Sore itu, Raymond masih tertidur di kamarnya. Dia dikejutkan dengan suara ketukan di pintu kamarnya.
"Raymond. Bangun. Waktunya bimbel," kata ibunya sambil mengetuk pintu kamarnya.
Dengan malas, Raymond berteriak dari dalam kamarnya.
"Ma, Bimbelnya masih libur," sahut Raymond sambil tetap memejamkan matanya.
"Raymond! Jangan bohong kamu. Cepat keluar!" bentak ibunya sambil menggedor pintu kamarnya.
"Ihhh! Dasar bawel!" umpatnya dalam hati.
Raymond yang masih menguap berusaha membuka matanya. Dengan malas, dia bangun dari tidurnya, dan membuka pintu kamarnya. Dia memandangi ibunya yang berkacak pinggang di depan pintunya.
"Hei! Jangan puas dengan peningkatan nilaimu, Raymond. Kamu masih harus banyak belajar. Sana mandi! Kamu sudah di tungguin teman bimbelmu di ruang tamu," kata Anggi sambil berkacak pinggang.
Raymond terkejut. Dia berfikir, tak ada teman bimbelnya yang mengetahui rumahnya. Dia mengernyitkan dahinya.
"Lho, Ma. Seingat Raymond, taka da teman bimbel raymond yang tahu rumah ini," kata Raymond berkilah.
Ibunya yang merasa di pojokkan langsung menjewer telinga Raymond. Dia pandangi Raymond dengan mata melotot.
"Eeeeh, masih ngebantah juga kamu! Cepat mandi!" bentak ibunya.
Raymond meringis kesakitan. "Iya, Ma. Ampun."
Karena taka da pilihan, Raymond langsung mandi dan berganti pakaian. Dengan wajah lesu, dia berjalan ke ruang tamu. Dan, alangkah terkejutnya ketika dia berjalan ke ruang tamu. Ternyata Bu Siti, guru yang selama ini dia takuti tengah berada di sana.
"Yah! Ternyata … ketemu lagi sama nenek lampir ini," keluhnya dalam hati.
"Selamat sore, Raymond. Sudah siap belajar?" tanya Bu Siti dengan senyum manis.
Senyum manis Bu Siti bagaikan pukulan telak bagi Raymond. Dengan memaksakan senyumnya, Raymond hanya mengangguk.
"Baiklah, Raymond. Sekarang coba kamu keluarkan soal UTS yang tadi kamu terima," kata Bu Siti.
Raymond yang menemui Bu Siti sejenak terkejut. Dia tak menyangka jika gurunya hendak membahas ujian matematika yang jadi momoknya. Raymond terdiam sejenak. Dia akhirnya mempunyai rencana.
"Bu, lembar ujian tadi ada di kamar. Sya ambil sebentar ya," kata Raymond sambil menyiapkan rencananya.
"Baiklah. Ibu tunggu di sini," kata Bu Siti.
Raymond langsung beranjak ke kamarnya. Dilihatnya, ibunya tengah mengantarkan minuman untuk Bu Siti.
"Uhm, oke. Ini saatnya gue kabur. Daripada ngadepi dua nenek sihir, mending kabur aja," katanya dalam hati.
Raymond yang bersiap kabur membuka jendela kamarnya. Dia keluar lewat jendela kamarnya dan pergi mengendap-endap ke halaman belakang rumahnya. Setelah di rasa aman, dia meloncati tembok belakang rumahnya.
"hehehe, kena lo, gue kerjain," katanya dengan senyum kemenangan.
Raymond langsung meloncat tembok, namun naas. Dia menginjak ekor anjing tetangga yang tengah tertidur. Sontak anjing itu terbangun. Raymond yang terkejut tampak ketakutan.
"Waduh! Mampus gue!" Keringat dingin mulai bercucuran.
"Grrrrh!" Anjing besar itu menggeram dan bersiap menyerang Raymond. Raymond yang begitu ketakutan spontan berlari dan memanjat pohon belimbing di belakang rumah.
