Sementara itu, di SMA 52, Chika yang merasa penasaran dengan sosok Raymond berniat mendatangi Rita. Chika berjalan menuju ke kelas XI-C, tempat Rita belajar. Chika melihat Rita tengah duduk sendiri sambil memutar bukunya di jari tengah. Chika mendekatinya dan duduk di sebelahnya.
"Eh, Lo, Chik," sapa Rita dengan senyum ramah.
"Lo gak lihat pertandingan volley di lapangan?" tanya Chika berbasa-basi.
Rita hanya menggeleng. Dia tersenyum sambil asyik memainkan bukunya. Namun, tak lama kemudian Rita melepas headsetnya, dan mematikan mode audio di hpnya. Dia berbicara pada Chika.
"Eh, Chik. Gue seneng jadi saingan cewek popular seperti lo. Bagaimana dengan Ujian tengah semester lo?" tanya Rita.
Chika tersenyum manis. Dia menatap Rita.
"Syukurlah, ujian gue yah, cukup bagus lah. Setidaknya gak ada merahnya. Kalo lo?," kata Chika.
"Yah, gue cukup bersyukur dengan nilai gue sekarang. Tapi, gue masih pingin jadi ahli bahasa, walau kelas gue ternyata IPA," kata Rita dengan senyum manis.
Chika diam sesaat. Dia memandang jauh ke depan, dan kembali berfikir untuk menyampaikan niatnya. Setelah menghela nafas sesaat, Chika mulai menyampaikan maksudnya.
"Rita, Gue juga seneng kita bisa bersaing dengan prestasi. Uhm … gue ada pertanyaan, seputar cowok," kata Chika mulai mengungkapkan perasaan penasarannya.
Rita tertawa ringan melihat Chika yang malu-malu menceritakan permasalahannya.
"Ya elah, kok tumben lo tanya seputar cowok. Lo sudah begitu popular di kalangan cowok keren di SMA ini. Dan, gue gak lihat lo sepenasaran ini deh terhadap cowok," kata Rita dengan senyum keheranan.
Chika tertawa menahan malu. Wajahnya sedikit memerah menahan malu. Dilihatnya tempat itu begitu sepi.
"Rita, lo kenal dengan cowok yang namanya Raymond?" tanya Chika setengah berbisik.
"Ya elah, tuh cowok? Tentu kenal lah. Dia tuh sohiban ama gue," kata Rita sambil tersenyum simpul.
Chika mengangguk. Lalu, dia kembali bertanya pada Rita.
"Uhm, itu cowok memangnya pintar kah? Dan, aku dengar katanya dia sekolah di SMA Putra Bangsa," tanya Chika yang merasa penasaran.
Kembali Rita tertawa lepas mendengar perkataan Chika. Setelah tenang, Rita akhirnya mulai menceritakan awal pertemuannya dengan Raymond.
"Chika, waktu gue pertama bertemu dia, gue itu kagum sama keinginan gigihnya untuk belajar. Pintarkah dia? Enggak. Dia bukan cowok yang cerdas seperti kebanyakan cowok yang naksir lo. Jujur, dia tergolong cowok biasa. Tapi, gue salut sama keinginan belajarnya dia walau dianya juga gak pandai," kata Rita mulai menceritakan Raymond.
Chika semakin penasaran. Dia yang keheranan mendengar perkataan Rita kembali bertanya.
"Eh, Rit. Lo bilang dia gak pintar walau keinginan belajarnya kuat. Koq lo bisa nyimpulin begitu? Emang lo menilai dari sisi apa?' tanya Chika keheranan.
Sejenak, Rita tertawa lepas mengingat pertemuan pertamanya dengan Raymond di lokasi bimbel.
"Hahaha, … lo tahu gak, dia tuh datang di kelas paling awal. Gak ada siswa yang datangnya lebih awal dari dia. Bayangin aja, Chik. Dua jam sebelum bimbel, tuh cowok pasti udah ada di sana nungguin kelas kosong," kata Rita dengan tawa lepas.
