Di kamar itu, mereka melanjutkan percakapannya.
"Chik, temen satu sekolah lo yang akrab sama Raymond itu namanya Rita," kata Mayang.
"Rita? Serius lo?" tanya Chika.
"Iya, gue serius. Jujur, gue sempat cemburu sama dia. Dia bisa begitu akrab dengan Raymond, walau hanya teman biasa," kata Mayang.
Chika kembali berfikir. Dia tak menyangka, Rita yang jadi pesaingnya selama ini ternyata malah akrab dengan sosok Raymond yang berasal dari SMA itu.
"Chik, lo kenal sama Rita?" tanya Mayang.
"Kenal, May. Dia itu saingan gue dalam hal pelajaran. Tuh anak padahal pendiam lho. Di sekolah gue, dia gak terlalu banyak teman. Tapi, emang sih dia supel," kata Chika.
Mayang manggut-manggut. Chika melihat arlojinya. Rupanya tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 19:00. Chika segera pamit untuk pulang ke rumahnya. Sepeninggal Chika, Mayang kembali masuk ke kamarnya dan belajar.
Sementara itu, di kamarnya Raymond tengah berusaha mengerjakan PR matematika dari Bu Silvy. Dia tampak begitu pusing karena begitu banyak tugas yang diberikan. Otaknya tampak buntu.
"Ugh! Gue nih kalo ngerjain tugas matematika sebanyak ini tiap hari bisa botak nih!" katanya dalam hati.
Berkali-kali Raymond mengusap wajahnya yang begitu pusing dengan banyaknya tugas matematika yang diberikan Bu Silvy. Setelah dua jam mencoba mengerjakan, kepalanya begitu pusing.
"Iiih! Gila. Udah dua jam gue kerjain nih tugas, baru selesai separuhnya. Waduh, gimane ulangannya? Bisa koit(mampus) gue ngapalin angka-angka," bathinya.
Karena penat, akhirnya Raymond menyerah. Dia tutup bukunya dan mematikan lampu meja belajarnya. Raymond yang tampak penat akhirnya berbaring di tempat tidurnya. Dia mengambil gitanya dan mulai memainkan sebuah instrument klasik.
Hari berganti hari. Tak terasa, dua minggu berlalu. Saatnya Ujian tengah semester. Raymond tampak berusaha keras untuk mengerjakan soal ujian itu. Hari demi hari terasa begitu berat bagi Raymond.
Setelah ujian tengah semester selama seminggu, hasil ujian pun dibagikan. Dan, tentu saja nilai ujiannya tak begitu menonjol.
"Eh, Bhro. Gimana ujian lo?' tanya Dion.
"Yah, mo gimana lagi. Gue udah usaha, tapi mungkin gue harus puas di posisi aman satu doang," kata Raymond.
Dion tertawa lepas. Dia tunjukkan hasil ujiannya yang ternyata jauh lebih parah daripada miliknya.
"Yah, lebih parah punya gue, Ray. Noh, dapat nilai cerah alias merah semua," kata Dion dengan tawa lepas.
"Bhro, gak apa aman satu. Daripada gue, malah ada dua yang dapat nilai E. alamat nih gue musti ngulang ujian," kata Wahyu.
Raymond memberi semangat pada Wahyu.
"Bhro. Gue janji nanti kalo lo beneran ngulang, gue bakalan jadi cheerleader deh buat nyemangatin lo," kata Raymond.
Sejenak Wahyu dan Dion saling berpandangan. Mereka tampak menahan tawa membayangkan Raymond berpakaian cheerleader.
"Hahahha, serius lo, Ray?" tawa Wahyu pun lepas.
Raymond tertawa lepas. "Kagak lah. Emang loe mau lihat penampilan gue pake baju cheerleader?"
Mereka bertiga tertawa lepas. Setelah beberapa lama, Raymond berkata pada teman sekelasnya.
"Eh, ini kan waktunya class meeting. Gue mau main musik dulu ya. Nih teman band gue udah nungguin," kata Raymond pada temannya.
"Oke, Bhro," balas Wahyu dan Dion bersamaan
Raymond langsung beranjak ke studio music sekolah, dan menemui teman bandnya. Tampak Rinda ada di sana menemani Romi.
"Eh, Ray. Gimana ujian lo?" tanya Victor.
"Yah, seperti biasa, Bro. Baru aman satu," kata Raymond.
"Sudah, gak apa-apa. Mungkin talent lo ada di bidang lain," kata Yusta menghibur.
Raymond merasa terhibur dengan perkataan Yusta. Dia lalu memandangi Romi yang tengah bersama Rinda.
"Eh, kalo lo, Rom?" tanya Raymond pada Romi.
Romi tersenyum manis sambil memandang mesra pada Rinda. Dia merangkul mesra tunangannya.
"Gue senang ada sedikit peningkatan. Tapi, gue tetap lemah di bidang sains dan matematika. Alamat gue bakal masuk Kelas juru kunci alias Kelas PS," kata Romi.
"Sudah, Say. Yang penting kamu usaha. Aku sudah cukup senang dengan kamu apa adanya," balas Rinda dengan tatapan mesra.
Mereka akhirnya mulai mencoba memainkan sebuah lagu dari Dewa 19 dengan alat music di studio itu.
Rupanya, permainan mereka menarik perhatian siswa dan adik kelas. Sebagian siswa melihat mereka berlatih, dan sesekali mereka bertepuk tangan setelah mendengar sebuah lagu yang mereka mainkan.