"Guk! Guk! Guk!" anjing itu menggonggong dengan kerasnya. Dia mengitari pohon belimbing tempat Raymond bersembunyi. Raymond tampak pucat pasi. Setelah beberapa lama, anjing itu berhenti mengonggong. Sejenak raymond merasa lega ketika anjing itu menghentikan gonggongannya, Namun, Anjing itu duduk tenang sambil menunggui phon belimbing itu.
"Shhh! Shhh! Pergi lo," bisik raymond sambil memandangi anjing besar itu.
Anehnya, anjing itu tak bergeming. Bahkan, ketika Raymond melempari anjing itu dengan belimbing kecil. Anjing itu tetap di tempatnya duduk. Dan yang paling menyakitkan, Anjing itu justru dengan santai berbaring di bawah pohon belimbing tempatnya bersembunyi. Raymond yang ketakutan terpaksa terus bertahan di atas pohon belimbing itu.
"Yah! Apes. Maunya kabur, eeeh malah begini deh akhirnya," bathinnya sambil sesekali melihat anjing itu.
Sementara itu, Anggi mulai curiga ketika Raymond tak kunjung pergi ke ruang tamu.
"Bu Siti, kok Raymond belum juga muncul? Tadi katanya ambil lembar ujian aja kan?" tanya Anggi.
"Iya, Bu." Anggi memandangi jam tangannya. Sudah sepuluh menit dia menunggu raymond, namun batang hidungnya tak kunjung muncul. "Kok lama bener ya? Ini udah sepuluh menit lho," lanjutnya keheranan.
Anggi langsung berjalan ke kamar Raymond. Dilihatnya, kamar itu kosong.
"Lho, Raymond kemana ya?" tanyanya dalam hati.
Dia amati jendela kamar yang terbuka. Dan, ternyata ada bercak kaki anaknya di tembok.
"Rupanya, kamu mau kabur lagi ya," katanya dalam hati.
Anggi dekati jendela kamar raymond, dan dia melihat ada bekas sandal raymond di tembok belakang. Anggi berjalan ke kebun belakang dengan membawa tangga. Dia naiki tangganya, Dilihatnya, Raymond tengah bersembunyi di pohon belimbing di belakang rumahnya.
"Benar dugaanku. Awas kamu," kata Anggi dengan wajah marah.
Namun, di tengah marahnya, Anggi berusaha menahan tawa melihat ekspresi ketakutan raymond. Dia mengenali anjing yang duduk di bawah pohon belimbng itu.
"Oke, lihat saja kamu, kunyuk," katanya dalam hati.
Anggi mendatangi tetangganya. Dia mengatakan jika anjingnya bermain di belakang rumahnya. Tetangganya tampak begitu khawatir.
"Lho, jadi anjing saya ada di belakang rumah anda?" tanya Pak Sudi, tetangganya.
"Iya, itu di bawah pohon belimbing," kata Anggi.
"terima kasih, Bu. Ayo, kita ke sana. Soalnya ini musim kawin, dan biasanya anjing saya lebih galak," kata Pak Sudi.
Buru-buru Pak Sudi membawa tali anjing dan mengikuti Anggi ke belakang rumahnya. Sesampainya di sana, Pak Sudi langsung mendekati anjingnya dan memakaikan tali anjing itu di lehernya.
"Daren, ayo kita pulang," kata Pak Sudi sambil menarik anjing besar itu.
Anjing itupun pergi. Namun, Raymond merasa was-was melihat ibunya yang berkacak pinggang di bawah pohon belimbing itu.
"Hayo! Turun!" teriak Anggi.
Raymond yang merasa pegal setelah lama di atas tak ada pilihan. Dia langsung turun ke bawah. Dan, dengan wajah gemas, Anggi menjewer telinga Raymond sambil menyeretnya masuk ke rumah.
"Bagus ya. Hebat kamu, sudah berani kabur," kata Anggi dengan wajah gemas.
"Aduuuh, Ma. Ampun. Raymond tak akan ulangi lagi," kata Raymond menghiba.
Anggi tak menghiraukan perkataan Raymond. Dia kembali menyuruhnya untuk mengikuti pelajaran tambahan yang di berikan Bu Siti. Karena tak ada pilihan, dia terpaksa menjalani dua jam dengan perasaan tersiksa. Waktu terus berjalan, dan jua jam berlalu. Hari mulai malam ketika Bu Siti pulang. Sepeninggal Bu Siti, Raymond merasa makin penat. Dia masuk ke kamarnya dan berbaring.