"Oh ya? Lalu, di kelas kosong itu dia ngapain?" tanya Chika.
Kembali Rita tertawa lepas. "Ya katanya ngelaksanain tugas negara alias molor."
Mendengar cerita Rita, Chika tertawa lepas. Dia tak henti-hentinya tertawa ketika Rita melanjutkan ceritanya. Panjang lebar Rita menceritakan perkenalannya dengan Raymond.
Setelah panjang lebar bercerita, Rita berkata pada Chika.
"Chika, memang gue tahu gimana reputasi sekolah Raymond, termasuk bagaimana dia dengan segala tingkah kocaknya. Tapi satu hal yang buat gue senang dengannya adalah kejujuran dan juga sifatnya yang apa adanya," kata Rita.
Rita menghela nafasnya sejenak. Dia memandang jauh ke depan sambil tersenyum manis.
"Chika, karena Raymond gue jadi sadar bahwa semua sekolah mempunyai reputasi yang sama. Jelek atau baiknya sekolah tergantung siswanya," kata Rita.
Rita diam sejenak. Dia kembali pandangi Chika yang masih duduk di tempatnya.
"Raymond, sosok cowok kocak yang justru membuatku merasa nyaman dengan segala kelemahannya. Dia itu unik, Chika. Dan, sampai sekarang hubungan gue masih baik dengan dia," lanjutnya.
Chika menggut-manggut mendengar cerita Rita. Rasa penasaranya semakin tumbuh, walau dia masih mampu memendamnya. Chika bangkit dari duduknya, dan mendekati Rita. Dengan lembut, dia sentuh pundaknya.
"Rita, terima kasih atas penjelasannya. Dan, gue akui lo unggul dari gue untuk saat ini. Gue begitu tersanjung jadi saingan lo di sekolah," kata Chika dengan senyum manis.
Rita tersenyum pada Chika. Sejenak, mereka berpelukan.
"Sama-sama, Chik. Gue juga senang kita bersaing sehat," kata Rita.
Tak terasa, hari telah siang. Rita mengajak Chika untuk pulang. Chika menyetujui usulan Rita. Mereka keluar dari sekolah dan langsung pulang ke rumah masing-masing.
Sementara itu, di SMA 40 Mayang begitu resah melihat sikap dingin Davis. Sudah dua minggu dia bersikap dingin pada Mayang.
Mayang yang merasa bersalah pada Davis perlahan mulai merubah sifatnya. Namun, sikap dingin Davis membuatnya merasa sedih.
Akhirnya, ketika class meeting, Mayang memperkenalkan Riyadh pada Davis.
"Vis, gue denger lo cemburu karena gue deke tama Riyadh dan juga Raymond. Maafin gue, Vis. Gue akan perbaiki semuanya," kata Mayang pada Davis.
Davis hanya tersenyum sinis memandangi Mayang. Dia menatap Mayang seolah sudah tak ada kepercayaan.
"Owh, lo mau kenalin gebetan baru lo? Emang, cuman lo aja yang punya gebetan baru?" kata Davis dengan senyum sinis.
Riyadh yang merasa tak nyaman dengan ucapan Davis berusaha menahan marahnya. Dia menatap Davis dengan tajam.
"May, nih cowokmu? Brengsek bener ngomongnya," kata Riyadh berbisik pada Mayang.
Mayang hanya memandangi Riyadh sambil berbisik. "Udah, loe jangan ikut campur."
Mayang duduk di sebelah Davis. Dia pegangi tangannya.
"Vis, Riyadh ini bukan gebetan gue. Kita ini berteman," kata Mayang.
"Teman? Teman tapi mesra ya? Gue heran deh, May. Gue dengar gossip tentang lo yang play girl, tapi anehnya koq gue percaya ama omongan lo. Lo kali ini pasti bohong. Dan, gue udah gak percaya ama lo," bentak Davis dengan nada mengejek.
Davis menepis kasar tangan Mayang. Dan saat itu, Grista muncul mendekati Davis. Ekspresi Davis tampak ramah.
"Kak Davis, kita makan bareng yuk," ajak Grista.
Sejenak, Davis memandangi Mayang dengan senyum kemenangan.
Tanpa berkata-kata, Davis meninggalkan Mayang. Melihat Davis berjalan dengan Grista, Mayang tampak sedih. Matanya mulai berkaca, dan wajahnya tampak kusut. Riyadh yang melihatnya merasa iba. Dia sentuh pundak Mayang dengan lembut.
"Mayang, kamu jangan sedih," kata Riyadh.
Riyadh berlari menyusul Davis. Dengan keberaniannya, dia pegangi tangan Davis.
"Hei, tunggu," kata Riyadh.
Davis menghentikan langkahnya. Dia pandangi Riyadh dengan sorot mata tajam.
"Apa lo? Mau sok jadi pahlawan ngebelain si play girl itu?" bentak Davis sambil mendorong Riyadh dengan keras.
Merasa tak terima dengan perlakuan Davis, Riyadh berjalan mendekati Davis. Dia pandangi Davis dengan tatapan tajam.
"Davis! Jangan sembarangan kamu bicara. Aku tak serendah itu merebut cewekmu," balas Riyadh dengan nada tinggi.
Davis semakin meradang. Dia maju dan kembali mendorong Riyadh dengan kasar.
"Lo kebanyakan bacot!" katanya dengan nada tinggi sambil melayangkan pukulan ke wajah Riyadh,
"Pow!" pukulan Davis mengenai wajah Riyadh. Sejenak, Riyadh memegangi rahangnya yang terkena pukulan Davis. Riyadh semakin marah. Dia balas memukul keras perut Davis. "Bugh!" pukulan keras Riyadh mengenai perut Davis. Sejenak, Davis mengerang kesakitan.
Rupanya, pertengkaran itu menarik perhatian beberapa siswa yang melihatnya. Mereka langsung mengerubuti kedua cowok itu dan berusaha memisahnya.
"Eh, sudah. Jangan berantem," kata seorang siswa yang berdiri di tengah-tengah.
Namun, Davis kembali merangsek dan menyerang Riyadh.
Riyadh yang sudah siap segera menangkis dan menghindari serangan Davis. Perkelahia itu terhenti ketika Mayang menyerobot kerumunan siswa dan berdiri di tengah-tengah kedua pria itu. Dia menatap tajam Davis.
"Vis, lo jangan nuduh Riyadh sembarangan. Gue dekat ama dia karena dia butuh orang yang mo ngajari pelajaran kimia. Dan asal lo tahu, Riyadh sudah tunangan. Gak mungkin dia ngegebetin(macarin) gue," kata Mayang dengan nada tinggi.
"Bhuuuuu …," ejek sebagian siswa yang melerai pertengakran itu. Davis yang kepalang malu langsung terdiam.
Mayang kembali menatap tajam Davis yang terdiam. Dia pandangi Grista yang bersama Davis.
"Lo Grista kan? Lo boleh dekat sama cowok gue, tapi please. Lo jangan tiru gue. Manfaatin kepopuleranmu dengan baik, Grista," kata Mayang dengan mata berkaca.
Mayang yang hampir tak dapat menahan tangisnya segera pergi meninggalkan kerumunan itu. Sebelum menyusul, Riyadh berkata pada Davis.
"Davis, selesaikan masalahmu dengan Mayang. Aku gak mau ikut campur dengan urusanmu," kata Riyadh sebelum beranjak.
Dengan tenang, Riyadh beranjak menyusul Mayang. Dia lihat mayang menangis di pojokan sekolah. Riyadh mendekatinya, dan duduk di sebelahnya.
"Mayang, maafkan jika aku merusak hubunganmu dengan Davis," kata Riyadh.
Mayang berusaha menyeka air matanya. Dia pandangi Riyadh dengan senyum yang di paksakan.
"Sudah, Riyadh. Gak apa-apa. Kamu gak salah. Akulah yang salah," kata Mayang.
Riyadh terdiam. Karena merasa iba, Riyadh akhirnya mengajak Mayang keluar dari sekolah dan mengantarnya pulang.