Sementara itu, di sebuah café tampak Mayang dan Davis duduk bersama. Hubungan Mayang dan Davis kembali membaik.
"May, maafkan aku yang telah salah sangka pada Riyadh," kata Davis menyesali ketidak percayaannya pada Mayang.
Mayang tersenyum manis. Dia pegang lembut tangan kekasihnya itu. Dengan mesra, dia menatap kekasihnya.
"Sayang, akulah yang memulai. Aku tahu, selama ini mungkin aku seenaknya berganti-ganti cowok," kata Mayang.
Sejenak, Mayang terdiam. Dia menghela nafasnya sesaat.
"Aku sadar, usiaku semakin dewasa. Aku tak mungkin terus permainkan perasaan orang. Terima kasih kamu beri aku kesempatan kedua," lanjutnya.
Mereka saling pandang sambil berpegangan tangan. Namun, kemesraan itu terhenti ketika pelayan café mengantarkan minuman pesanan mereka berdua. Sambil nyengir, pelayan itu menyajikan minuman di meja.
"Silahkan, agan," kata pelayan itu dengan ramah.
Mayang dan Davis hanya tersenyum manis. Pelayan itu langsung pergi meninggalkan mereka berdua. Sambil menikmati minuman itu, Mayang kembali membuka percakapan.
"Sayang, aku ingin kenalin kamu sama temen bimbelku. Aku dengar, kamu sempat berantem sama dia," kata Mayang.
Davis mengernyitkan dahinya. Dia berfikir dan mencoba mengingat-ingat. Setelah beberapa saat berfikir, Davis teringat akan pertikaiannya dengan Raymond.
"Iya, Say. Aku sekalian mau minta maaf atas ke salah pahaman ini," kata Davis.
Mayang tersenyum sejenak. Dia tampak senang mendengar jawaban Davis. Dan, tak lama kemudian terdengar suara di handphone Davis.
"Say, sebentar ya. Mamaku telepon," kata Davis sambil bangkit dari duduknya.
Mayang hanya mengangguk. Dia terus menikmati minuman itu tanpa rasa curiga. Davis buru-buru keluar. Dan, ternyata dia bertemu dengan Grista di depan café. Mereka tampak saling berselisih.
"Kak, aku kangen banget sama kakak," kata Grista langsung memeluk Davis.
Davis tampak kebingungan. Buru-buru dia lepaskan pelukan Grista.
"Grista, di dalam ada Mayang. Lo yang sabar ya. Gue mau mutusin Mayang perlahan-lahan. Gue akan cari cara buat putusin dia," kata Davis.
Grista memasang wajah manyun. Dia langsung memebelakangi Davis sambil melipatkan tanganya di dadanya.
"Bohong! Awalnya aja mesra kayak ke langit ke sepuluh. Ternyata, lo belum bisa lepas dari tuh cewek," kata Grista dengan nada ngambek..
Davis berusaha membujuk Grista. Dia peluk Grista dari belakang.
"Syang, kakak janji akan melepas Mayang. Tapi kakak butuh waktu dan alasan yang tepat. Tolongah, pahami posisi kakak," kata Davis memohon.
Grista menghela nafas panjang. Dia lepaskan pelukan Davis, dan kembali memandanginya.
"Oke, gue akan sabar menunggu. Gue beri waktu sebulan, atau kita putus beneran," kata Grista dengan nada mengancam.
Grista langsung beranjak meninggalkan Davis. Sepeninggal Grista, Davis kembali menemui Mayang yang masih asyik duduk sambil bermain hp.
"Maaf, Say. Tadi mama telepon katanya aku disuruh cepat pulang," kata Davis.
Mayang tersenyum simpul. Dilihatnya jam tangannya, dan tanpa terasa waktu menunjukkan pukul 20:30.
"Ya udah, Say. Kita pulang aja, yuk," kata Mayang.
Davis mengangguk. Mereka berdua bangkit dari duduknya dan membayar pesanan mereka. Setelah itu, Davis mengantar Mayang pulang sebelum dia pulang ke rumahnya.